Polusi udara, seperti di Jabodetabek dan sekitar, menyebabkan, berbagai masalah kesehatan bagi masyarakat. Berbagai penelitian menyebutkan, polusi udara menimbulkan masalah kesehatan serius mulai dari kerusakan sel dalam tubuh, stroke, kanker otak, keguguran, sampai masalah kesehatan mental.

Liputan ini telah lebih dahulu terbit di Mongabay pada tanggal 25 April 2020.

Oleh Lusia Arumingtyas

Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tampak begitu padat, pagi itu. Sepanjang arteri Jalan Panjang, terlihat Bus TransJakarta, sepeda bermotor, mobil, angkutan umum, sesekali bus atau truk, melintas. Biasanya kepadatan mulai pukul 06.30 sampai pukul 12.00, beberapa titik lampu merah terlihat antrian panjang kendaraan. Kemacetan merupakan pemandangan sehari-hari di Kebon Jeruk, pada hari biasa, meskipun saat pandemi Virus Corona, merebak, kemacetan berkurang.

Yolanda Fredericca, pekerja swasta mulai berangkat kantor sekitar pukul 08.00, berjalan sekitar 500 meter menuju halte busway Kebon Jeruk. Masker sekali pakai jadi modal awal perempuan 27 tahun ini sebelum keluar kos. Sudah dua tahun dia tinggal di Jakarta, untuk bekerja di salah satu perusahaan swasta di wilayah Harmoni.

Dia merasakan perbedaan udara cukup signifikan dengan kota yang dia tinggali sebelumnya, Yogyakarta dan Lubuk Linggau. “Kadang udara bikin gak enak di hidung dan tenggorokan. Awal-awal (pindah sini) sering flu,” katanya.

Di Jakarta, Yolanda, tak akan keluar tanpa masker. Kadang dia merasa agak sesak, mata perih, iritasi kulit, dan jerawatan di muka.

Berdasarkan data stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2019, terutama SKPU di Kebon Jeruk menunjukkan kualitas udara tak sehat dari empat SPKU wilayah lain di Jakarta, Bundaran Hotel Indonesia, Kelapa Gading, Jagakarsa, dan Lubang Buaya. Ada delapan hari sangat tak sehat berdasarkan data SKPU Kebun Jeruk, angka lebih 200.

Berbagai penelitian menyebutkan, polusi udara menimbulkan masalah kesehatan serius mulai dari kerusakan sel dalam tubuh, stroke, kanker otak, keguguran, sampai masalah kesehatan mental.

Data Dinas Kesehatan dari website Smart City Jakarta, Kebon Jeruk, jadi satu dari 16 kecamatan dengan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tertinggi dari 10 penyakit lain, mencapai 1.081 kasus. Meski, angka ini belum terkonfirmasi tahun penghitungannya.

Berdasarkan data SPKU DLH Jakarta hanya dua hari (1%) kualitas udara baik, 172 hari (48%) kualitas udara sedang, 183 hari (50%) dengan udara tidak sehat dan delapan hari (2%) dengan udara sangat tak sehat.

 

Grafis kualitas udara yang dihirup warga Jakarta pada  2019.

Penyakit dari polusi udara

Sebuah penelitian global menyebutkan, polusi udara dapat merusak setiap organ dan hampir setiap sel dalam tubuh manusia.

Penelitian yang diterbitkan Forum of International Respiratory Societies Environmental Committee ini mengatakan, kerusakan sel tubuh dari kepala hingga ujung kaki. Juga, penyakit jantung dan paru-paru sampai diabetes dan demensia, bahkan, masalah hati, kulit rusak, kesuburan, janin maupun perkembangan anak-anak dipengaruhi polusi udara.

Dalam penelitian itu dikatakan, polusi udara dapat membahayakan secara akut, hingga kronis dan berdampak pada setiap organ dalam tubuh manusia. Meski, setiap manusia memiliki perbedaan dampak yang timbul, namun kerusakan jantung dan paru-paru seperti ‘puncak gunung es.’

World Health Organization menyatakan, polusi udara merupakan “silent public health emergency,” dengan lebih dari 90% populasi dunia menghirup udara beracun.

Sayangnya, penyangkalan kondisi kualitas udara buruk di Jakarta seringkali disampaikan pemerintah. Alasannya, AirVisual gunakan metode dan standar pengukuran berbeda.

Menurut situs AirVisual, data yang mereka gunakan bersumber dari monitor kualitas udara kedutaan Amerika Serikat, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Greenpeace Indonesia.

Dasrul Chaniago, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK mengatakan, berdasarkan standar PM2.5 tahun 2019, ada 18 hari kualitas udara baik, 141 hari kualitas sedang, dan 198 hari udara tak sehat.

Gak ada yang bilang (kualitas udara) berbahaya. Jadi perlu dicatat, aturan baik di WHO atau dimana pun, aturan baku mutu udara itu ada dua, 24 jam dan 365 hari. Tak ada baku mutu itu per detik. Kalau itu hanya indikasi saja ya boleh.”

Dasrul bilang, kualitas udara bisa saja dilihat realtime, tetapi tak legal secara hukum. ”Bisa dilihat, tapi tidak legal secara hukum, (yakni) berdasarkan Undang-undang 41/1999. Jadi tidak ada orang mengukur itu standar per detik. Kalau alat, pengukuran memang per detik.”

Dia pun menolak berbicara lebih lanjut soal aplikasi AirVisual yang biasa dipakai masyarakat untuk memantau kondisi udara. Alasan dia tak pernah melihat alat pengukurnya. Bahkan, Dasrul menyayangkan, screencapture dari AirVisual seringkali viral di media sosial padahal belum membuktikan kebenaran alatnya.

Dia contohkan, kalau di sekitar alat pemantau kualitas udara sedang ada aktivitas seperti membakar sampah, ada truk lewat, merokok dan lain-lain.

“Apakah itu bisa mencerminkan udara (wilayah itu) di hari itu? Gak bisa. Kalau itu viral jadi bahaya. Misal, hanya sesaat lewat dan sebentar.”

“Jika menunggu 24 jam untuk tahu, keburu saya menghirup udara kotor dong,” kata Andreas Priyono, warga Jakarta.

Dia selalu mengecek aplikasi AirVisual saat beraktivitas di luar ruangan, seperti berjalan kaki saat pulang kerja ataupun berolahraga. ”Lebih mudah diakses karena realtime, hanya melalui smartphone,” katanya.

Anak-anak dan perempuan menjadi populasi paling besar yang terdampak dari polusi udara di Jakarta. Sumber: Lusia Arumingtyas.

Data berbicara

Berdasarkan data ISPU Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, udara tak sehat terus meningkat sejak 2016-2019. Pada 2016 ada 93 hari, 2017 (110), 2018 (187), dan 2019 (183).

Kenaikan jumlah ini sejalan dengan kenaikan kasus ISPA dari data Dinas Kesehatan Jakarta. Dari laporan rutin fasilitas pelayanan kesehatan Jakarta, kasus ISPA ada tren naik, pada 2016 sebanyak 1.801.968 kasus, 2017 sebanyak 1.846.180, 2018 sebanyak 1.817.579, dan 2019 ada 1.874.925 kasus.

“Tren kasus ISPA bulanan memiliki pola hampir sama, naik pada triwulan I, turun di Triwulan II dan mengalami kenaikan kembali pada Triwulan III,” kata Dwi Oktavia, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Jakarta.

Dia bilang, ada 11 penyakit menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) data berhubungan dengan polusi udara di Jakarta, antara lain, ISPA, ISPA balita, pneumonia, pneumonia balita, asma, asma kambuh, kanker, diabetes melitus, DM>15, stroke dan jantung.

Sebuah penelitian menjelaskan, kerusakan karena polusi udara ke paru-paru, jantung dan otak. Dalam survei itu, faktor risiko global untuk stroke, polusi udara PM2.5 jadi peringkat ketujuh dalam dampak umur kesehatan seseorang. Sementara polusi udara rumah tangga dari pembakaran bahan bakar ada pada peringkat kedelapan.

Penelitian ini juga menyebutkan, efek polusi udara menyebabkan stroke. Dampak pembakaran bahan bakar fosil sering tidak diperhitungkan, begitu juga partikel halus yang berbahaya bagi sistem kardiovaskular.

Jangka panjang, polusi udara bisa meningkatkan risiko stroke, karena particulate matter yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah di otak, membuat darah lebih tebal dan meningkatkan tekanan darah, hingga berakibat meningkatkan risiko pembekuan di otak.

 

 

 

 

 

 

Perubahan iklim, kata Esrom, berkaitan dengan intensitas atau curah hujan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sekitar pada awal tahun. Rentetan kejadian yang menyebabkan perubahan iklim itu berawal dari polusi udara jadi pemanasan kota atau peningkatan temperatur.

”Kondisi itu karena ada polutan-polutan dan panas yang dilepaskan kendaraan bermotor serta sejumlah industri. Ini menyebabkan temperatur di atmosfer meningkat hingga berdampak pada gangguan keseimbangan di lingkungan.”

Budi Haryanto, peneliti dari Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia mengatakan, ada keterkaitan antara perubahan iklim, polusi udara dan dampak kesehatan. Pencemaran udara, katanya, menyebabkan perubahan peningkatan efek rumah kaca oleh pembakaran energi, baik itu industri, kendaraan bermotor, ataupun kebutuhan domestik.

Gas-gas yang lepas di udara membentuk layer gas rumah kaca dalam berbagai bentuk zat kimia yang beracun bagi tubuh. Reaksi gas-gas inilah menyebabkan perubahan iklim. “Ini menambah pemanasan global dan menyebabkan pencemaran. Kalau semua masuk dalam tubuh dan terhirup, jelas berdampak pada kesehatan.”

Fajri Fadhillah, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, kebijakan pemerintah yang menyebabkan pelanggaran hak asasi akan lingkungan sehat, dalam terkait kualitas udara di Jakarta. Ketiadaan target dalam setiap kebijakan polusi udara menunjukkan ketidakseriusan pemerintah menangani masalah ini.

”Pemerintah Jakarta harus memperbaiki target pemulihan udara dengan menyusun strategi dan rencana aksi pemulihan udara dengan target jelas, misal, mencantumkan target penurunan konsentrasi PM2.5 di udara dan konsentrasi O3 yang paling tinggi di Jakarta,” katanya.

Dia juga tim advokasi gugatan masyarakat terhadap pencemaran udara di ibukota agar mengubah PP No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dia nilai, standar pencemaran udara tak lagi relevan dan jauh di bawah baku mutu WHO.

Perlu juga, katanya, evaluasi rencana pembangunan daerah, terutama pada pembangunan yang menimbulkan sumber emisi pencemar udara, misal pembangunan incinerator dan enam ruas tol dalam kota.

”Ini kontraproduktif dengan upaya pemulihan udara Jakarta. Perlu ada moratorium pembangunan penghasil pencemar udara.”

Liputan ini didukung dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup; dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.