Di balik Gunung Kamulyan, Kabupaten Batang, tersimpan kearifan lokal masyarakat di beberapa desa dalam menjaga dan merawat kelestarian mata air yang menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di perkotaan, meskipun mereka bukan penerima utama.

Batang, Jawa Tengah. Bagi masyarakat Desa Bismo, Desa Keteleng dan Desa Tambakboyo, mata air merupakan khazanah lingkungan. Bukan sekadar kekayaan alam yang bebas untuk dikuras habis, melainkan komponen ekosistem yang harus dipertahankan keberadaannya. 

Mereka pun merelakan tanah pekarangan dibuat menjadi sumur resapan, semata-mata agar masyarakat yang tinggal di perkotaan bisa mengkonsumsi air bersih dalam jangka panjang. Kini, jumlah sumur resapan yang telah terbangun di ketiga desa itu sebanyak 361 lokasi. 

Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bismo Sejahtera, Neman Surono (46),  menuturkan gerakan konservasi air sudah berlangsung selama tiga tahun. Menurutnya, secara filosofi identitas,  Desa Bismo adalah air karena terdapat mata air yang bernama Tuk Bismo. 

“Mata air ini dikeramatkan dan menjadi tujuan wisata religi sampai sekarang,” ujar mantan kepala Desa Bismo dua periode tersebut.

Secara keseluruhan, lanjutnya, ada lima tuk (mata air) yang terdapat di Desa Bismo, yakni  Mubal, Lingsar, Pucung, Makandowo dan Bismo. Hanya Tuk Bismo dan Makandowo yang tidak bisa dimanfaatkan lantaran berada di bawah desa. Sedangkan, Tuk Bismo justru dimanfaatkan oleh  masyarakat Desa Keteleng.

Selain itu, juga dimanfaatkan sebagai sumber air minum yang dikelola oleh PDAM Kabupaten Batang guna memenuhi 40 persen dari total kebutuhan pelanggan (44.000 SR) di wilayah perkotaan dengan rata-rata produksi 240 liter/detik.

Lebih lanjut, suami Suriah (43) ini menceritakan awal tahun 2014, terjadi kemarau panjang sehingga debit mata air mengecil. Saat itu, warga Desa Bismo dan Desa Keteleng sempat berebut air dari mata air Sigandul.

Selain dua desa tersebut, mata air yang berada di Desa Keteleng ini juga dimanfaatkan oleh PDAM dan warga desa tetangga yakni Wonobodro, Plecingan serta Besani. Warga dari lima desa ini pun adu argumen hingga diselesaikan di balai desa.

“Akhirnya disepakati pengambilan air dibagi agar merata, meskipun masih tidak mencukupi,” tutur bapak dua anak ini.

Desa Bismo dan Keteleng merupakan daerah resapan air di Kecamatan Blado, yang berada pada ketinggian 800-900 mdpl, serta menjadi sumber air baku utama untuk Kabupaten Batang dan wilayah sekitarnya.

Akan tetapi, dalam sepuluh tahun terakhir, debit mata air yang dihasilkan mengalami penurunan signifikan (10-30 persen) karena alih fungsi hutan serta dampak perubahan iklim. Tata guna lahan yang tidak tepat mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi dan memacu peningkatan limpasan air. 

Melihat ancaman kerusakan tersebut, Neman bersama sepuluh anggota KSM berpikir keras, bagaimana agar tidak lagi mengalami krisis air saat musim kemarau. Setelah mencari referensi, terbersit ide untuk membuat sumur resapan.

Neman berusaha mengakses bantuan ke Dinas Kehutanan. Namun, alokasi bantuan pembuatan sumur resapan ternyata tidak lebih dari dua lokasi. Itu pun masih harus bersaing dengan desa-desa se-Kabupaten Batang. 

Impian Neman terwujud ketika United States Agency for International Development (USAID), masuk ke Bismo guna mensosialisasikan program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) pada 2015 untuk mengampanyekan gerakan penyelamatan mata air. 

“Saat itu belum terbentuk KSM, kami bersebelas hanya suka kumpul-kumpul membahas tentang gerakan lingkungan, sebatas gencar mengajak warga agar mau menanam pohon di lahan yang kritis,” imbuhnya.

Setelah memperkuat kelembagaan, mereka bersama tim IUWASH melakukan studi banding ke Desa Patemon, Kabupaten Semarang. Mereka mempelajari tentang keberhasilan warga Patemon menyelamatkan mata air Senjoyo melalui sumur resapan.  Sumur resapan dibangun menggunakan desain persegi berukuran 2×2 meter dengan kedalaman dua meter. 

Ilmu yang didapat diimplementasikan oleh Neman beserta anggota KSM. Namun, jalan terjal harus mereka lalui lantaran masyarakat Bismo tidak serta merta memberikan respon positif. Tidak sedikit warga yang menolak dan beralasan kalau dibangun sumur resapan nanti tanah pekarangan mereka akan rusak.

“Ada yang beralasan nanti longsor, membahayakan. Bahkan, ada yang bertanya berapa ganti rugi (lahan) untuk satu sumurnya. Semua itu dilontarkan warga karena ketidaktahuan mereka,” ungkapnya.

Dengan sabar, para anggota KSM mengunjungi warga dari rumah ke rumah. Mereka pun memanfaatkan pertemuan jamaah tahlil yang rutin digelar tiap RT. Dalam kesempatan itu, Neman menyampaikan apa saja manfaat dari sumur resapan, antara lain tanah pekarangan yang menjadi sumur resapan nantinya menjadi subur dan tidak mudah becek. 

“Sebaliknya, kalau saya sampaikan manfaat sumur resapan bisa menambah debit mata air Bismo yang notabene masyarakat Desa Bismo tidak merasakan manfaatnya, mereka justru akan berpikir bahwa itu hanya menguntungkan warga yang tinggal di daerah bawah.”

Ketekunan meyakinkan warga selama sebulan akhirnya berbuah hasil setelah salah seorang tokoh desa, Mbah Rohmadi (70) bersedia membuat tiga sumur resapan di lahan pekarangannya seluas 600 meter persegi.

Lalu, enam sumur resapan di lahan pekarangan rumah Neman seluas 800 meter persegi, 15 sumur di halaman SDN Bismo dan lima sumur di halaman balai desa.  Jumlahnya terus bertambah hingga menjadi 80 sumur. 

Melimpas ke jalan

Sebelum dibangun sumur resapan, setiap habis turun hujan sering terjadi genangan di sekitar rumah dan perkampungan. Namun, dengan adanya sumur resapan, tidak ada lagi genangan. Selain itu, berkurangnya kerusakan jalan desa akibat air hujan yang melimpas ke badan jalan. 

Berbeda dengan Desa Patemon, karena keterbatasan lahan, sumur resapan yang dibangun di Desa Bismo berdimensi bulat seperti tabung, diameter satu meter dan kedalaman dua meter. 

Program konservasi mata air diikuti oleh Desa Tambakboyo pada tahun yang sama dan Desa Keteleng satu tahun berikutnya. Sebanyak 81 sumur resapan terbangun di Desa Tambakboyo Kecamatan Reban. Kades Tambakboyo, Sodikin (36) mengatakan sebelum ada sumur resapan, sering terjadi banjir di Dukuh Tambakboyo bawah saat hujan turun deras. Terdapat mata air Watalumbung yang tidak bisa dimanfaatkan warga Tambakboyo karena berada di bawah desa.

“Desa kami kaya air, tapi tidak layak konsumsi. Sebab, sumber air yang dimanfaatkan warga Tambakboyo berasal dari Sungai Petung,” katanya. 

Sedangkan, mata air Watulumbung yang berada di atas lahan pribadi warga dimanfaatkan oleh perusahaan air mineral serta PDAM. Kapasitas debit air yang diambil oleh PDAM dari mata air ini sebesar 38 liter per detik. 

Sementara itu, Ketua KSM Sumber Barokah Desa Tambakboyo, Wahyudin (50) mengungkapkan, sama halnya dengan Desa Bismo, gerakan konservasi mata air melalui pembangunan sumur resapan mendapat pendampingan dari tim IUWASH. Gerakan tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.  Apalagi, bebatuan di desa ini berjenis padas. Pernah, ketika menggali sumur hanya menemukan batu sehingga memaksa mereka mencari lokasi baru. 

Menurut Wahyudin, untuk membuat warga mengerti tentang manfaat sumur resapan, bersama sembilan anggota KSM melakukan pendekatan religi. Ia pun tidak segan menyambangi rumah warga yang menolak diberikan sosialisasi. Saat itu, ada warga yang tidak mau diberi pemahaman oleh anggota KSM, termasuk ketua RT juga sudah angkat tangan. 

“Saya datangi dan beri pengertian dengan analogi bahwa kita tahu rasanya haus seperti apa. Jadi, kalau mereka yang tinggal di daerah bawah tidak ada air, tentu tahu seperti apa rasanya,” katanya. Karena itu, Wahyudin pun dalam setiap sosialisasi selalu menyebut kerelaan warga sebagai amal jariyah.

“Tolong, saya minta jariyahnya. Saya mau nitip sumur resapan, satu rumah satu sumur saja. Ini semata untuk anak cucu, karena mereka tidak selamanya tinggal di sini. Bisa saja nanti mereka tinggal di daerah bawah,” imbuh Wahyudin. 

Lebih lanjut, ia menambahkan selain sungai, sumber air bersih warga Tambakboyo berasal dari mata air Nggrejo di Kelurahan Kroto, Kecamatan Reban. Lokasinya sekitar tiga kilometer di atas Desa Tambakboyo.

Mata air tersebut dialirkan ke desa melalui saluran kecil lalu ditampung bak dan disalurkan ke rumah warga. Penampungan air difasilitasi oleh program pemerintah, Pamsimas. Hanya saja, debit air relatif kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga. 

“Status (membuat) sumur bor itu kalau sudah darurat. Kalau warga semua ngebor, nanti urat nadi mata air bisa kena,” bebernya.

Kepala Desa Keteleng Wahyudi menganggap pelestarian lingkungan sangat penting. Sebab, jika alam telah rusak, bencana akan menghampiri desa yang dihuni 2.500 jiwa dari 753 KK tersebut. Ditambahkan Sekretaris Desa Keteleng, Sukiman bahwa Bismo dan Keteleng merupakan daerah tangkapan air di lereng utara pegunungan Dieng.

Di Desa Keteleng, kerusakan lingkungan sudah terasa saat debit air berkurang di sumber mata air yang dimanfatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari maupun pengairan lahan pertanian.

Kondisi itu berbeda dari sepuluh atau 15 tahun lalu, warga tidak perlu jauh mendapatkan air bersih. Berdasarkan pengalaman tersebut, sebagian warga menyadari penurunan kualitas lingkungan.

Namun, masih banyak yang belum menyadari. Beberapa pihak dan oknum masih melakukan tindakan merusak lingkungan. Masyarakat yang sadar dan kritis mulai membuat imbauan dan larangan merusak lingkungan secara tertulis di lokasi-lokasi yang kritis.

Upaya edukasi ini berlanjut dengan pembuatan 100 sumur resapan dengan mendapatkan pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat yang konsen terhadap konservasi air. Sebaran sumur resapan tersebut, antara lain tepi jalan, halaman rumah dan perkebunan warga.

“Setelah ada sumur resapan, debit mata air Bismo dan Mubal meningkat. Kami berharap sumur resapan yang sudah ada ini bisa diperbanyak, terutamanya untuk Dukuh Pagergunung karena di sana belum ada,” ungkapnya.

Penurunan debit

Di tempat terpisah, Direktur PDAM Batang Yulianto mengungkapkan 90 persen sumber air baku berasal dari mata air pegunungan dan sisanya dari air permukaan. Kontribusi terbesar berasal dari Tuk Bismo di Desa Bismo Kecamatan Blado dan Tuk Watulumbung di Desa Tambakboyo Kecamatan Reban, hingga 70 persen untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat Batang.

“Jumlah pelanggan kami 44.000 SR (Sambungan Rumah-Red), 90 persen pasokan air bakunya dari wilayah hulu,” ujarnya. 

Hanya saja, lanjutnya, terjadi penurunan debit pada kedua mata air akibat rusaknya lereng utara pegunungan Dieng akibat alih fungsi lahan besar-besaran, serta penebangan hutan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Selain itu, penyebab lain adalah kebakaran hutan lindung. Akibatnya, ketika musim kemarau panjang pada tahun 2013 hingga 2015, debit kedua mata air penyuplai air baku PDAM Batang tersebut turun sampai 30 persen. 

Dia mengatakan menyusutnya debit mata air mengganggu pasokan air kepada pelanggan. Dampaknya terlihat pada saat puncak konsumsi air, pasokan menjadi lemah, bahkan ada yang tidak mengalir.

“Kondisi hutan di lereng utara Dieng sudah sangat parah dan berat sekali. PDAM hanya bisa mampu menjaga pelestarian hutan di radius 100-200 meter dari sumber mata air. Saya mengimbau pemerintah pusat dan provinsi agar serius menangani, sebab ini persoalan nasional.”

Setelah adanya gerakan konservasi air secara masif yang dipelopori warga Bismo, terjadi peningkatan debit mata air Bismo dari semula 160 liter per detik menjadi 200 liter per detik pada musim kemarau. Sedangkan, pada musim penghujan, debit air bisa mencapai 250 liter per detik.

Berdasarkan data dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Mineral Jawa Tengah, debit mata air Bismo dan Watulumbung, Kabupaten Batang menurun karena perubahan iklim dan alih fungsi lahan. Meski pada musim hujan daerah di sekitar mata air itu kebanjiran, namun pada musim kemarau justru mengalami kekeringan yang luar biasa.

Hal serupa diungkapkan oleh Spesialis Urban Water Supply IUWASH, Ronny Sutrisna, penurunan debit mata air di Jateng telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini diakibatkan oleh akumulasi dampak penurunan daya resap dan daya simpan lahan terhadap air hujan. Selain itu, terjadi perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan pola hujan. 

Bahkan, dulu di Batang, hutan di lereng utara Dieng masih bagus, tapi sekarang berubah menjadi perkebunan kentang. Hasil penelitian IUWASH dan Undip menyatakan bahwa air hujan yang diserap semula 73 hingga 95 persen dan limpasan hanya lima persen hingga 27 persen.

Tapi, setelah lahan berubah fungsi menjadi perkebunan teh dan tanaman holtikultura, penyerapan tanah hanya 50 hingga 70 persen sedangkan limpasan menjadi 30 hingga 50 persen.

Karena itu, gerakan pengembalian air ke alam melalui sumur resapan di daerah tangkapan air sama saja menumbuhkan semangat menyelamatkan sumber daya air sebagai modal dasar kehidupan yang lebih baik.

Artikel ini ditulis oleh Hartatik, salah satu jurnalis terpilih dalam program Earth Journalism Network (EJN) Asia-Pacific Story Grant 2018, dan pertama kali diterbitkan oleh Harian Suara Merdeka edisi cetak pada 28 Jun i2018.

About the writer

Hartatik

Hartatik is an editor at Suara Merdeka daily newspaper, based in Semarang City, Central Java, and has 14 years of experience as a journalist. She has an interest in covering environmental issues, climate...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.