Posted in

PROTOKOL ABS UNTUNGKAN INDONESIA

thumbnailJakarta – Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati ke-10 (COP-10 CBD) di Nagoya, Jepang, yang berakhir pada Jumat (29/10/2010), telah menghasilkan berbagai keputusan penting. Salah satunya adalah disepakatinya Protokol Access and Benefit Sharing/Akses dan Pembagian Keuntungan (ABS), yang pertama kali disetujui sejak disahkannya konvensi tersebut pada tahun 1992. Isi Protokol ABS ini menjamin adilnya pembagian keuntungan bagi negara-negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia di dalamnya.

“Dengan disepakatinya Protokol ABS, negara-negara berkembang yang kaya keanekaragaman hayati akan mendapatkan benefit (keuntungan) jika keanekaragaman hayati yang mereka miliki digunakan, misalnya untuk kebutuhan industri farmasi atau untuk dikembangkan oleh negara-negara maju. Selain itu, akses negara-negara maju untuk memperoleh keanekaragaman hayati itu juga harus sesuai dengan Protokol ABS,” jelas anggota Delegasi RI untuk konvensi itu, Masnellyarti Hilman dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Senin (01/11/2010) di Jakarta.

Negosiasi ABS, sambungnya, merupakan perjuangan panjang dari negara-negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati. Akhirnya, pada COP-10 CBD kemarin protokol ini bisa disepakati oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang setelah sekian lama mengalami perdebatan. Bagi Indonesia, protokol ini dianggap sebagai keberhasilan dari negosiasi yang dilakukan oleh delegasi Indonesia. Hal ini karena ABS menjadi target delegasi Indonesia sebelum berangkat ke Nagoya.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) RI sekaligus Ketua Delegasi RI dalam COP-10 CBD, Gusti Muhammad Hatta, menilai bahwa tercapainya target ABS merupakan langkah yang baik dan hasilnya dapat dikatakan memuaskan. Delegasi Indonesia pun dinilai cukup berhasil dan sukses menjalankan proses negosiasi dalam konvensi itu.

“Protokol ABS yang berhasil tercapai merupakan pengaturan komprehensif dan efektif dalam memberikan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia dan menjamin pembagian keuntungan bagi Indonesia sebagai negara kaya sumber daya genetik,” ucapnya, seperti diedarkan dalam siaran pers mengenai COP-10 CBD.

Lebih lanjut, menurutnya, delegasi Indonesia telah berhasil memperjuangkan kepentingan Indonesia agar protokol ini dapat berlaku efektif dengan memperluas ruang lingkup protokol dan pengertian terminologi genetic resources (sumber daya genetik) dalam definisi pemanfaatan genetic resources, termasuk di dalamnya derivatives (turunan) dalam aturan akses dan pembagian keuntungan.

Selain itu, COP-10 CBD juga telah menghasilkan kesepakatan untuk dua isu besar lainnya yang diusung dalam konvensi itu, yakni masalah Rencana Strategis dan Target Global 2011 – 2020, serta Mobilisasi Pendanaan. Kesepakatan yang ada merupakan perjuangan Indonesia bersama dengan Like Minded Mega Divers Countries (Perkumpulan Negara-Negara Kaya Keanekaragaman Hayati). Kesepakan itu dianggap sebagai hasil yang sangat menggembirakan mengingat minimnya kesepakatan dan keberhasilan global saat ini.

Mengenai Rencana Strategis dan Target Global, telah disepakati rencana strategis yang ambisius untuk menjadi panduan kebijakan global dalam mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati dan target penting lainnya. Salah satu target global yang disepakati adalah pembentukan protected area (daerah konservasi) di wilayah negara-negara berkembang sebesar 17 persen untuk kawasan teresterial dan perairan darat, serta 10 persen untuk kawasan pesisir dan laut secara global.

“Negara-negara berkembang sebenarnya mengajukan 70 persen untuk daerah konservasi, sedangkan negara-negara maju hanya mematok angka 20 persen. Negara-negara maju beranggapan bahwa target yang diusung oleh negara-negara berkembang jangan sampai terlalu tinggi dan sulit dicapai. Akhirnya angka 17 persen yang menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak,” tutur Masnellyarti Hilman atau yang akrab dipanggil Nelly.

Target global lainnya yang telah disepakati antara lain adalah penurunan laju kehilangan kawasan habitat alami sedikitnya menjadi separuhnya dan, apabila memungkinkan, sampai mendekati nol; restorasi sekurangnya 15 persen dari ekosistem yang rusak; upaya khusus untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang; dan peningkatan pendanaan untuk implementasi konvensi. Strategi tersebut juga didukung oleh kesepakatan mengenai kegiatan dan indikator untuk melaksanakan mobilisasi pendanaan.

“Beberapa negara maju sudah menyatakan kesediaannya untuk mendukung upaya Resource Mobilization dengan cara menyiapkan sumbangan bagi negara-negara berkembang. Salah satunya adalah Jepang yang sudah menyiapkan dana sebesar US $ 1 milyar, di samping Uni Eropa, Amerika Serikat, Swedia dan lainnya yang juga siap membantu. Namun, bentuk Financial Support ini perlu juga diantisipasi oleh Indonesia agar dana itu bisa digunakan dengan bijak,” jelas Nelly.

Bagi Indonesia, berbagai kesepakatan yang dihasilkan oleh konvensi itu sudah semestinya dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa dan tentunya ditujukan untuk menjaga keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Selain itu, sudah seharusnya didorong penetapan UU Pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagai perangkat hukum bagi pelaksanaan Protokol ABS secara efektif di Indonesia.

Dengan disepakatinya dokumen-dokumen mengenai tiga isu utama tersebut, COP-10 CBD telah menjadi tonggak sejarah bagi masalah konservasi keanekaragaman hayati di dunia. Dalam konvensi itu, keterkaitan perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati juga dibahas di dalamnya. Hampir semua isu negosiasi yang ada di COP-10 CBD dikaitkan dengan perubahan iklim tersebut. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.