Setelah berhasil mendirikan sekolah bank sampah, para perempuan Desa Penyengat Olak, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, berhasil mendapatkan penghasilan tambahan dari kerajinan sampah yang mereka buat, sekaligus mengkampanyekan budaya tidak membuang sampah ke sungai.

Oleh : Gresi Plasmanto

Muaro Jambi, JAMBI. Tidak lagi hanya mengandalkan pendapatan dari laki-laki, perempuan di Desa Penyengat Olak, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, memiliki penghasilan tambahan yang berasal dari sampah.

Sekolah Bank Sampah Perempuan (SBSP) Penyengat Olak, yang dibentuk akhir tahun 2016 dan kini memiliki 20 anggota aktif, mengajarkan cara mendaur ulang sampah botol mineral, koran bekas, celana jeans bekas, bungkus mie instan, plastik bungkus kopi dan kain perca, menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah.

“Setiap hari Senin kami selalu berkumpul, para ibu-ibu di sini belajar untuk menghasilkan kerajinan tangan dari bahan baku sampah,” kata Asni, guru Sekolah Bank Sampah Perempuan (SBSP) Penyengat Olak,  yang ditemui Ekuatorial, awal November 2018.

Asni mengatakan bahwa awalnya sekolah tersebut dibentuk untuk mengurangi sampah rumah tangga, seperti botol air mineral dan plastik.

“Masalahnya kalau sampah rumah tangga itu kan ibu-ibu yang lebih tahu, jadi mereka diajarkan cara memilah sampah hingga menjadikan sesuatu yang memiliki nilai,” katanya. “Sampah-sampah untuk bahan baku produk ini biasanya ibu-ibu yang bawa sendiri, ada juga warga yang menyumbang sampah ke sini.”

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa anggota sekolah sampah perempuan tidak dipungut biaya untuk belajar, mereka hanya diminta untuk membawa atau mendonasikan sampah yang akan digunakan dalam pembelajaran daur ulang sampah.

Beberapa kerajinan tangan hasil olahan Sekolah Bank Sampah Perempuan di Desa Penyengat Olak, Muaro Jambi. Sumber: Gresi Plasmanto

Hingga kini, anggota sekolah sampah perempuan mampu menghasilkan kerajinan berbahan sampah, seperti tas, tenong (Red : wadah makanan yang dipakai dalam tradisi Nyadran atau pembersihan makam), dompet, tempat tisu, nampan, alas gelas, hingga hiasan dinding.

“Produk yang dihasilkan itu pun telah dijual dengan harga yang beragam mulai dari yang termurah Rp15.000 hingga termahal Rp200.000 per item, tergantung dari ukuran dan kesulitan produk yang dihasilkan itu,” kata Asni menambahkan meski pendapatan masih terbilang kecil, namun bisa menjadi tambahan ekonomi.

Yusnaini (43), salah satu anggota sekolah bank sampah perempuan mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan keuntungan dua ratus ribu rupiah setiap dua bulan.

“Lumayan ada hasil tambahan sedikit, bisa buat tambahan uang jajan anak,” kata Yusnaini yang sudah aktif sejak awal.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kegiatan di sekolah bank sampah perempuan dapat mengisi waktu luangnya sesudah melakukan kegiatan di sawah.

“Dulu pas belum ada sekolah bank sampah ini, saya biasanya pas pulang dari sawah dan sebagai ibu rumah tangga hanya beres-beres. Tapi, sekarang setelah tugas rumah selesai kemudian dilanjutkan berkreasi dari bahan sampah itu,” ujarnya.

Sementara, Zubaidah (40), anggota lainnya, mengatakan bahwa bergabung dengan sekolah bank sampah perempuan membuatnya memahami dampak sampah bagi lingkungan di sekitarnya.

“Kita harus lebih peduli terhadap sampah, kalau bisa sampah ini kita manfaatkan dan  jangan sampai sampah menjadi sumber masalah,” kata Zubaidah.

 

Dukungan dan tantangan sekolah bank sampah perempuan

Mulai dari pemahaman pengelolaan sampah, peningkatan penghasilan tambahan, hingga penyadartahuan terkait dengan membuang sampah sembarangan, Kepala Desa Penyengat Olak, Auliya, menyatakan bahwa pemerintah desa sangat mendukung keberadaan sekolah tersebut di desanya.

Salah satu bentuk dukungan pemerintah desa, jelas Auliya, adalah pengalokasian dana desa berupa bantuan satu unit alat mesin jahit pada bulan Juli 2018 lalu kepada sekolah bank sampah perempuan.

Meskipun telah mendapatkan dukungan dan pembelajaran, namun ia mengatakan bahwa sekolah tersebut mengalami kendala dalam memasarkan produk mereka.

“Biasanya kendalanya kalau dari barang bekas ini peminatnya kurang. Masyarakat masih banyak yang belum tahu, jadi untuk pemasaran memang masih sulit,” katanya menambahkan mereka berencana akan memasarkan produk melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bersama.

“Meskipun dari sampah, kita dukung produk mereka supaya kaum ibu-ibu di desa kami ini memiliki semangat dalam pengelolaan sampah dan isu lingkungan lainnya,” katanya

Lebih lanjut, ia mengharapkan adanya intervensi dari pemerintah Kabupaten Muaro Jambi untuk menjamin keberadaan sekolah bank sampah perempuan tersebut.

“Kami di jajaran pemerintah tingkat bawah mendorong supaya pemerintah daerah juga ikut terlibat, karena ini bisa membantu mengatasi persoalan sampah di desa kami, apalagi untuk program seperti baru ada di desa kami,” katanya.

Pemerintah desa, kata Auliya, berharap Pemkab Muaro Jambi ikut membantu, misalnya dalam bentuk pendampingan dan pelatihan yang masif untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas.

Sejumlah perempuan saat membuat kerajinan tangan dari sampah di Sekolah Bank Sampah Perempuan (SBSP) Penyengat Olak. Saat ini anggota kelompok perempuan tersebut telah memiliki penghasilan tambahan dari sampah. Sumber: Gresi Plasmanto.

Sementara itu, Asni, guru sekolah bank sampah perempuan, mengatakan dukungan yang diharapkan dari pemerintah Kabupaten Muaro Jambi, antara lain membantu promosi produk bank sampah tersebut.

“Sekarang masih sulit memasarkan produk kami ini, karena memang belum banyak yang mengenal, dan juga produk dari sampah ini kurang familier,” kata Asni.

Padahal, menurutnya, dengan membeli atau menggunakan produk kerajinan dari bahan baku sampah maka akan berdampak terhadap pengurangan sampah itu sendiri.

“Tentu kalau produk kami lebih dikenal, sehingga kami akan lebih banyak membutuhkan sampah,” lanjutnya.

Ahmad Gani, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Industri, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) Kabupaten Muaro Jambi, menyambut baik inisiatif kelompok perempuan yang menghasilkan produk berbahan sampah.

“Intinya dari Pemkab menyambut baik inovasi mereka, kita lihat dulu prospeknya. Nanti bisa kita bantu, baik itu bantuannya dalam bentuk pelatihan hingga proses pemasaran,” kata Ahmad yang mendorong pemanfaatan sarana media sosial untuk mempromosikan produk tersebut.

“Inovasi produk dari sampah ini bagus, dan nanti setiap kali ada pameran (expo) produknya bisa diikutkan sehingga menjadi lebih banyak yang tahu,” lanjutnya. “Kalau prospek kedepannya bagus, ini bisa dijadikan contoh bagi desa lain, terutama di desa yang berdekatan dengan sungai.”

Sementara itu, Weny Ira Reverawati selaku Direktur Project Rural Community Development, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdi Hamzah, Jambi, yang mendampingi pembentukan sekolah bank sampah perempuan tersebut, mengatakan bahwa sekolah bank sampah tersebut menjadi wadah bagi perempuan di desa tersebut supaya untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Melalui kelompok tersebut, jelas Weny, mereka juga dapat mengorganisir partisipasi secara mandiri dan memiliki posisi tawar dengan memanfaatkan isu pengelolaan lingkungan.

Sebab saat ini tidak ada alasan untuk meminggirkan peran serta kedudukan salah satu identitas gender, terutama perempuan kedalam proses pembuatan kebijakan dan pembangunan desa, termasuk juga dalam pengelolaan lingkungan.

“Kita juga mendorong perempuan supaya memiliki akses dan kontrol terhadap program pembangunan desa melalui isu pengelolaan lingkungan yang berkeadilan gender,” katanya.

Meskipun belum signifikan dari segi pendapatan ekonomi, namun ia mengatakan bahwa setidaknya perempuan di desa Penyengat Olak mau berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan.

“Tambahan ekonomi kita memang belum bisa mengukurnya secara banyak, tapi yang jelas perempuan di Desa Penyegat Olak yang tergabung pada sekolah bank sampah itu sudah memberi warna dalam pengelolaan lingkungan di lingkungannya sendiri,” jelasnya.

 

Tidak buang sampah di sungai Batanghari

Selain mengolah kerajinan tangan, para anggota Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak juga aktif mengampanyekan kepada anak-anak mereka untuk tidak membuang sampah di sungai.

“Misalnya, beberapa waktu yang lalu saat momen hari sampah nasional itu, kami turun ke madrasah di sekitar sini, kami mengajak anak-anak di sekolah untuk tidak membuang sampah ke sungai,” lanjutnya.

Desa Penyengat Olak, dengan total penduduk 3000 jiwa, merupakan salah satu desa yang berada di dekat badan sungai Batanghari, sungai terpanjang di Pulau Sumatra dengan panjang 800 kilometer.

Pada Agustus lalu, gerakan membersihkan sungai yang digagas oleh Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jambi, berhasil mengumpulkan 1,877 kilogram sampah plastik.

Auliya, Kepala Desa Penyengat Olak, mengatakan jika sampah plastik terus menerus dibuang ke sungai maka akan bermuara ke laut dan berdampak pada keberlangsungan biota laut.

“Masyarakat kami di desa terus diberikan edukasi agar tidak lagi membuang sampah di sungai,” katanya. “Sebab jika membuang sampah di sungai maka sampah itu akan bermuara ke laut, dan itu bahaya bagi ikan.”

Sementara itu, Ridwan, Kepala Dinas Pertamanan dan Permukiman Kabupaten Muaro Jambi, mengatakan instansinya masih kekurangan armada untuk mengangkut sampah dari Desa Penyengat Olak, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi.

“Armada pengangkut sampah di kabupaten itu hanya memiliki enam unit. Sedangkan, kebutuhan armada pengangkut sampah diperlukan banyak karena kondisi geografis wilayah yang luas,” katanya.

Idealnya, satu kecamatan memiliki satu armada, namun, ia mengatakan bahwa angkutan sampah masih terpusat di ibukota Kabupaten Muaro Jambi.

“Sehingga, dalam menanggulangi sampah sekarang masih banyak bergantung kepada masyarakat,” katanya. EKUATORIAL.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.