Setelah beberapa penertiban, antara lain pada 1 Oktober 2013 yang menyebabkan tiga orang tewas, Kecamatan Limun di Jambi masih bergelut dengan permasalahan tambang emas ilegal dan pencemaran lingkungan. Aktifitas ilegal ini pun beralih dari cara tradisional hingga kini menggunakan alat berat.

Liputan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia pada tanggal 28 Februari 2019.

Oleh Teguh Suprayitno

Siang itu, 1 Oktober 2013. Di ujung Dusun Mengkadai, Sapni, kehausan. Mengendarai motor buntut dia bergegas pulang ke rumah mertuanya di Dusun Mengkadai, dekat lapangan Desa Temenggung dengan membawa jerigen kosong. Turun dari motor, lelaki 31 tahun itu jalan terkimbang-kimbang hingga menabrak Helmalia, istrinya.

“Apo bang?” tanya Hel, heran.

“Ayo dek, abang nak cepat,” katanya, sembari menyodorkan jerigen. Istrinya melangkah ke dapur mengisi jerigen kosong dengan air rebusan.

Sapni menunggu di samping pintu. Di tempatnya berdiri, dia melihat anak perempuannya baru 14 hari tertidur pulas di ruang tengah. Dia hanya diam, seakan takut suaranya akan membangunkan tidur si bayi. Setelah dapat air, Sapni bergegas pergi dan lenyap dari pandangan Helmalia.

Seperti umumnya di Limun, Sapni dan Helmalia, punya niat buat acara syukuran anak baru lahir, sekaligus memberi nama. Siang itu, Sapni harus bekerja agar dapat uang untuk modal syukuran. Saban hari Sapni bekerja sebagai kuli dompeng—sebutan umum bagi penambang emas dengan mesin diesel. Nama dompeng merujuk pada dongfeng, merek mesin diesel buatan Tiongkok.

Penambangan emas di Kecamatan Limun, sejatinya ilegal, kendati demikian pekerjaan ini begitu umum dan jadi pekerjaan pokok warga untuk menopang hidup.

Kecamatan Limun, Kabupaten Sorolangun, Jambi, di sungai dan darat jadi sasaran tambang emas. Sungai Limun, sampai 1990, masih jernih. Setelah ada tambang emas, hingga kini, air sungai berwarna cokelat gelap mirip kopi susu.

Sungai Limun, adalah anugerah bagi warga desa-desa yang tinggal di sekitar. Sumber air, sekaligus sumber emas. Sungai ini punya kesamaan dengan apa yang ditemukan William Marsden, di Sumatera pada 1771. Dalam buku History of Sumatra, Marsden menemukan aliran sungai bernama Sungai Limun yang mengandung banyak emas.

Bukti yang dikatakan Marsden, barangkali adalah yang ditemukan pendahulu Bustami. Sebuah penambangan kuno di Sungai Batang Rebah, Limun. “Sungai Batang Rebah, itu pernah di-dam. Itu sampai ke hulu Batang Asai, itu dulu ketemu bekas galian tambang, zaman neneksayo,” kata Bustami, Ketua Lembaga Adat Limun.

Bukan hanya sungai, daratan Limun, juga mengandung banyak emas. Saturi, warga Pulau Pandan, mengatakan, sekitar 1980-an, melihat aliran Sungai Limun, masih jernih, orang-orang di Limun, menambang hanya menggunakan dulang.

“Zaman dulu, cari emas itu sampingan.Balekmeladang, dari kebun baru cari emas.”

Zaman mulai berkembang, era 1990-an warga di Limun, mulai membuat galian-galian tambang mirip sumur. “Kalau di sini dulu paling cuma enam meter, beda dengan Merangin,bisopuluhan meter.”

Seiring waktu, model penambangan emas juga berubah. Sekitar 2000, warga di Limun, mulai mengenal mesin diesel dongfeng atau yang dikenal dompeng. Penambangan emas mulai populer, sejalan waktu jumlah berubah berkali-kali lipat. Tak ada lagi cara-cara tradisional.

Sungai Batang Limun, Sorolangun, Jambi. Sumber: Warsi

Kerusakan tampak nyata, kolam kolam kecil bermunculan, berakumulasi dalam waktu, dan menciptakan kubangan luar biasa luas. Struktur tanah hancur. Sawah, kebun, berubah daratan batu putih yang gersang. Kawasan sungai yang punya kandungan emas lebih baik ikut porak-poranda.

Di hari sama, 1 Oktober itu, sekitar 300 aparat gabungan, satu kompi Brimob Detasemen B Pamenang Polda Jambi, satu pleton anggota TNI, satu pleton Satpol PP, satu pleton Sabhara Polda Jambi ditambah 100 anggota Polres Sarolangun, sedang merazia tambang emas ilegal di Kecamatan Cermin Nan Gedang, sekitar 10 kilometer sebelah utara Limun. Enam hari sebelumnya, ratusan aparat itu baru menyisir tambang ilegal di Mengkadai.

Selasa, awal Oktober itu, hari ke-9 dari 20 hari operasi pertambangan ilegal Siginjai 2013. Aparat gabungan kembali ke Polsek Limun, Pulau Pandan, menunggu kedatangan Kapolres Sarolangun, AKBP Satria Adhy Permana. Beberapa anggota polisi sibuk mengambil langkah sesuai bidangnya. Di tengah kesibukan ratusan personel, Wakapolres, Kompol Nurbani, bersama tiga anggota polisi pergi menuju Mengkadai, enam kilometer dari Pulau Pandan.

Sekitar 200 meter di belakang rumah Sukar, di Mengkadai, suara lima mesin dompeng keong empat seperti beradu keras, terdengar riuh di antara semak-semak di lahan tidur. Puluhan penambang emas berada dalam lubang besar sibuk membuang batu-batu sekepalan tangan, yang lain meruntuhkan tebing dengan menyemprotkan air yang keluar dari ujung selang berukuran satu setengah inch.

Sukar mengingat-ingat, waktu itu sekitar pukul 01.00 siang, empat polisi datang ke Mengkadai. Sukar mengenali salah satunya bernama, Wahyudi, biasa orang memanggil, Yudi, orang Pulau Pandan.

Dompeng-dompeng itu baru sehari bekerja, setelah aparat gabungan pindah ke Kecamatan Batang Asai. Kata Sukar, satu dari lima dompeng yang beroperasi di ujung Dusun Mengkadai itu milik Hidup-kini almarhum. Hidup merasa aman lantaran dibekingi oknum tentara.

Rombongan Sapni, berada paling dekat jalan, sekitar 250 meter dari tepi jalan Desa Temenggung. Hidup punya pekerja delapan orang, salah satu, Sapni, lainnya orang perantauan dari Pati, Jawa Tengah.

Apa yang terjadi siang itu di luar hari biasa. Sukar mendengar jelas suara tembakan berkali-kali, tetapi tak ingin mendekat. “Dor, dor, dor,tigokali, terus orang itu meraung-raung minta tolong, ada yang terkapar,” kata Sukar.

Selang beberapa lama, dia mendengar suara ribut lewat samping rumahnya. Seorang pekerja dompeng dibopong beberapa orang diangkat ke atas mobil polisi. Dua penambang ikut diangkut.

“Waktu lagingurusyangkenotembak itu,duo orang (pekerja dompeng) ini terjun dari mobil terus lari, dikejar Yudi sampai ke belakangsano,” kata Sukar, menunjuk belakang rumah warga di depannya. Sukar melihat, wajah dua pekerja Hidup itu bukan warga Mengkadai, perantau dari Jawa.

“Habis itu mobil laju ke Pulau Pandan.”

Kabar penangkapan kuli dompeng itu langsung menyebar ke penduduk kampung. Warga yang penasaran mulai berdatangan dan berkumpul di ujung dusun. Di pinggir jalan depan rumah Sukar, sekelompok orang mulai kasak-kusuk. Kronologi penangkapan mulai dirangkai dari mulut ke mulut. Siapa orang yang dibopong masih misteri.

Aswat, warga dusun, ikut datang ke lokasi, dia melihat Nurbani, yang dikenalnya di rumah Hamid, Kades Tumenggung, waktu operasi tambang ilegal seminggu lalu. Makin sore, kerumunan warga bertambah banyak, jumlah puluhan.

Tak lama, mobil truk, bus, mobil patroli sabhara muncul dari arah Pulau Pandan. Ratusan pasukan turun tak jauh dari kerumuman warga. Kabag Ops. Ricky Hariyanto, yang baru empat hari dinas di Sarolangun, ikut bersama rombongan. Tak ada tanda-tanda perlawanan, warga masih sibuk mengumpulkan cerita penangkapan.

Seorang bocah SD mengendarai sepeda motor melintasi jalan Dusun Mengakadai. Dia memacu motor melewati kerumunan warga, ketakutan melihat banyak polisi. Namanya, Sugeng.

Di tempat berbeda, Helmalia yang sedang merawat banyi dapat kabar buruk, suaminya ditangkap polisi. Perasaan dia penuh kekhawatiran. Dia yang dalam masa pemulihan usai melahirkan, tak bisa berbuat banyak. Hel diminta tetap tinggal di rumah. Sebagian keluarga Helmalia pergi menelusuri kabar penangkapan Sapni.

Sapni, tak tertolong. Kabar kematian Sapni, lebih dulu sampai ke telinga polisi. Ricky kemudian memerintahkan satu pleton pasukan menuju RSUDProf Dr HMChatib Quzwain, Sarolangun, untuk mengamankan situasi di rumah sakit yang mulai bergejolak. Kabar yang dia terima, keluarga Sapni histeris dan mulai emosi.

Situasi di Mengkadai yang tenang itu seketika gaduh, setalah ada warga yang teriak. “Ya Allah oi mati, mati!”

Peta sebaran tambang emas ilegal di Jambi. Sumber: Teguh Suprayitno

Kabar Sapni, meninggal ditembak, menyebar secapat kilat ke kuping kerumunan orang yang sebelumnya sibuk menjalin cerita penangkapan. Kabar kematian memecah misteri siapa kuli dompeng di Mengkadai itu.

Kontan warga ngamuk dan menyerang aparat dengan batu. Mereka lempar apa saja yang bisa mereka lempar. Ricky memerintahkan anggotanya yang hendak ke rumah sakit merapatkan barisan, bertahan menghalau serangan warga, menunggu 100-an anggota lain yang masih terjebak di lokasi tambang. Ricky berada di barisan depan, di jalan setapak menuju lokasi dompeng. Kepala bocor kena lemparan batu.

Aparat melawan. Suara tembakan terdengar bersahutan di tengah terikan warga. Proyektil keluar dari moncong bedil menyasar tak terkendali, melawan lemparan batu yang datang seperti hujan.

“Waktu itu perang, bener-bener perang!” kata Aswat. Matanya menerawang ke langit Mengkadai yang telah gelap.

Beduk ditabuh di mesjid dan mushola kampung tanpa henti. Pertanda situasi desa dalam bahaya. “Perang” di ujung Dusun Mengkadai, terus berkecamuk.

Suara beduk seperti perintah adat, tanpa diundang warga berdatangan ke Dusun Mengkadai, jumlah ratusan.

Seiring “perang” di Mengkadai, kabar kematian Sapni, terus menyebar sampai wilayah Tanjung Raden, Muara Mensao, Ranggo, Demang hingga daerah Limun, paling ujung.

Aswat menyambar stang motor, bergegas menuju rumah sakit memastikan kematian Sapni, sepupunya. Dia menerabas rombongan aparat yang menembaki warga, tak ada peduli dan rasa takut peluru akan menembus tubuhnya.

Di tengah kekacauan di ujung dusun, Haidir, yang lagi istirahat kaget dapat kabar dari anaknya yang pulangnebeng—numpang cari emas di lokasi dompeng.

“Pakmotornyoditahan polisi!” kata anaknya.

Haidir yang terkejut, kontan tanya “Ngapo ditahan?”

Pria 50 tahun itu bingung, anaknya tak bisa beri penjelasan. Dia bergegas menuju ujung Dusun Mengkadai, tempat anaknyanebeng. Lebih 30-an orang dekat jembatan Inum sedang melempari polisi dengan batu. Suara tembakan terdengar jelas di kupingnya.

“Sampai sano, dor, dor, dor, suara tembakan, lah macam orang perang.”

Dalam kemelut, Sukar kebingungan mencari anaknya yang hilang entah ke mana. Hamid bersama David, Kapolsek Limun, minta diselamatkan.

Beberapa warga yang berkumpul di jalan, melihat David, langsung mendatangi rumah Sukar. Warga marah, curiga sopir travel itu sengaja menyembuyikan polisi. Mereka mendesak untuk masuk rumah namun dilarang isti Sukar. Warga mengancam akan membakar.

“Yo, kita tidak mungkin nak nolak, walau bagaimanapun namonyo manusio jugo. Binatang pun datang minta aman, wajib kita amankan, apalagimanusio.Tidak peduli polisi apo idak,” kata Sukar, pada saya.

Sekitar tiga kilometer dari rumah Sukar, Ida sedang menutup kiosnya. Sepriyadi (Asep) adik bungsunya yang baru pulang potong rambut bilang, ingin melihat “perang” di ujung dusun.

“Dak usah ke sano,dak dengar tu orang tembak-tembakan.”

“Ai nak nengok,” jawab Asep membantah.

Omongan Ida tak digubris. Remaja 16 tahun itu tetap pergi.

Di depan pintu toko, Ida melihat beberapa warga yang melintas kena luka tembak. Pikirannya mulai kacau teringat Alex, bapaknya yang tengah di lokasi keributan.

“Pas aku nak nutuptoko, oranglah bawa mayat adek aku,” katanya.

Asep duduk diapit dua orang mengendarai motor, kaki menggelantung terseret ke jalan, kuku-kuku kakinya habis beradu dengan batu koral jalan. Seperti tak percaya, jika lelaki muda dengan muka bersimbah darah itu adalah adiknya, yang baru beberapa menit pergi.

Di tengah deru tembakan, Asep, jatuh terkapar dengan luka lubang di hidung tembus belakang kepala. Kematian Asep, membuat warga makin beringas. Mereka seperti tak takut mati. Warga terus menyerang, memukul mundur aparat. Ratusan polisi lari kalang kabut menyelamatkan diri, mereka berlarian menaiki truk, bus, mobil patroli kembali ke Polsek Pulau Pandan.

Di seberang jembatan Inum, sebuah mobil pikap terlihat kepayahan. Di tengah kejaran warga, sang sopir panik memutar kemudi agar mobil mengarah ke Pulau Pandan. Mobil patroli milik sabara itu justru tersenggol bus dan terperosok ke parit. Sang sopir lompat keluar, berlari mengejar bus, menyelamatkan diri.

Kebun karet yang tergerus kegiatan penambangan emas ilegal dan menjadi lokasi PETI. Sumber: Teguh Suprayitno

Briptu Marto Fernandus Hutalagalung, yang tertinggal ditangkap warga. Dia dipukul, ditendang puluhan orang silih berganti. Wajahnya berlumuran darah berkali-kali dihantam batu. Anggota Brimob Datasemen B Polda Jambi, Pamenang itu tergeletak di lorong semak-semak, sekitar 30 meter dari jembatan Inum.

“Nga, mati budak tu!” dari kejauhan sesorang teriak memberitahu Haidir, Brimob itu mati.

Haidir kemudian berlari mendekati Briptu Marto, yang sekarat, berusaha mengahalau warga agar tak lagi memukulnya. “Saya tendang ada yang jatuh ke parit, bangun lagi, saya gini kan—dorong—melanting.”

Puluhan orang terus mendesak ingin memukul, Haidir mulai kerepotan. “Saya cegah di sini (kiri), yang di sini (kanan) masuk,lamo-lamo dak telap(sanggup) jugo napas ini. Tapi sayo tetap, orang ini jangan dibunuh. Walaupun perang nyawo, tapi jangan membunuh!”

Amir berusaha memukul Marto, marah-marah karena dihalang-halangi Haidir. “Sayo jolak, Amir itu jatuh,dio marah.”

Haidir akhirnya menyerah, dia tak sanggup menahan rasa sakit jempol kakinya pecah kena lemparan batu. Dia lihat Briptu Marto, sempat berlari menyelamatkan diri, tetapi warga yang kalap itu kembali mendapatkannya.

“Sayo dak sanggup lagi, jadi orang tu lari ngejar.Dak tahu lagi siapo yang mukuli polisi itu,” kata Haidir.

Briptu Marto dipukuli warga hingga tewas. Warga emosi lantaran dua orang Mengkadai, mati ditembak. Mobil polisi yang ditinggal lari dirusak dan dibakar.

Di tengah “perang” yang terjadi, Hamid, Kepala Desa Temenggung, waktu itu, memilih tetap di dalam rumah Sukar bersama David. “Kito nak ngamankanratusan orang itu tak kuat kito. Oranglah hilang pikiran semuo. Kalau waktu kejadian itu dio(David) keluar,dio dulu yang jadi bulan-bulanan,” kata Hamid, saat saya temui di rumahnya pertengahan Januari, lalu.

Lebih 30-an orang terluka karena “perang” di Mengkadai, 13 warga luka tembak. “Yang sini (betis) tembus, yang sini, yang sini,” kata Aswat menunjuk pelipis, tangan, macam-macam, menunjukkan luka 13 warga yang kena tembakan aparat. “Tapi ada yang kena peluru karet, ada yang kena peluru tajam.”

“Si Asep itu mati ditembak sini (batang hidung) tembus sini (kepala belakang).”

Asep sempat dilarikan ke Puskesmas Singkut, lewat Dam Kutur. Keluarganya berharap nyawa remaja 16 tahun itu masih bisa diselamatkan, namun dia banyak kehilangan darah.

Sekitar pukul 08,00 malam, situasi mereda. David keluar dari rumah Sukar, dibawa Rozi dan Bakok, mengendarai sepeda motor menuju Pulau Pandan. Dua penambang yang sebelumnya ditangkap Yudi, akhirnya dilepaskan setelah Magrib. Sejak itu, keduanya tak pernah terlihat lagi di Limun.

 

Kegaduhan di Jambi berlanjut

Keributan di Mengkadai, menyulut kegaduhan di Kota Jambi. Rumah Dinas Kapolda Jambi dan Rumah Dinas Gubernur Jambi, didatangi seratusan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Limun (Himali), Himpunan Mahasiswa Sarolangun (Himasar) yang marah warga Limun jadi korban. Anggota Perkumpulan Hijau (organisasi lingkungan) dan Aliansi Gerakan Reforma Agrasia (AGRA)—organisasi masyarakat, ikut dalam barisan mahasiswa. Mereka menuntut aparat gabungan di Limun, secepatnya ditarik mundur, dan menghukum anggota yang menembak warga. Massa juga minta Kapolda Jambi, Brigjen Pol. Satriya Hari Prasetya, diganti.

Keesokan hari, aksi serupa kembali diterjadi di Simpang Bank Indonesia, Telanaipura, Kota Jambi.

Dalam sebuah rekaman video yang sebelumnya muncul di media, saat konferensi pers, Kapolda Jambi, Brigjen Pol. Satriya, dengan lugas mengatakan, kedatangan anggotanya ke Mengkadai untuk penegakan hukum. Dia juga bilang, kalau warga (Sapni) yang meninggal itu karena jatuh ke lubang tambang, ketakutan melihat polisi. Kata-kata Satriya menegaskan, Sapni bukan mati ditembak.

Duapuluh satu hari setelah kejadian Mengkadai, Kapolres Sarolangun diganti. AKBP Rido Hartawan, resmi dilantik menjadi Kapolres Sarolangun menggantikan AKBP Satria Adhi Permana. Di media Kapolda Brigjen Pol. Satriya berjanji, menangkap para pelaku tambang ilegal beserta bekingnya.

Bustami, Wakil Lembaga Adat Kecamatan Limun, dapat undangan rapat di Kecamatan, Kamis,(3/10/13). Agendanya, penyelesaian kasus penembakan Sapni dan Sepriyadi. Wakil Bupati Sarolangun, Fahrul Rozi, Kapolres Sarolangun, AKBP Satria Adhi Permana, Dandim Sarko, B Panjaitan, dan tokoh masyarakat Limun datang dalam pertemuan itu. Para petinggi Sarolangun itu sepakat, masalah antara aparat polisi dengan warga Mengkadai selesai secara hukum adat. Pemkab Sarolangun, bersedia membayar denda adat: dua kerbau dan beras 200 kilogram, untuk makan bersama.

“Bahasa adatnyo itu, setinggi pinggang telago darah, tambunan bangkai,surutnyo baik.Artinyo, selesai itu baik, kalau bekeras terus kan tak baik,” kata Bustami. Kini, dia ketua lembaga adat di Limun.

Acara makan bersama di lapangan Desa Temenggung. Fahrul Rozi, AKBP Satriya Adhi Pernama, Susi Ketua DPRD Sarolangun, semua kades ikut dalam rangkaian hukum adat. Banyak warga mengira setelah proses adat, masalah bentrokan di Mengkadai, selesai. Mereka keliru. Beberapa hari setelah acara adat, warga mulai ditangkapi.

Siang itu, Sukar, baru saja mengantar penumpang ke Asrama Haji, berniat menuju loket travel di daerah Transito, Kota Jambi. Di depan Mal Jamtos, mobil Sukar, dihadang. Beberapa orang lalu merangsek masuk ke mobil dan mengambil posisi setir. Sukar dipindahkan ke bangku tengah diapit dua orang. Mobil melaju ke Thehok dan berhenti di Mapolda Jambi. Sukar, baru sadar yang membawanya adalah polisi. 

Dia ditahan dua hari dua malam. Sukar diintrograsi banyak petugas. Mereka tanya siapa orang yang membunuh Briptu Marto. Sukar selalu jawab, “tidak tahu.”

Sekitar pukul 01,00 malam, 18 hari setelah kejadian di Mengkadai, rumah Haidir dikepung 17 anggota polisi. Pria 54 tahun itu ditangkap saat keluar dari pintu dapur.

Haidir digelandang masuk mobil, hanya mengenakan celana pendek, bertelanjang dada, tanpa alas kaki. Haidir, dibawa ke Polres Sarolangun, tak lama kemudian dibawa ke Polda Jambi.

Kepala Dusun Mengkadai itu ditangkap berdasarkan rekaman video kejadian yang tersebar media sosial. Dalam video, Haidir, tampak jelas terlihat berdiri dekat Briptu Marto, yang tergeletak di semak-semak.

“Dalam video itu kan sayo gini, gini.” Haidir memperagakan gerakannya saat mengahalau warga. Haidir dianggap tahu siapa saja orang di video yang ingin memukul Marto, waktu itu.

“Orang tu banyak,dak tahu lagi siapo-siapo, katanya. Namun, dia ingat pernah mendorong Amir, hingga jatuh terjungkal karena ingin memukul Marto. Amir adalah paman Sepriyadi, yang tewas ditembak saat bentrokan di Mengkadai. Haidir mengaku, tidak tahu kesaksian siapa yang membuat Amir jadi tersangka.

Unyil yang ditengarai mendanai makan dan minum warga saat bentrokan terjadi, juga ditangkap. Akhirnya bebas. Sejak itu, Dusun Mengkadai, sepi, banyak warga ketakutan akan ditangkap polisi. 

Minggu, sekitar pukul 2.30 subuh, dua mobil lewat depan rumah Amir. Istrinya yang terbangun lalu menyibak tirai dan melihat ke jendela. Dia mengira hari telah pagi, karena mobil pedagang pasar Minggu, telah lewat. Istri Amir mematikan lampu depan dan tidur kembali. Ada yang ganjil. Dia mendengar suara mobil itu pelan berjalan mundur ke belakang dan berhenti persis di depan rumahnya. Tirai jendela ditutup rapat-rapat, perasaan mulai tak karuan. Ada orang datang. Suara derap sepatu terdengar samar-samar. Langkah orang-orang itu cepat mengelilingi rumah.

“Sayo nengok lagi ke jendela, polisi!” kata istri Amir.

Pintu belakang didobrak, beberapa orang masuk rumah menyergap Amir, yang masih tertidur. Anak perempuannya yang masih kelas empat SD itu melihat jelas bagaimana bapaknya ditelikung, digelandang ke mobil. Sejak itu, anak Amir, tak lagi berani masuk kamar.

Sepanjang perjalanan menuju Polres Sarolangun Amir, terus dipukuli. “Tibo di sel Polres, lebih orang 40 ngeroyok kami,” kata Amir.

“Mukonyo dak ado lagi (babak-belur), dipukuli polisi,” kata perempuan tua, yang duduk di samping Amir, menyela. Dia mengaku masih kerabat. Tiga hari Amir, dipukuli, disuruh mengaku kalau dia yang menganiaya Briptu Marto, hingga tewas. Amir berpikir, waktu itu harus ada tumbal. Jika tidak, Polres Sarolangun, akan diserang Polda, diserang Brimob.

Di Pengadilan Sarolangun, Amir dinyatakan bersalah dan menyebabkan Briptu Marto Fernandus Hutagalung, tewas. Amir dihukum lima tahun penjara.

Saya melacak nama-nama yang disebut dalam laporan media waktu kejadian Mengkadai. Beberapa media menulis nama keliru, bahkan ada nama Pria Budi—Kapolres Pare Pare—yang sama sekali tak terkait, juga disebut ikut dalam bentrokan di Mengkadai.

Dari Pria Budi, saya tahu jika yang jadi Wakapolres Sarolangun saat itu,Kompol Nurbani. Kini, dia tugas di Ditlantas Polda Jambi, pangkat AKBP.

Jumat siang, minggu kedua Fabruari lalu, saya ketemu Nurbani, setelah dua kali bolak-balik ke Ditlantas tak ketemu, dapat kabar Nurbani, sakit. Seorang polisi berpangkat Bripka mengingatkan saya, agar kejadian di Mengkadai tak diungkit-ungkit lagi.

Para buruh tambang emas pakai dompeng. Sumber: Teguh Suprayitno

Nurbani terkesan tertutup ditanya soal perannya waktu penggerebekan tambang ilegal di Mengkadai. Dia jawab semua data kegiatan operasi di Mengkadai, ada di Polres Sarolangun. Nurbani menyarankan, saya menemui Kapolres Sarolangun, dan anggota bintara yang masih tugas di Polres.

“Kalau saya ada yang ingat ada yang lupa,” katanya.

Apa yang masih diingat?

“Kalau yang ingat, saya sudah lupa. Saya tidak mau ingat-ingat lagi!”

Saya kembali tanya, bagaimana kejadian di Mengkadai, itu bisa terjadi?

“Ya, kitagaktahu ceritanya seperti apa,kokbisa kejadian itu saya juga tidak tahu.Kanskenario siapa yang buat, saya juga tidak tahu. Tahu-tahu kejadian seperti itu.” Nurbani duduk bersandar, sambil tangan maingamedi ponsel.

Dia bilang, semua anggota Polres Sarolangun, waktu itu terlibat langsung dalam kejadian di Mengkadai, mulai dari Kapolres, anggota bintara sampai TNI ikut dalam operasi gabungan.

“Bukan saya sendiri,” kata Nurbani, terdengar mulai kesal.

“Wongmati, mati jatuh sendirikokpolisi yang jadi korban.”

Nurbani, besikukuh jika dia tahu kronologi kematian Sapni. “Akugaktahu,wongtahu-tahu ada orang di bawah, jatuhnya seperti apa, juga saya tidak tahu. Tahu-tahu kami disuruhnolongorang yang ada di dalam situ, sudah!”

Yang suruh untuk menolong siapa?

“Yang suruhnolong, siapa?” suara Nurbani mulai mengeras.

“Sekarang logikanya kamu jatuh dari situ, kami datang ke situ, kira-kira sayabiarin?Apo saya tidak tolong, logikanya? Ya, pasti kami disuruh nolong kan, siapa yang nyuruh nolong, kemanusiaan kamilah,” katanya.

Waktu itu, para penambang keluar dari lubang tambang seperti semut. Ada yang jatuh ke lubang lalu ditinggal. Nurbani tak mau melanjutkan cerita. Pria asal Jawa Timur itu menyarankan saya mencari anak buah Hidup.

Selama wawancara, saya menangkap ada rasa kecewa dari Nurbani jika mengingat kejadian di Mengkadai. Dia bilang, pelajaran dari Mengkadai, adalah, “jangan percaya orang!” Dia tak menjelaskan lebih lanjut soal ini.

Pekan ketiga Februari, saya datang ke Polres Sarolangun, menemui Yudi, diaanggota Banit Paminal Propam, berpangkat Bripka. Dia mengakui, jika ada empat orang termasuk dirinya dan Wakapolres Nurbani, datang ke Mengkadai, sebelum bentrokan terjadi.

“Saya waktu itu cuma sopir,gak tahu ceritanya,” katanya. Dia enggan diwawancarai, dan menyarankan saya ketemu Kapolres.

Saya kemudian, izin untuk ketemu Kapolres Sarolangun, AKBP Dadan Wira Laksana, saya sampaikan asal dan tujuan saya untuk wawancara. Kapolres tak mau menemui. Lewat stafnya saya diarahkan ketemu Kabag Ops. Kompol Nazaruddin. Nazaruddin menyarankan, saya ke Polda Jambi. “Masalah itu ditangani Polda langsung, datanya di sana,” katanya.

Esoknya, saya kembali ketemu Nazaruddin, saya minta izin untuk wawancara Yudi. Yudi yang saya temui, menolak wawancara dengan alasan, “Saya mewakili institusi Polri, jadi harus lewat atasan tidak bisa langsung sama kita.”

Katanya, masalah Mengkadai, ditangani Polda Jambi, dan beberapa anggota Polres Sarolangun, disidang. “Pak Nurbani, disidang, saya saksi. Tapi pasal yang diterapkan saya tidak tahu.”

Dia menyarankan, saya ketemu bagian humas. Iptu Ardiansyah, Kasubag Humas Polresta, bilang sama sekali tak tahu soal kejadian di Mengkadai. Dia mengarahkan saya ketemu Aiptu Agung Pramuji, Kaur Mintu Polres Sarolangun. Dari Agung saya diminta ketemu Kasat Reskrim, Iptu Bagus dan mengajukan surat permohonan data ke Polres Sarolangun. Agus tak yakin, data lima tahun lewat itu masih ada.

“Kalau suratnya disetujui pak kasat, nanti Pak Kasat akan menghadap Pak Kapolres, nanti akan saya cari datanya,nggak tahu apa masih ada, karena sudah lama.”

Keluarga Samsidar, orangtua Asep, tak terima Amir, ditangkap polisi. Ida, anak Samsidar, menganggap masalah di Mengkadai itu semestinya selesai karena hukum adat sudah jalan. Ida akhirnya datang ke Polres Sarolangun, membuat laporan, minta kasus penembakan Asep, diusut hingga tuntas. Laporan ini sebagai respon penangkapan pamannya.

Ida mengaku sudah bolak-balik ke Polres bawa saksi yang tahu bagaimana adiknya itu mati. “Aku sudah beberapa kali ngadu, aku bawa saksi tapi dak diproses. Yang menyebabkan brimob meninggal diproses habis,” katanya, tak terima.

Dari penuturan Ida, hasil visum rumah sakit menyebut Asep meninggal karena jatuh. Alasan ini kemudian menjadi dasar polisi untuk tidak melanjutkan kasus kematiannya. Ida yakin jika adiknya mati ditembak.

“Mas, kami ini orang awam yo. Namanya orang awam lawan dengan orang polri, dak biso, mas,dak biso,mas, sudah kemano-mano, dak biso, mas,” kata Ida, matanya mulai berkaca-kaca.

“Jadi kito balikkan ke Tuhan, Tuhan Maha Tahu, kek itu bae. Semoga adek aku senang di alam sano, kalau dio tidak senang, pasti arwah adek aku ngejar dio(penembak),itu bae.” Suara Ida, terdengar pelan, air mata perlahan mengalir. Pipinya basah.

“Sudah puas, aku bawa saksi, sudah puas ke polres, tapi hasilnya nol.” Ida menarik nafas panjang, berusaha menguatkan diri. “Aku kalau ingat itu, sakit mas, sakittt nian.”

Ida menunjukkan foto dari ponselnya, sosok pemuda dengan kulit sawo matang, penuh senyum duduk santai. Ialah Asep. Foto itu jadi kenangan dan akan selalu disimpannya.

“Inilah yang aku lihat, jika aku rindu.” Ida berurai air mata.

Pertengahan Januari 2019, saya datang ke rumah Amirudin, atau Wak Amir. Dia sudah bebas. Lelaki 40-an tahun itu sedang duduk di teras dengan beberapa perempuan, istrinya, Samiar, dan perempuan kerabat.

Amir, masih emosi jika ingat kejadian Minggu, lima tahun lalu, saat dia digelandang polisi lalu dipukuli, dipaksa mengaku sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Briptu Marto. Meskipun begitu, Amir menganggap, masalah sudah selesai. “Masalah kamidak adolagi, yang sudah, sudahlah.”

“Kaloanak kami (Asep) nih kan mungkinlah ajalnyo, kalo orang janji nyap(diam)bae yo,sudahlah,” kata Samsidar, menyela.

 

Tagih janji pemerintah Jambi

Amir berpesan pada saya, jika masalah di Mengkadai, mau dibuka lagi, dia ingin agar janji Fachrori Umar, Wakil Gubernur Jambi–saat itu 2 Oktober 2013–, kala datang ke rumah Samsidar, bisa dipenuhi. Waktu itu, Fachrori bilang, jika keluarga yang jadi korban akan dibantu.

Janjinya, istri Sapni—saat ini sudah delapan tahun jadi tenaga kerja sukarela sebagai guru SD–akan diangkat jadi PNS dan anaknya akan disekolahkan sampai tamat kuliah. Abang Asep, waktu itu masih kuliah, juga akan dianggat jadi PNS.

Amir kasian dengan Helmalia, keponakannya. Sapni dan Asep, masih saudara. Samsidar adalah saudara tua dari orangtua Helmalia. Delapan tahun jadi tenaga kerja sukarela, Hel hanya dapat bayararan Rp700.000 tiap tiga bulan.

“Kami bukan minta, janji itu kami tagih.Dak usahlahanaknyadisekolahin, angkat bini Sapnibaejadi pegawai negeri, hiduplah anaknyatuh,” kata Amir. 

Jelang pemilihan legislatif 2019, Amir, beberapa kali diajak Samsidar, ketemu Fahrul Rozi, yang datang ke rumahnya minta dukungan. Amir menolak. Kejadian di Mengkadai, membuat Amir kecewa denga Fahrul, bahkan benci.

Meski keduanya adalah saudara jauh. Di lain waktu Hasan Basri Agus, juga pernah datang dengan maksud sama. Keduanya jadi caleg Partai Golkar. Bedanya Hasan caleg DPR RI, Fahrul berebut kursi di DPRD Sarolangun. Waktu kejadian di Mengkadai, keduanya punya posisi penting di pemerintahan, Fahrul sebagai Wakil Bupati Sarolangun dan Hasan adalah Gubernur Jambi.

Amir kecewa karena janji pemerintah lima tahun lalu hingga kini tak pernah ada. Fahrul yang saya hubungi lewat telepon mengaku tak pernah janji apapun. Dia bilang, semua masalah telah selesai dengan hukum adat. Proses hukum terus berlanjut. “Kanorang sudah ditangkap semua, masalahnya sudah selesai,” kata Fahrul.

Saya tanya apakah pemerintah menjanjikan pekerjaan untuk keluarga korban di Mengkadai?

“Kalau saya tidak ada janji, tapigaktahu kalau Pak Fahrori.”

Ida, juga maju jadi Caleg DPRD Sarolangun, dari partai berlambang Beringin. Kesamaan partai inilah yang mungkin membuat Fahrul dan Hasan, datang ke rumah Samsidar.

Rabu siang itu, Fachrori Umar, dikerubuti wartawan. Beberapa wartawan menanyakan harapannya pada Kepala Dinas Koperasi dan UMKM yang baru dia lantik. Sebagian lagi menanyakan kepastian kabar dia akan dilantik jadi Gubernur Jambi—waktu saya temui Fahrori masih pelaksana tugas. Dia dilantik jadi gubernur devinitif 13 Februari lalu.

Saya tanya, apa benar pemerintah berjanji mengangkat dua orang keluarga korban Mengkadai jadi PNS?

Fachrori, tampak bingung. “Mengkadai, itu dimana sih?”

Johansyah Karo Humas,kemudian berbisik, “Sarolangun.” 

Pertambangan emas ilegal di Kecamatan Limun, Sorolangun, Jambi. Sumber: Teguh Suprayitno

Fachrori, yang masih tampak bingung, lalu bercerita dua anak sekolah umur 17 tahun tenggelam di sungai diRantau Panjang, Merangin. Keduanya tenggelam karena tak bisa berenang. Dia ingin anak-anak diajarkan berenang. Makin lama jawaban Fachrori kedengaran ngelantur.

Apa yang di Sarolangun itu benar? tanya saya.

“Nanti-nanti saya belum ini, ini. Iya nanti.” Johansyah, kembali membisikkan kejadian di Mengkadai itu zaman Gubernur Zumi Zola—Johansyah, keliru, yang benar zaman Gubernur Hasan Basri Agus, dan Fachrori, jadi wakil gubernur.

“Kalau besebut gubernur waktu itu saya wagub, kadang-kadang tak sampai berita itu pada saya.”

“Bukankah bapak yang datang sendiri ke Mengkadai? tanya saya, mendesak. Fachrori, tampak kaget. Ekspersinya kebingungan.

“Nanti kita pelajari, saya ada tamu sebentar.” Fachrori berlalu pergi sembari tersenyum meninggalkan kerumunan wartawan.

Saya kembali ke Mengkadai, di jalan saya ketemu Aswat, yang pulang dari kebun. Saya tanya di mana rumah Helmalia, dia menunjukkan rumah batu di sebelah kanan, persis di hadapan saya.

Di depannya, saya lihat enam anak-anak sedang bermain. “Itu anak Hel,” katanya, sambil menunjuk ke bocah perempuan berkaos hijau, rambutnya sebahu, mengenakan celana cingkrang, tanpa alas kaki.

Seketika pikiran saya, dialah bayi 14 hari itu. Kini usianya sudah lima tahun.

Saya menemui Helmalia, dia sedang hamil dua bulan. Agustus 2018, Helmalia menikah lagi, suaminya sekarang juga kuli dompeng. Bocah itu ikut menghampiri ibunya lalu bergelayut di lengan Hel.

Pandangannya selalu ke bawah. Dari Helmalia, saya tahu bocah lima tahun itu bernama Siti Khodijah, nama yang diberikan Fachrori, waktu datang ke Mengkadai.

Dijah, tak tahu bagaimana wujud asli bapaknya. Dia hanya tahu wajah bapaknya dari foto pernikahan yang kini masih disimpan Helmalia.

“Kalau dulu, umur dua tahun sering manggil, bapak, bapak, bapak.”

Kata Hel, anaknya bermimpi ketemu bapaknya. “Saya sering bilang, ‘nak, bapak sudah meninggal.’”

Saya tanya pada Helmalia, apakah masih ada yang diharapkan dari pemerintah? Di bilang, sampai sekarang masih berharap janji pemerintah lima tahun lalu membantunya mendapatkan pekerjaan, bisa terwujud.

Bagaimana jika yang dibilang Fachrori, itu hanya janji saja? tanya saya.

“Kalo cuman janji-janji bae yo sudahlah,” katanya pasrah.

Sekitar 15 menit kami bicara, tak banyak yang diceritakan Helmalia. Dia menjawab pertanyaan saya sekenanya. Raut wajahnya menampakkan kesedian, barangkali karena saya mengungkit masa lalu yang pahit.

Sebelum pamit, saya kembali bertanya pada Helmalia, apakah dia masih dendam dengan kejadian lima tahun silam, yang merenggut nyawa suaminya.

Helmalia, hanya diam, terlihat seperti berat untuk bicara. Dia menatap anaknya yang masih bergelayutan di lengannya.

“Yang sudah ya sudahlah, sudah ikhlas.Kalo dulu punya keinginan hukuman setimpal, nyawa harus dibayar nyawa.”

“Dulu, katanya mau dikasih kerja tapingakada, jadinya kami kecewa. Sudahlah, biarlah orang berbuatkayak gitudengan kami,” katanya.

Hel, kemudian merangkul Dijah, dan memeluk erat-erat.

“Tuhan tuh dak tidur ada do’a anak yatim.”

Hel dan keluarga menanti realisasi janji. Di Limun, bagaimana kondisi sekarang, bebaskah dari pertambangan emas setelah kejadian kelam lima tahun lalu? Ataukah malah lebih buruk, tambang makin menggila dan lingkungan makin rusak? (Bersambung)

Laporan ini didukung oleh dana hibah dari Internews Earth Journalism Network dan Southeast Asian Press Alliance

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.