Demi terciptanya iklim yang ramah terhadap investasi, sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat, akan disederhanakan bahkan dihapus. Setidaknya ada 79 undang-undang yang sedang digodok dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, termasuk Undang Undang No. 40 / 1999 tentang Pers.

Draft Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja kembali menuai polemik. Penolakan terhadap undang-undang sapu jagat ini tidak hanya ditentang oleh kalangan buruh. Dari draft yang dikirimkan pemerintah ke DPR pada pekan lalu, terungkap ada dua pasal dalam Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 yang juga akan direvisi melalui Omnibus Law Cipta Kerja.

Konsep Omnibus Law diusung untuk merampingkan dan merevisi sejumlah undang-undang yang berlaku saat ini. Pemerintah menargetkan draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini bisa dibahas dan disahkan oleh DPR dalam waktu 100 hari. Sejak lama pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi menginginkan terciptanya iklim kemudahan investasi.

Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi, akan disederhanakan bahkan dihapus. Setidaknya ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Lebih dari itu, RUU ini juga akan memberi celah pemerintah untuk mengatur pers melalui peraturan pemerintah. Ada dua pasal Undang Undang No. 40 / 1999 tentang Pers yang direvisi. Yakni pasal 11 dan pasal 18.

Pasal 11 diubah menjadi, “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”

Sementara pada pasal 18 yang mengatur ketentuan pidana, ayat (1) dan (2) mengalami perubahan kenaikan jumlah denda dari sebelumnya Rp 500.000.000 menjadi Rp 2.000.000.000. Pada ayat (3) mengatur sanksi administratif, dan menambahkan ayat (4) yang mengatur adanya peraturan pemerintah. Berikut ini perubahan  pasalnya.

Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Ayat (2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

Ayat (3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sejumlah organisasi jurnalis menentang keras rencana reivisi ini. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, mengatakan, revisi ini menunjukkan adanya niat pemerintah untuk campur tangan lagi mengatur pers.

Menurutnya, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.

Undang Undang Pers tahun 1999 lahir untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.

Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu.

“Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya. Dengan membaca RUU Cipta Kerja ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers. Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme “pintu belakang” (back dor), atau “jalan tikus”, bagi pemerintah untuk ikut campur  urusan pers,” katanya.

AJI mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal ini dicabut. Selain itu, AJI juga menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers.

“Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik. Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers,” kata Abdul Manan.

Adapun Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) justru menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang Undang Pers. LBH Pers menilai bahwa undang-undang itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten. Hanya saja, tidak maksimal diimplementasikan oleh aparat penegak hukum. Misalnya pada kasus kekerasan terhadap jurnalis.

“Tindakan (kekerasan) itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang Undang Pers yaitu penghalang-halangan kerja pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan,” kata Ade Wahyudin Direktur LBH Pers.

Menurutnya, jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan Undang Undang Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

“Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi kami untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini? Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik “lip service”, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini,” katanya.

Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Rochimawati, sepakat revisi undang-undang pers melalui RUU Omnibus Law Cipta kerja, akan memperburuk kebebasan pers.

Bahkan bila dicermati lebih dalam, revisi terhadap undang undang pers akan semakin sejalan dengan semangat pemerintah yang juga merevisi banyak ketentuan aturan perizinan lingkungan hidup. Banyak pasal yang membuka kelonggaran perizinan lingkungan seperti peniadaan syarat amdal. Belum lagi kemudahan perizinan dan  keringanan sanksi bagi pihak yang diduga merusak lingkungan.

Menurut Rochimawati, selama ini pers selalu kritis mengawasi praktek-praktek pengusahaan sumber daya alam yang dinilai menyimpang.

“Bukan tidak mungkin kebijakan denda maupun pengaturan melalui peraturan pemerintah terhadap pers, merupakan siasat untuk membungkam jurnalis atau media yang kritis tadi,”

SIEJ pun sepakat revisi Undang-undang pers dalam RUU Omnibus Law patut ditolak.

“Ini bahaya dan bisa mengancam kebebasan pers. Media takut menjadi kritis lagi apalagi mengawasi kegiatan ekonomi di sumber daya alam,” kata Ochi. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.