Masyarakat adat di Propinsi Maluku Utara beberapa kali melakukan aksi protes menolak pengoperasian perusahaan pertambangan yang dinilai merusak hutan dan sumber kehidupan mereka. Merasa tidak ditanggapi pemerintah, masyarakat adat mulai berbenah, membekali diri mereka dengan pengetahuan tentang perizinan, hukum, advokasi dan litigasi, untuk melindungi hutan mereka.

Liputan ini pertama kali terbit di Koran Tempo edisi 7 Oktober 2019 dan di barta1.com pada 8 Oktober 2019.

 

Oleh Budi Nurgianto

Jam menunjukan pukul 11 pagi pada hari Selasa 13 Oktober 2015, saat Andre, pemuda Desa Hilaitetor mendengarkan penjelasan Natser Thaib, Wakil Gubernur Maluku Utara, soal rencana investasi tambang nikel dan pengelolahan kayu di Wasilei, Halmahera Timur. Wajahnya serius dan sesekali tangannya terlihat mengambil secarik kertas dan mencatat ucapan yang disampaikan Nastser pada pertemuan itu.

Pagi itu Natser bertemu dengan dua belas orang perwakilan warga dari Desa Hilaitetor, Kakaraino dan Hatetabako, Kecamatan Wasilei Utara, Halmahera Timur, untuk menyampaikan rencana investasi tambang nikel dan pengelolahan kayu di Wasilei. Natser ingin masyarakat tahu, investasi tersebut merupakan investasi besar yang dapat mendorong kemajuan ekonomi daerah, karena itu harus mendapatkan dukungan dari semua elemen masyarakat.

Menurut Natser, rencana investasi tambang dan pengelolahan kayu di Wasilei dinilai akan menyerap tenaga kerja lokal hingga 80 persen. Investasi itu juga akan memberikan dana pembinaan untuk lembaga adat dan desa di wilayah konsesi, serta dana stimulan biaya pendidikan atau beasiswa untuk anak sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

“Saya mendengarkan langsung apa yang dikatakan wakil gubernur soal rencana investasi didesa kami. Kata beliau investasi ini menguntungkan buat masyarakat disini (Wasilei). Masyarakat yang hadir pada sosialisasi pun langsung setuju dan sekarang ini perusahaan sudah berjalan ,” kata Andre.

Pada tahun 2015 itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara diketahui memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 36.8 ribu hektar pada PT Mahakarya Agra Pesona untuk mengelola potensi kayu pada hutan adat. Pemerintah juga memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada PT Wana Kencana Mineral untuk mengelola tambang nikel pada lahan seluas 24.000 hektar di wilayah Wasilei.

Investasi tambang dan pengelolaan kayu di Kabupaten Halmahera Timur diketahui cukup ramai dalam satu dekade terakhir. Pada periode 2005 hingga 2010 saja, pemerintah daerah diketahui telah mengeluarkan sedikitnya 34 izin pertambangan dengan luas konsensi mencapai lebih dari 180.000 hektar.

Jumlah ini baru perlahan-perlahan menurun kala pemberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009. Kini, berdasarkan data Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Repubik Indonesia, hingga Mei 2019, di Maluku Utara, tinggal 84 izin yang beroperasi dan 13 izin diantaranya ada di Halmahera Timur dengan luas konsensi mencapai 90.200 hektar

Puluhan izin usaha pertambangan di Maluku Utara itu menggarap tambang nikel pada lahan seluas 2 juta hektar dari luas daratan Maluku Utara yang 3,3 juta hektar atau 33.278 kilometer persegi. Di Halmahera Timur, luas wilayah hutan yang menjadi lokasi tambang mencapai 167.400 hektar dari luas daratan 654.000 hektar. Ada empat kecamatan yang wilayah hutannya mulai dibabat untuk aktivitas tambang nikel dan pembangunan smelter; Maba, Maba Tengah, Buli, dan Wasilei.

.

Luas wilayah tambang dan izin usaha pertambangan di Propinsi Maluku Utara. Sumber: Kementrian Energi dan SUmber Daya Mineral.

 

Menurut Andre, banyaknya perusahaan tambang di Halmahera Timur sesungguhnya membuat sebagian masyarakat khawatir akan dampak kerusakan hutan dan sumber kehidupan. Apalagi saat ini sudah ada biota sungai seperti belut, udang, dan ikan yang ditemukan mati di sungai. Masyarakat Hilaitetor bahkan ada yang  mengaku telah mulai terkena penyakit gatal-gatal akibat mandi disungai  yang lokasinya tak jauh dari penambangan .

Masyarakat Wasilei, pada Februari 2018 lalu, pernah menyampaikan aksi protes dan penolakan aktivitas tambang di wilayah Wasilei dan Halmahera Timur pada Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Namun beberapa kali aksi unjuk rasa itu tak pernah satupun direspon pemerintah.

“Sepertinya mereka [pemerintah] tidak mau mendengar aspirasi kami. Buktinya sampai saat ini aktivitas tambang nikel dan pengelolahan kayu masih terus berjalan bahkan lebih masif,” ujar Andre.

Aktivitas pertambangan di Halmahera Timur sebelumnya sempat terhenti saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, memberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang larangan mengekspor bahan tambang mentah. Kala itu semua perusahaan tambang yang ingin tetap beroperasi diwajibkan membangun smelter terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan penambangan. Dan untuk membangun smelter, perusahaan tambang diwajibkan memiliki izin usaha pertambangan operasi produksi khusus pengolahan dan pemurnian (IUP-OPKPP) yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Alhasil, banyak perusahaan tambang di Maluku Utara tutup dan menyisahkan 4 perusahaan besar yang membangun pabrik smelter

Di Halmahera Timur sendiri, smelter yang dibangun merupakan proyek milik PT Aneka Tambang, salah satu Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN). Pabrik ini dibangun dengan nilai proyek mencapai US$ 1,6 miliar, termasuk US$ 600 juta untuk pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 275MW yang akan dikembangkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Saat ini PT Aneka Tambang sendiri mengandeng PT Wijaya Karya dan Kawasaki Heavy Industries untuk pembangunan konstruksi pabriknya. Dan guna membantu pendanaan proyek smelter, PT Aneka Tambang menggandeng konsorsium financial arranger yang terdiri dari Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Mandiri Sekuritas, Goldman Sachs, Deutsche Bank, Sumitomo Mitsui Banking Corporation Ltd., dan Standard Chartered Bank. Konsorsium ini memberikan dukungan pendanaan hingga US$1 milyar atau Rp 14 trilyun.

Dalam laporan tahunan PT Aneka Tambang, proyek smelter di Halmahera Timur bertujuan meningkatkan nilai tambah cadangan nikel ANTAM melalui kegiatan pengolahan bijih nikel menjadi feronikel. Smelter ini nantinya akan memiliki kapasitas produksi 27.000 ton nikel.

Kendaran berat yang beroperasi disekitar kawasan tambang di Halmahera. Sumber: Budi Nurgianto

 

Penelusuran terhadap dukumen perizinan yang dikeluarkan pemerintah, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan usaha pertambangan dan pengelolaan kayu di Maluku Utara mulai marak sejak tahun 1999 . Kala itu izin usaha pertambangan di Maluku Utara pertama kali dimiliki PT Aneka Tambang sesuai dengan izin pertambangan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pertambangan Umum tanggal 10 September 2000. Izin tersebut memberikan hak penuh pada PT Aneka Tambang untuk mengelola kawasan hutan dan mengeksploitasi nikel di wilayah Halmahera Timur hingga jangka waktu 21 tahun.

Empat tahun setelah pemekaran Maluku Utara menjadi Provinsi Baru, tepatnya 09 Desember 2003, Thaib Armaiyn, Gubernur Maluku Utara periode 2003, memberikan rekomendasi memperkuat dan menambah hak pengelolahan tambang milik PT Aneka Tambang. Perusahaan ini diberikan kewenangan mengelola tambang nikel hingga kawasan hutan lindung dan dua pulau kecil di Halmahera Timur. Rekomendasi Thaib ini setahun kemudian dikuatkan dengan Keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri Nomor 41 tahun 2004 tentang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan.

Tak lama setelah itu, Thaib Armayin menunjuk Natser Thaib, kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, sebagai Bupati Halmahera Timur periode 2003. Pada masa itu jabatan bupati ditunjuk oleh gubernur hingga kemudian bupati dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 2005.

Dimasa kepemimpinan Natser sebagai bupati Halmahera Timur, Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur mulai mengeluarkan 4 izin diluar wilayah milik PT Aneka Tambang.

Natser bahkan diketahui mengeluarkan surat rekomendasi pengunaan kawasan hutan produksi terbatas untuk kegiatan pertambangan kepada Menteri Kehutanan. Surat itu memberikan keleluasaan pada PT Aneka Tambang melakukan ekspoitasi tambang nikel di wilayah Tanjung Buli dan Maba termasuk hutan produksi di dua pulau kecil Pulau Pakal dan Gee. Kementerian kehutaanan Republik Indonesia lalu menyetujuinya dan memberikan rekomendasi PT Aneka Tambang untuk mengelola hutan pada wilayah sesuai dengan surat rekomendasi tersebut. Natser sendiri pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2014-2019 berpasangan dengan Abdul Gani Kasuba.

Saat ditemui beberapa waktu lalu, Natser Thaib membantah ikut mengobral izin usaha pertambangan selama menjadi bupati Halmahera Timur. Natser mengatakan, semua izin tambang yang dikeluarkan pada periodenya dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dan sudah dengan kajian yang matang. Tidak ada izin keluar tanpa ada kajian teknis.

“Setahu saya selama ini tidak ada masalah. Tapi mengenai jumlahnya saya sudah lupa, karena itu sudah lama sekali,” kata Natser saat ditemui usai acara diskusi bersama nelayan di Pelabuhan Bastiong, Kota Ternate beberapa waktu lalu.

Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pernah mencatat ada ratusan izin usaha pertambangan di Maluku Utara yang bermasalah termasuk izin tambang di pulau-pulau kecil di Halmahera Timur. Rata-rata izin pertambangan yang bermasalah, disebabkan adanya tumpang tindih dengan izin tambang lainnya. Pada 2014, ada 108 izin usaha tambang di Maluku Utara yang dikelompokkan bermasalah, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp98 miliar dari royalti yang tidak dibayarkan.

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, bahkan memprediksi 80 persen izin usaha pertambangan di Maluku Utara diduga bodong. Proses pengeluarannya banyak ditenggarai dilakukan pemerintah daerah dengan praktek-praktek yang tidak benar.

Andre mengungkapkan, hampir semua izin pertambangan dan pengolahan kayu di Halmahera Timur tidak pernah melibatkan masyarakat untuk membahas aspek kelestarian lingkungan dan keseimbangan sosial. Padahal yang mengalami dampak dari kerusakan lingkungan dan konflik sosial adalah masyarakat sekitar konsensi.

“Jadi kami heran kenapa tidak pernah ditanya soal rencana investasi apapun yang akan masuk di wilayah ini. Semuanya dikeluarkan tanpa sepengetahuan masyarakat disini,” ujar Andre.

Andre tak sendiri.  Aktivis perempuan adat Wasilei Yulia Pinang, yang akrab dipanggil Ulie, dan Norbel Mendome, pemuda Hilaitetor pun ikut menghimpun diri menolak aktivitas tambang nikel dan pengelolaan kayu yang beroperasi Halmahera Timur. Ulie berpendapat, hutan Halmahera merupakan sumber kehidupan masyarakat Pulau Halmahera yang seharusnya tidak dirusak meski atas nama investasi. Pemerintah daerah, menurutnya harus berani membuat kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.

“Kerusakan hutan Halmahera hanya akan mengganggu keseimbangan sosial. Karena itu sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi semua izin yang mengancam merusak lingkungan di Halmahera Timur,” kata Ulie saat ditemui di Kantor Aliansi Masyarakat Adat Maluku Utara.

Untuk melindungi hutan di wilayah pulau Halmahera dari ancaman tambang, banyak masyarakat yang mulai belajar berhimpun dan membekali diri dengan pengetahuan tentang perizinan dan hukum. Tak sedikit pula yang mulai belajar bagaimana terlibat dalam kegiatan advokasi dan litigasi.

Menurut Ulie, ada beberapa alasan mengapa masyarakat adat di Halmahera banyak yang mulai belajar soal advokasi dan litigasi serta aturan soal perizinan di Indonesia. Pertama, masyarakat adat di Halmahera umumnya mulai sadar gerakan melawan perusahaan tambang adalah gerakan yang terkait kekuasan dan aparat keamanan. Karena itu dibutuhkan tenaga serta langkah cerdas dan terukur.

Kedua, masyarakat adat mulai memahami soal adanya resiko hukum jika melakukan perlawanan terhadap aktivitas tambang untuk melindungi hutan. Apalagi pada Desember 2018 lalu, pasca melakukan aksi unjuk rasa menolak investasi tambang nikel dan pengelolahan kayu di Wasilei, empat orang warga Hileitetor dilaporkan pihak perusahan ke polisi dengan tuduhan melakukan penebangan kayu di lokasi perusahaan.

Polisi lalu  memanggil  ke-empat 4 warga tersebut dan menetapkan mereka menjadi tersangka, karena dianggap melanggar pasal 82 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Tuduhan dengan ancaman hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun, serta pidana denda paling sedikit lima ratus juta rupiah dan paling banyak dua miliar lima ratus juta rupiah. Saat ini kasus ini masih bergulir di Kepolisian Resort Halmahera Timur.

“Itulah kenapa banyak yang mulai berhimpun, terutama anak-anak muda. Kami sadar butuh pendampingan dari berbagai pihak terutama kelompok yang peduli terhadap masyarakat adat dan lingkungan,” ujar Ulie.

Sementara bagi Norbel, menghimpun diri dan belajar soal advokasi dan litigasi merupakan cara untuk melepas diri dari praktek pembodohan yang kerap dilakukan perusahaan. Cara itu juga merupakan langkah menjaga hutan dengan cara yang benar.

“Kalau tidak berbuat seperti itu, generasi mendatang bisa miskin karena tanah dan hutan sudah jadi kuasa perusahaan,” kata Norbel.

Muhdin H. Ma’bub, Bupati Halmahera Timur membantah semua aktivitas tambang di wilayahnya dilakukan tampa memperhatikan aspek lingkungan. Semua izin usaha pertambangan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dilakukan dengan memperhatikan prinsib kehati-hatian dengan memperhatikan aspek keseimbangan ekologi dan sosial. Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur bahkan belum pernah menerima pengaduan atau laporan hukum terkait persoalan lingkungan akibat aktivitas tambang yang dilakukan asal-asalan.

“Semua aktivitas tambang nikel di Halmahera Timur dilakukan setelah ada analisis dampak lingkungan. Tidak ada yang melakukan secara illegal. Kami sampai saat ini bahkan belum menerima laporan hukum soal kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang tidak sesuai prosedur,” kata Muhdin.

Meski demikian, Muhdin H. Ma’bub enggan mengomentari persoalan tambang di daerahnya. Ia hanya mengatakan semua proses izin tambang di Halmahera Timur sudah dilakukan dengan benar dan dikeluarkan sesuai dengan rekomendasi Pemerintah Pusat dan Provinsi Maluku Utara. Sebelum izin tambang dikeluarkan, Pemerintah Halmahera Timur juga terlebih dahulu menerima hasil kajian teknis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Semua sudah sesuai aturan. Tidak ada masalah, hutannya pun masih terjaga” kata Muhdin yang ditemui akhir Juni 2019.

Sementara itu, Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara, mengungkapkan, investasi tambang di propinsinya merupakan investasi yang dapat mendorong percepatan pembangunan dan pemerintah pada dasarnya akan menjamin rasa aman dalam berinvestasi.

“Kita akan berikan kemudahan untuk berinvestasi di Maluku Utara. Kami tidak akan menyulitkan investasi apapun untuk masuk disini. Apalagi jika tujuannya untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara, tentu akan kami jamin keamanannya,” kata Gani.

Menurut Gani lagi, semua izin yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Maluku Utara umumnya telah melalui tahap pengkajian yang matang dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemerintah provinsi belum pernah menerima laporan investasi yang mengancam eksistensi komunitas masyarakat adat.

“Selama ini tidak ada masalah. Semua investasi di Maluku Utara rata-rata dilakukan demi kesejahteraan masyarakat. Kami tidak akan menerima investasi kalau hanya menyengsarakan,” ujar Gani sembari menambahkan jika ia sedang terburu-buru menuju bandara.

Masyarakat adat kerap dilupakan

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara, mengatakan ada tiga persoalan besar yang kerap dihadapi masyarakat adat di Maluku Utara dalam menyikapi aktifitas perusahan tambang. Pertama, posisi atau nilai tawar masyarakat adat Halmahera yang lemah. Banyak perusahaan tambang di Maluku Utara menempatkan masyarakat adat sebagai salah satu masalah yang harus disingkirkan. Tak sedikit pula menjadikannya sebagai ancaman investasi dan perlu langkah penanganan secara serius.

Salah satu contoh lemahnya posisi masyarakat adat di Maluku Utara adalah saat pembahasan dokumen analisis dampak lingkungan milik perusahaan tambang di Halmahera Timur. Saat pembahasan masyarakat nyaris tidak pernah dilibatkan dan perusahaan kerap berjanji pada isu-isu kesejahteraan dan pendidikan seperti pemberian beasiswa kepada anak-anak desa, membangun sarana dan prasarana desa, namun tak pernah direalisasi.

“Padahal terkait dengan itu, konstitusi Indonesia, telah memberikan jaminan secara tegas pengakuan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak mereka. Akibatnya, tak sedikit praktek kriminalisasi terhadap masyarakat atau tokoh adat terjadi saat melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang,” ujar Munadi.

Kedua, negara atau pemerintah daerah tidak menempatkan masyarakat adat sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan pengelolaan tambang nikel. Pemerintah kerap menjadikan masyarakat adat sebagai kelompok yang tidak penting lantaran dianggap tak terdidik, memiliki tingkat pendidikan rendah.

“Karenanya, langkah mencerdaskan masyarakat adat menjadi salah satu cara melindungi mereka dari investasi yang membodohi,” kata Munadi.

Dalam empat tahun terakhir, AMAN Maluku Utara mencatat sedikitnya delapan komunitas adat di Pulau Halmahera yang mulai mengorganisir diri sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap investasi tambang nikel. Bentuk perlawanan mereka rata-rata dalam bentuk menyampaikan aksi protes unjuk rasa di kantor pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Ada pula yang sudah melakukan pemetaan wilayah adat di Pulau Halmahera dan menyampaikannya pada pemerintah daerah.

Ketiga, rendahnya pengetahuan masyarakat adat terhadap hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Mayoritas masyarakat adat di Maluku Utara tidak mengtahui apa saja hak mereka dalam mengelola sumber daya alam seperti hutan dan tambang. Di kalangan mereka sendiri pun tidak terbangun solidaritas yang kuat untuk sama-sama menghadapi masalah. Kesadaran akan hak-hak pun belum terbangun secara merata.

“Padahal pada Pasal 18 ayat 2 sangat jelas mengenai pengakuan masyarakat adat dan hak tradisionalnya dalam konteks pembentukan pemerintahan daerah,” ujar Munadi.

!function(){“use strict”;window.addEventListener(“message”,function(a){if(void 0!==a.data[“datawrapper-height”])for(var e in a.data[“datawrapper-height”]){var t=document.getElementById(“datawrapper-chart-“+e)||document.querySelector(“iframe[src*='”+e+”‘]”);t&&(t.style.height=a.data[“datawrapper-height”][e]+”px”)}})}();

Hendra Kasim, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara mengungkapkan, sejak ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2015, pengakuan masyarakat adat melalui produk hukum daerah sebenarnya semakin kuat.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan pengakuan kepada hutan adat, yaitu hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, semua hutan di Indonesia berstatuskan hutan Negara. Selain itu putusan itu juga memberikan perhatian khusus kepada penguasaan hutan oleh masyarakat adat. Artinya penguasaan hutan oleh negara tetap harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Mahkahmah juga membedakan antara hutan negara dan hutan adat, dimana hutan yang dikuasai negara didalamnya tidak termasuk hutan adat. Dengan kata lain hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

“Dengan kata lain dalam prespektif konstitusi masalah sumber daya alam, sudah ada pengakuan konstitusioanal terhadap pengusaan hutan oleh masyarakat adat. Inilah mengapa masyarakat adat penting untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan wilayahnya,” kata Hendra.

Dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 35 tahun 2015 ada 3 kategori hutan yang disebutkan dalam putusan yaitu hutan negara merupakan hutan yang kuasai oleh negara ,hutan subjektif individu atau badan hukum yang dikuasai oleh individu atau perorangan serta badan hukum, dan ketiga hutan adat yang jelas di kuasai oleh masyarakat adat. Merujuk pada dasar hukum tersebut, maka setiap rencana pengelolahan hutan yang dilakukan dalam hutan adat haruslah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat setempat.

“Dengan kata lain pada prespektif konstitusional ini, masyarakat adat memiliki legitimasi atau posisi hukum yang cukup kuat. Apalagi menyangkut investasi di wilayah mereka,” ungkap Hendra .

 

Liputan ini didukung program Story Grants 2019 oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.