Bencana yang terjadi di berbagai daerah bisa menjadi momentum penting untuk mendorong kebijakan dan tindakan nyata terkait pengelolaan hutan.

Berbagai wilayah di Indonesia mengalami peningkatan gelombang bencana hidrometeorologi di penghujung tahun 2025. Fenomena ini menjadi tanda bahwa kerusakan struktur ekologis akibat deforestasi dan lemahnya pengawasan lingkungan perlu segera diatasi, jangan terus menjadi fenomena alam yang harus ditanggulangi maupun sekadar pernyataan formalitas semata.

Data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memang menunjukkan bahwa pada 2024 deforestasi netto mencapai 175,4 ribu hektar, sementara area yang berhasil direhabilitasi lewat program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) mencapai 217,9 ribu hektar. Meski angka reforestasi terlihat lebih besar, nyatanya masih terjadi kesenjangan signifikan antara deforestasi dan pemulihan fungsi hutan..

Akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hatma Suryatmojo, menyatakan bahwa laju deforestasi selalu lebih tinggi dibandingkan laju rehabilitasi hutan. “Deforestasi merupakan persoalan struktural yang terjadi hampir setiap tahun dan melibatkan banyak aktor,” ujar Hatma yang akrab disapa Mayong, dikutip dari laman UGM.

Perambahan hutan yang dilakukan secara manual maupun terorganisir semakin memperluas area yang hilang, sementara kompleksitas fungsi ekologis hutan tidak mudah dipulihkan hanya dengan penanaman pohon dalam jangka pendek.

Kerusakan hutan dan fungsi DAS

Hutan Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 120 juta hektar. Namun, Mayong menilai luasnya wilayah tersebut justru menjadi tantangan dalam pengawasan. Dengan jumlah polisi hutan yang terbatas membuat banyak kawasan, terutama hutan lindung, kurang terpantau ketat dan rentan terhadap kegiatan perambahan dan penebangan liar.

Deforestasi secara langsung memengaruhi fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), sistem alam yang berperan penting menahan air hujan, menahan erosi, dan menjaga kestabilan tanah. Ketika hutan rusak, sistem ini menjadi terganggu.

Tanah kehilangan kemampuan menyerap dan menahan air, sehingga air hujan lebih cepat mengalir ke sungai dan permukiman di hilir. Dampaknya adalah kondisi banjir dan longsor yang semakin sering terjadi di sejumlah wilayah, terlebih dipicu oleh curah hujan ekstrem karena perubahan pola iklim

Menurut Mayong, reforestasi bukan sekadar menanam pohon, tetapi tentang memulihkan fungsi ekologis secara keseluruhan. Menanam pohon di lahan kosong bukan jaminan bahwa secara langsung mampu mengembalikan fungsi hutan yang rusak. Tantangan sebenarnya adalah menjadikan lahan yang pernah terdegradasi itu kembali memiliki struktur dan fungsi seperti ekosistem hutan yang sehat.

“Pemulihan fungsi hutan lindung dapat memakan waktu hingga dua dekade atau lebih lama,” imbuhnya.

Percepatan reforestasi

Mayong melihat, bencana yang terjadi di berbagai daerah bisa menjadi momentum penting untuk mendorong kebijakan dan tindakan nyata terkait pengelolaan hutan. Ia mengatakan, kejadian banjir bandang dan longsor yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia bisa menjadi titik balik jika seluruh pihak mengambil langkah kolektif untuk menurunkan angka deforestasi dan meningkatkan upaya reforestasi secara efektif.

“Momentum yang tidak diinginkan ini seharusnya menjadi titik balik untuk menggerakkan semua unsur baik pemerintah, swasta, masyarakat, hingga individu, agar bersama-sama menurunkan deforestasi dan menaikkan reforestasi,” ujarnya.

Krisis hidrometeorologi di akhir 2025 ini memperlihatkan hubungan yang kuat antara kondisi ekologis hutan yang rusak dan risiko bencana yang meningkat. Bencana ini seharusnya tidak hanya menjadi catatan statistik, tetapi juga menjadi pemicu tindakan nyata melalui penegakan pengawasan hutan, penguatan upaya reforestasi, dan peran komunitas dalam pemulihan fungsi ekologis.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses