Warga DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi membuka data emisi Jakarta. Menjelang musim panas, warga membutuhkan keterbukaan informasi mengenai polusi udara Ibu Kota untuk antisipasi diri dan mengawal kebijakan pemerintah.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Ibukota mungkin akan segera terhindar dari ancaman banjir, karena Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, memprediksi musim hujan di ibukota akan berakhir Maret 2020, tetapi Jakarta masih harus menghadapi masalah lama lainnya: polusi udara.

World Air Quality Report yang dikeluarkan IQAir bulan lalu menempatkan Jakarta di urutan kelima deretan ibu kota dengan masalah pencemaran udara tertinggi di dunia sepanjang 2019. Namun pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, belum menunjukkan upaya pencegahan maksimal, demikian menurut masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota.

Koalisi yang beranggotakan 15 organisasi masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat ini meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengambil tindakan preventif agar langit ibu kota tak lagi digelayuti kabut polusi pada musim kemarau. Ini penting demi melindungi hak kesehatan masyarakat dari dampak pencemaran lingkungan.

Khalisah Khalid Kepala Departemen Bidang Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), salah organisasi koalisi, mengatakan Pemprov DKI bahkan terkesan tidak mengindahkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan enggan membuka informasi emisi dari sumber bergerak maupun tidak bergerak.

“Keterbukaan informasi itu adalah salah satu pemenuhan hak publik. Ketika data sudah terbuka, itu kan akan terkait dengan peran masyarakat mengawal kebijakan. Misalnya, apakah regulasi untuk mengurangi emisi itu cukup atau kurang,” kata Khalisah kepada Ekuatorial.com, Jumat (13/3).

Menurut Khalisah, informasi lingkungan hidup sangat penting bagi publik agar warga tidak hanya menjadi penonton dalam upaya perlindungan lingkungan hidup, tetapi juga dapat menjadi pelaku. Informasi lingkungan hidup juga dapat membuka ruang bagi masyarakat untuk mengambil langkah perlindungan kesehatan.

Khalisah melanjutkan, banyak warga yang secara sadar mengantisipasi sendiri jika mengetahui buruknya kondisi lingkungan. “Namun, itu mensyaratkan ketersediaan data emisi yang akurat,” lanjutnya.

Memang ada informasi-informasi mengenai emisi dari Dinas Lingkungan Hidup Jakarta. Namun, menurut Khalisah, sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu, Koalisi Ibu Kota ingin mengingatkan kembali bahwa pencemaran udara masih menjadi isu penting dan keterbukaan informasi yang detail harus dilakukan.

“Mungkin pemerintah atau publik menganggap persoalan udara di Jakarta ini selesai. Ketika musim hujan, krisisnya banjir. Masuk musim kemarau, kita mendapat krisis lain: polusi,” kata Khalisah. “Data informasi DLH itu masih sangat umum. Itu gak cukup. Harusnya mesti didetailkan dan diupdate secara berkala.”

Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika mengingatkan, polusi udara telah menjadi masalah kesehatan dunia. Dalam riset Greenpeace, Hindun mengatakan, polusi udara membebankan anggaran untuk menanganinya.

Penelitian yang diluncurkan oleh Greenpeace Asia Tenggara dan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung Indonesia mencapai USD 11 miliar dengan angka kematian dini mencapai 44.000 jiwa sepanjang tahun 2018.

Informasi yang dapat diakses

Kepala Divisi Pengendalian Polusi International Centre for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah menjelaskan, salah satu informasi lingkungan hidup yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat adalah informasi emisi. “Pasal 49 PP 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, hasil pengawasan ketaatan pelaku usaha terhadap baku mutu emisi wajib disebarluaskan kepada masyarakat oleh Gubernur,” katanya.

Bahkan Pasal 53 ayat (1) PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan ,mewajibkan pemegang izin lingkungan melaporkan hasil pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota setiap enam bulan. Di dalamnya, mesti memuat kinerja pemegang izin lingkungan dalam menaati baku mutu emisi.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 15/2019, juga kian menegaskan adanya kewajiban teknis usaha dan/atau kegiatan dalam pengendalian emisi, pemantauan dan pelaporan untuk semua pembangkit listrik tenaga termal.

Kepala Seksi Penyuluhan dan Humas Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan, Pemprov selalu mengumumkan informasi terkait kewajiban pelaporan emisi yang dimaksud. Hanya saja, informasi tersebut biasanya dibuka di akhir tahun.

“Yang kita umumkan ke publik itu yang kita jatuhkan sanksi. Kan sanksi berjenjang tuh, dari teguran lisan, tertulis, sampai pencabutan izin,” kata dia. “Kita juga umumkan industri yang diberikan sanksi. Yang proper gak proper kita umumkan.”

Yogi menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta melakukan dua jenis pengawasan, aktif dan pasif. Pengawasan aktif adalah kegiatan untuk mengetahui kondisi lingkungan, termasuk di sekitar industri, dengan mendatangi dan melakukan pengukuran.

Sedangkan pengawasan pasif adalah menerima laporan kualitas lingkungan dari sektor industri. Industri-industri itu wajib memberikan laporan kepada Pemprov setiap enam bulan sekali.

Berdasarkan hasil penelitan ICEL pada Mei 2019 mengenai pengawasan dan penegakan hukum dalam pengendalian pencemaran udara di Jakarta, Pemprov DKI belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. ICEL menyoroti penelitiannya pada dua aspek: pengawasan atas sumber emisi bergerak dan pengawasan atas sumber emisi tidak bergerak.

Untuk pengawasan atas sumber bergerak, ICEL menemukan bahwa Pemprov DKI memang melakukan uji tipe emisi bagi produsen dan/atau importer. Namun, publikasi dari pelaksanaan uji tipe emisi bagi kendaraan tipe baru tidak tersedia.

Yang tersedia untuk diakses publik sebatas laporan pelaksanaan conformity of production, yaitu pemeriksaan sampel kendaraan yang telah lolos uji tipe untuk produksi baru setiap tahunnya. Tetapi, menurut Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel, laporan ini tidak lagi dipublikasikan sejak tahun 2015.

Selain itu, laporan evaluasi kepatuhan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor juga tidak ditemukan. Laporan yang tersedia hanya melingkupi hasil uji petik emisi (spot check). Namun, informasi ini tidak didokumentasikan dalam sebuah dokumen laporan yang rutin dapat diakses publik.

Tidak ditemukan juga pengumuman hasil uji emisi kepada masyarakat melalui media cetak/elektronik. Padahal, hal tersebut seharusnya dilakukan minimal setahun sekali oleh Gubernur, kecuali satu rekapitulasi hasil uji emisi Jakarta Barat Tahun 2017.

Untuk pengawasan atas sumber emisi tidak bergerak, berdasarkan wawancara ICEL dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, tidak terdapat program khusus untuk mengawasi ketaatan subjek selain yang wajib izin lingkungan. Dengan demikian, pengawasan kewajiban sumber tidak bergerak di luar izin lingkungan ini hanya berdasarkan pengaduan masyarakat.

Karena itu, tidak terdapat informasi mengenai tingkat ketaatan atas kewajiban yang dikenakan perundang-undangan terhadap semua orang, seperti kewajiban menaati standar dan/atau spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan.

Menuntut strategi dan rencana aksi

Saat ini, Koalisi Ibu Kota tengah menjalani proses pengadilan menggugat sejumlah pihak, salah satunya Gubernur DKI Jakarta, melalui gugatan Citizen Law Suit (CLS) atau gugatan warga negara. Ini adalah upaya hukum warga untuk memperbaiki udara Jakarta.

Mereka mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar pemerintah berkoordinasi dan membuat strategi dan rencana aksi yang jelas untuk mengendalikan pencemaran udara. Di dalamnya, pemerintah juga diminta terbuka mengenai data emisi. Koalisi Ibu Kota pun mendesak pemerintah mempercepat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang mengatur pengendalian kualitas Udara lintas batas propinsi.

Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, dan artis Melanie Subono turut menjadi penggugat perkara ini. Dalam keterangan pers, Inayah dan Melanie menilai gugatan tersebut adalah bentuk kepedulian dan upaya meminta pemerintah menangani polusi udara yang kian tercemar.

“Kami peduli. Karenanya kami meminta pemerintah benar-benar serius menangani polusi udara yang ada sehingga tidak memakan korban terutama kelompok masyarakat yang rentan,” kata Inayah.

Sedangkan Melanie mengatakan, ini adalah masalah mendasar yang harus segera ditangani pemerintah. “Andai bernafas dengan baik saja sudah tidak menjadi hak kita sebagai manusia, maka sama saja dengan pemerintah membunuh massal masyarakatnya,” tegasnya.

Saat ini, proses gugatan yang diajukan pada Juli 2019 itu, masih di tahap mendengarkan kesaksian ahli. Persidangan tersebut berlangsung lambat karena pihak-pihak tergugat kerap tidak hadir. Apalagi, belakangan ini, setelah Covid-19 mewabah.

Dalam dokumen gugatan yang diterima Ekuatorial.com, 32 penggugat meminta pihak-pihak pemerintah membuat kebijakan untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta. Selain Gubernur DKI Jakarta, pihak-pihak itu adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat.

Penggugat meminta Majelis Hakim menyatakan para tergugat terbukti melanggar hak asasi manusi, sebab, lalai memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Selanjutnya, mereka berharap Majelis Hakim menghukum Presiden dengan memerintahkan menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Di dalamnya, mengatur pengendalian pencemaran udara lintas batas provinsi.

Presiden juga diminta mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup. Tujuannya, untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitive berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk Gubernur DKI Jakarta, mereka meminta Majelis Hakim menghukumnya dengan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan/atau ketentuan dokumen lingkungan hidup. Pengawasan itu, di antaranya, melakukan uji emisi berkala, dan melaporkan evaluasi penataan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama.

Pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza Tiara, yang menjadi salah satu kuasa hukum para penggugat, berharap persidangan ini segera cepat selesai. Menurut dia, jalannya persidangan tersebut sudah terlalu lama.

“Awal tahun mereka gencar melakukan mediasi. Sebenarnya waktu itu kesepakatan kita sudah 85%,” kata Ayu.

Saat ini, meski pun Covid-19 tengah mewabah, Ayu meminta persidangan tersebut tetap berjalan dengan menggunakan E-Litigasi atau persidangan elektronik. “Ini sudah terlalu lama,” kata dia. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.