Setelah mendapatkan protes dan blokade dari warga sekitar TPA Bulusan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi akhirnya menutup tempat pembuangan akhir yang sudah beroperasi sejak tahun 1988 tersebut. Meski demikian, masalah lingkungan masih dialami oleh warga Kampung Baru, terutama terkait dengan ketersediaan air bersih.

Oleh Widie Nurmahmudy

Setelah mendapatkan protes dan blokade dari warga sekitar TPA Bulusan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi akhirnya menutup tempat pembuangan akhir yang sudah beroperasi sejak tahun 1988 tersebut. Meski demikian, masalah lingkungan masih dialami oleh warga Kampung Baru, terutama terkait dengan ketersediaan air bersih.

Banyuwangi, JAWA TIMUR. Setelah blokade yang dilakukan warga berujung kepada penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) Bulusan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyewa lahan baru seluas satu hektar selama tiga tahun di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, sambil menunggu penyelesaian pembangunan TPA baru.

“Untuk TPA, sementara ini dialokasikan  di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, di sana mampu menampung 58 ton per hari,” jelas Khusnul Khotimah, kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi kepada Ekuatorial, Kamis (15/11).

Khusnul mengatakan mereka menyewa lahan bekas galian pasir yang berjarak 25 kilometer dari TPA Bulusan tersebut sambil menunggu proses pembangunan TPA baru yang akan berada di lahan seluas 12 hektar di Kecamatan Wongsorejo milik pemerintah daerah.

“Saat ini kami dalam proses pembangunan TPA dengan konsep Sanitary Landfill di tanah aset Pemda Banyuwangi di Wongsorejo. Sambil menunggu proses selesai, kami sewa lahan TPA di Desa Patoman Kecamatan Blimbingsari,” jelasnya.

Apabila dalam tiga tahun, lanjut Khusnul, proses pembangunan TPA baru di Wongsorejo belum selesai, maka pihaknya akan melanjutkan sewa lagi.

“Warga Desa Patoman banyak yang berminat lahannya disewa. Mereka bahkan menawarkan lahan untuk kami gunakan, kalau lahan yang disewa tiga tahun tersebut telah selesai. Tapi, kami tidak bisa berjanji, menunggu proses pembangunan TPA di Wongsorejo dulu,”katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perpindahan TPA merupakan dampak dari penolakan warga terhadap tempat pembuangan sampah yang dianggap merugikan mereka.

“Kami sengaja menutup TPA Bulusan untuk kenyamanan bersama dan untuk saat ini alternatif pembuangan sampah di bekas galian C [Red: bekas galian batu dan pasir] Desa Patoman Blimbingsari,“ lanjutnya.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bulusan. Number: Widie Nurmahmudy

Sejak April lalu, warga Kampung Baru, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi, memprotes keberadaan TPA Bulusan yang berada di tengah pemukiman warga.

Mereka menghadang armada pengangkut sampah dari depo-depo sampah di 13 kecamatan masuk ke TPA dan membentangkan spanduk protes sepanjang jalan yang dilalui oleh kendaraan tersebut.

Warga menentang TPA yang sudah beroperasi sejak tahun 1988 tersebut karena masalah pencemaran lingkungan, seperti bau tidak sedap, longsor, air tercemar, hingga masalah kesehatan.

Selama ini, TPA Bulusan yang memiliki luasan sekitar 1,5 hektar menampung lebih dari 30 ton sampah per hari yang berasal dari 13 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.

“Setiap harinya, volume masukan sampah di TPA Bulusan sebanyak 3.647,3 meter kubik per hari,” kata Khusnul menambahkan bahwa total penduduk Kabupaten Banyuwangi mencapai 1,6 juta jiwa dengan kontribusi 0,7 kilogram sampah per orang per hari.

Irwan Kurniawan, ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) dan dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Banyuwangi, mengatakan bahwa fasilitas pengolahan sampah di TPA Bulusan kurang memenuhi standar pengolahan sampah.

TPA Bulusan, jelas Irwan, tidak memiliki lahan pemilahan dan composting (Red: proses penguraian sampah organik) dan tidak mempunyai rak penyimpan sampah.

Ia pun menyarankan pengolahan sampah terlebih dahulu sebelum dibuang ke TPA untuk mengurangi volume serta mendapatkan manfaat ekonomis.

“Dinamika sampah di Banyuwangi cukup kompleks. Banyaknya pegiat lingkungan belum dianggap penting. Padahal, pemerintah yang memiliki kekuasaan, aturan, sistem dan terutama dana untuk mengatur agar sampah akan dikelola. Karena kesadaran masyarakat tidak akan timbul dengan sendirinya,” ungkap Irwan.

Sementara itu, Slamet Sumarto, ketua Forum Banyuwangi Sehat (FBS), bahwa pemerintah bertangungjawab mencarikan pengganti lahan TPA yang resmi, meski saat ini masih bisa menampung sampah yang ada.

“Kalau bicara ideal, terbukti dengan sistem Controlled Landfill hingga saat ini masih tetap jalan. Meskipun, tidak bias dipungkiri, jika TPA Bulusan sudah tidak ideal lagi dan overload,” ujar Slamet.

Sejak tahun 2009, pemerintah Banyuwangi selalu menganggarkan biaya pengadaan tanah untuk lokasi baru TPA, namun karena sulitnya menemukan lahan yang tepat, dana tersebut dikembalikan ke kas daerah.

“Kalau sebuah kota tidak punya TPA, ya, mungkin seperti Jakarta harus mengungsi ke Bantar Gebang Bekasi, itu perlu MoU dan biayanya sangat mahal,” jelas Slamet. “Untuk menjadi lahan TPA, idealnya minimal harus lima hektar. Syukur kalau ada sampai 20 hektar karena usia TPA semakin panjang, biaya yang tercurahkan untuk TPA akan efisien, daripada seluas satu hektar, biaya mahal untuk infrastrukturnya, lalu penuh.”

Selain itu, ia mengatakan bahwa gerakan mengolah sampah juga harus digencarkan karena minimnya pemahaman masyarakat terkait sampah dan TPA yang juga berdampak kepada sulitnya mendapatkan lahan baru.

“Seharusnya seluruh potensi yang ada diajak rembug bersama dan itu tidak mudah. Karena, tidak semua organ tubuh dalam pemerintahan memahami tentang fungsi dan tujuan dari keberadaan TPA itu sendiri,” katanya.

Spanduk penolakan pengoperasian TPA Bulusan yang dipasang oleh warga Kampung Baru. Sumber: Widie Nurmahmudy

Sementara itu, Fathul Bahri, ketua RT03/RW02 Kampung Baru, mengatakan warga tetap menolak adanya aktivitas di TPA Bulusan.

“Harapan kami saat ini, tidak ada lagi aktivitas di TPA. Baik pengerukan maupun meratakan karena puluhan tahun kami harus menanggung dampak buruknya. Kalau musim hujan, air lindi (Red: cairan yang keluar dari sampah) TPA akan masuk ke rumah-rumah kami. Bau sampahnya juga mengganggu kami dan tamu yang datang kesini dan pencemaran lingkungan,” kata Fathul yang khawatir sampah akan menumpuk kembali apabila dilakukan pengerukan.

Fathul menambahkan 70 persen dari sumur-sumur yang dimiliki oleh sekitar 20 warga kampungnya kini telah tercemar.

“Sekarang banyak sumur-sumur milik warga telah ditutup. Baik ditutup permanen dengan beton, ada yang ditutup kayu. Sebabnya, ya karena warnanya kuning pekat. Mereka takut kena penyakit,” jelasnya.

Khusnul menjelaskan bahwa peraturan mengharuskan dilakukan rehabillitasi dan monitoring pasca penutupan TPA.

“Saat ini sedang ada pengurukan di TPA Bulusan, nanti ke depannya akan didesain menjadi Taman Edukasi TPA. Karena tidak boleh TPA dibiarkan begitu saja dan kami sudah bekerjasama dengan akademisi untuk menuangkan konsep ‘TPA Wisata Edukasi’ agar TPA Bulusan tetap dalam pengawasan kami,” kata Khusnul.

Khoirul, penanggungjawab TPA Bulusan, mengatakan bahwa hingga kini tidak ada aktivitas di TPA, selain dari dirinya, dua tenaga harian lepas, dan penjaga malam.

“Sudah lama para pemulung tidak lagi bekerja di sini. Mereka bekerja di pabrik, membuat bata, termasuk tenaga harian lepas yang bertugas di sini juga dipindahkan ke Depo Ketapang Kecamatan Kalipuro, yang berjarak sekitar empat kilometer dari TPA Bulusan dan Depo Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi,” kata Khoirul yang kini lebih banyak memantau tempat pembuangan sampah sementara di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari.

Dalam perkembangan terakhir, timbunan sampah di TPA Bulusan sudah mencapai ketinggian hingga 20 meter, melewati dinding pembatas dan atap rumah warga sekitar. Hanya beberapa pemulung yang terlihat mencoba masuk untuk mencari barang rongsokan di TPA tersebut.

 

Pencemaran air TPA Bulusan

Selain persoalan bau dan rawan longsor, warga Kampung Baru masih harus berhadapan dengan persoalan kualitas air yang diduga tercemar akibat TPA Bulusan.

“Kalau untuk air sumur warga, kami belum menerima laporan langsung. Tapi, jika dalam dua bulan ini terjadi perubahan pada warna air milik warga sekitar TPA, itu disebabkan Kolam Lindi (limbah sampah) meluber pada musim hujan. Bisa jadi itu masalahnya,” kata Khusnul, kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi, Rabu, (21/11).

Ia mengatakan bahwa pihaknya telah membuat sumur bor agar warga sekitar TPA Bulusan dapat mengakses air bersih.

“Kalau pembuatan sumur bor untuk warga Bulusan itu sudah ada sejak era DKP,” katanya.

Salah satu warga Kampung Baru, Mustofa menduga penyebab warna kuning dari sumur bor digali berasal dari TPA yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Padahal, kedalaman sumur bor tersebut mencapai 36 meter.

“Saat saya menggali sumur untuk keperluan minum, warna airnya sudah keruh. Sampai tiga titik yang saya gali, tetap warnanya sama. Menurut warga disini, karena dampak dari TPA Bulusan. Makanya, banyak yang menutup sumurnya,” kata Mustofa yang ditemui Ekuatorial, Senin (19/11).

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sudah empat titik yang digali untuk mencari air bersih namun hanya berhasil mendapatkan air berwarna cokelat pekat.

“Kalau dipakai mandi, ya, gatal-gatal. Tapi, bagaimana lagi, adanya seperti ini. Tidak hanya di rumah saya, sumur warga banyak yang warnanya kuning, sekarang warnanya sudah lumayan, tidak terlalu keruh seperti tahun lalu” katanya menambahkan bahwa biaya mengebor sumur menghabiskan dana hingga Rp60 juta.

“Saya melakukan pengeboran untuk mendapatkan air yang layak minum sudah di tiga titik lokasi. Dua titik di utara rumah, saya pikir dengan mengambil titik berbeda akan menghasilkan air yang lebih baik, ternyata, hingga di titik ketiga, di depan rumah ini, airnya tetap sama. Harga ngebor per titik saja, kurang lebih dua puluh juta,” ungkapnya.

Untuk kebutuhan air minum dan memasak, Mustofa dan keluarganya akhirnya membeli air minum kemasan.

“PDAM [Red: Perusahaan Daerah Air Minum] tidak masuk kesini karena ada rel kereta api, sehingga tidak bisa dilewati pipa PDAM,” tambahnya.

Moh. Syarif, warga lainnya, juga mengalami hal yang serupa.

Muh. Syarif, salah satu warga yang terpaksa menutup sumurnya 10 tahun yang lalu karna air yang bau dan keruh serta tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air pokok. Sumber: Widie Nurmahmudy

“Sumur saya sudah di tutup 10 tahun lalu, karena warnanya pekat dan aromanya tidak sedap. Sekarang, saya numpang di tetangga untuk keperluan masak. Bahkan, peralatan memasak rumah juga berkerak dalam waktu dua hingga tiga bulan,” ujar Syarif yang sudah menutup sumurnya dengan kayu.

“Itu dampak dari TPA, karena posisi kemiringan tanahnya menuju ke RT kami. Bahkan, masjid di sebelah timur kami yang letaknya  di pinggir jalan raya, juga warnanya kuning. Untung di sana ada air PDAM masuk” tambah pria yang juga guru mengaji tersebut.

Ayyub Hidayat, mantan Direktur PDAM Banyuwangi, mengatakan bahwa wilayah Kampung Baru belum bisa dijangkau oleh PDAM karena kondisi geografi.

“Kalau untuk di wilayah Kampung Baru yang dekat dengan TPA Bulusan, memang PDAM belum masuk karena kalau pipa lewat timur, geografis tanahnya naik. Sementara, kalau dari barat, belum ada tendon air yang bisa dialirkan dari barat,” kata Ayyub.

Selain itu, ia mengatakan bahwa keberadaan rel kereta api yang melintang di kawasan tersebut menyulitkan pipa untuk masuk.

“Kalau wilayah di pinggir jalan raya, PDAM sudah masuk. Semoga dengan kepemimpinan yang sekarang, PDAM bisa masuk ke Kampung Baru yang dekat dengan TPA tersebut,” harapnya. EKUATORIAL.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.