Menanam dari usia dini untuk investasi masa depan adalah pilihan hidup kebanyakan orang. Namun, ada yang menghabiskan separuh hidupnya untuk menanam, hanya untuk menyelamatkan eksistensi tanah leluhur.

Oleh Abdullah Leurima

KBRN, Ambon. Yusuf Sohilauw, 80 tahun, belum juga berhenti menanam pohon bakau, tanaman yang juga dikenal sebagai mangrove, yang sudah tak henti ditanamnya semenjak tahun 1953. Di usianya yang tak lagi muda, Tete Yusuf, sebutan sang kakek ini, masih saja menanam dan terus menanam. Tak terhitung berapa banyak yang sudah ditanamnya. Hingga saatnya, satu demi satu pohon yang bertahan, menjelma menjadi hutan bakau seluas kurang lebih 3 hektar.

Di zamannya, Tete Yusuf adalah lelaki tangguh. Sisa-sisa keperkasaannya terlihat dari raut wajahnya yang tenang meski sudah keriput. Dia mewarisi darah kapitan (kesatria) dari leluhurnya, namun sensitif terhadap kehidupan di sekitarnya. Hal itu tersimpul dari sikap reaktifnya menanam mangrove pada tahun 1953, ketika gelombang besar menghantam pesisir kampung dan menimbulkan abrasi hebat.

“Saya tanam mangrove pada tahun 1953 untuk melindungi pantai. Waktu itu saya belum tahu, kalau tanah di situ tidak cocok untuk mangrove, jadi semua yang saya tanam mati, saya tanam terus, tapi tidak pernah hidup. Belakangan saya baru tahu, kalau di situ tidak cocok untuk mangrove, sehingga saya alihkan ke seberang sungai,” ujar Tete Yusuf di pertengahan Juni 2020.

Yusuf tinggal di Kampung Samboru Negeri Kataloka di Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Provinsi Maluku. Dari berbagai literatur diketahui Kataloka adalah salah satu kerajaan kecil di Pulau Gorom yang berafiliasi dengan Kesultanan Tidore. Selain Kataloka, ada lagi Kerajaan Ondor di pulau yang sama dan Amarsekaro di Pulau Manawoku.

Sebagai pulau kecil yang kaya hasil pala, cengkeh dan sumber daya laut, Gorom secara geografis berada di antara perairan Banda, Maluku Tenggara, Raja Ampat dan Fak Fak. Tak heran, dalam operasi pembebasan Papua (Perang Trikora) 1962, pulau dengan populasi penduduk terpadat di Negeri Ita Wotu Nusa ini menjadi basis Pasukan Pelopor (Brimob).

Pada masa Trikora, Yusuf muda bergabung bersama Pasukan Pelopor pimpinan Jenderal Polisi Anthon Soedjarwo dan ikut melakukan infiltrasi ke Papua melalui Fak Fak. Operasi ini berakhir dengan kembalinya Papua ke pangkuan ibu pertiwi, sekaligus mengantar Yusuf muda ke markas Brimob Kelapa Dua.

Sebulan di Jakarta, Yusuf dihantui rasa bersalah karena meninggalkan bakau yang ditanamnya pasca abrasi hebat 1953. Dia pun pulang kampung dan pada era 80-an, kakek 7 anak dan selusin cucu ini, dipekerjakan sebagai Pelindung PLN Gorom. Sepuluh tahun mengabdi, tepatnya 1995, dia berhenti dan fokus menanam bakau.

“Banyak yang bilang saya orang gila, tapi saya tak peduli, saya ingin membuat hutan mangrove di sini supaya pesisir pantai aman, tidak lagi kena abrasi. Dan saya pilih lokasi di seberang sungai karena saya belajar dari pengalaman, tempat dulu tidak cocok. Saya juga baru tahu ternyata tanaman mangrove itu membuat laut subur karena menyuplai makanan kepada biota laut,” ujar Yusuf.

Dulu, sebelum 1995, lokasi yang kini telah menjelma menjadi hutan bakau seluas kurang kebih 3 hektar ini, hanya menyisakan beberapa pohon bakau dengan kondisi kritis. Namun, pada 1995 – 1996, Yusuf menanam 250 anakan Tongge atau Rhizaphora sp (bakau akar tunjang) dan 200 anakan Mange-Mange atau Avicennia sp (bakau akar napas).

Bibit Rhizaphora sp diambil dari bedeng (tempat pembibitan) yang disemai selama beberapa bulan, sedangkan bibit Avicennia sp tak perlu disemai karena biasanya muncul dalam jumlah banyak pada saat pergantian musim timur (musim ombak).  Bibit Rhizapora sp disemai dengan mengambil buah masak yang jatuh dari pohon.

“Tanam pertama tahun 1995, banyak yang rusak, hanya 13 pohon Tongge yang hidup, sedangkan Mange-Mange banyak hanyut dibawa gelombang. Tapi saya terus tanam, Alhamdulillah, sekarang ribuan Tongge dan Mange-Mange sudah tumbuh subur. Jumlah seluruhnya saya tidak ingat, sekitar tiga ribu, karena saya tanam 300 meter ke sana (pesisir pantai) dan 100 meter ke arah laut,” beber veteran Trikora ini.

Yang pasti, sejak anakan bakau pertamanya tumbuh, hari-hari sang kakek disibukkan dengan menanam, menyemai bibit dan merawat tumbuhan bakau ini. Jika telah pasang, ia meninggalkan bakaunya dan mencari kesibukan lain. Kadang hari-harinya dihabiskan untuk menyemai bibit Tongge, karena anakan Mange-Mange biasanya muncul sendiri pada saat pergantian musim.

Hasil dari kegigihannya tak sia-sia. Hanya dalam belasan tahun, kawasan pesisir di sekitar muara Sungai Samboru, menjelma menjadi hutan bakau terbatas. Sejalan dengan itu, hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar hutan bakau tersebut semakin banyak, bahkan suara burungpun mulai riuh terdengar.

Veteran Trikora Yusuf Sohilauw menarik nafas usai memungut sampah yang tersangkut pada akar anakan mangrove yang mulai tumbuh subur. Foto: Abdullah Leurima

Bukan hanya masyarakat sekitar yang merasakan dampak dari kehadiran hutan bakau, tetapi juga kampung-kampung tetangga. Hal itu diakui Bastian Sopacua, nelayan dari Kampung Rumeon. Menurutnya, kehadiran hutan bakau di pesisir kampung itu ikut memberikan dampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan dalam beberapa tahun terakhir.

“Katong (kita) sering pergi mencari ikan (melaut) di perairan sekitar Pulau Koon dengan body fiber (perahu fiber bermesin). Koon itu kan sekarang menjadi kawasan konservasi. Jadi katong zenk bisa (tidak bisa) lagi buang jaring di sana karena sudah dilarang. Tapi kalau sekarang mancari ikan di sekitar Samboru, Ketter dan Rumeon hasilnya juga mulai bagus,” ujar Bastian.

Nina Hamka, 77 tahun, isteri Yusuf, tak banyak bercerita. Namun sorot matanya mengisyaratkan beban hidup yang dijalani suaminya tanpa tunjangan veteran. Sifatnya yang tak banyak menuntut, membuat konsentrasi suaminya terhadap bakau tidak tidak terusik dan terbagi. Dia hanya sedih karena tak punya biaya untuk mengobati mata suaminya.

“Banyak yang juluk saya orang gila, karena pekerjaan saya cuma ini. Tapi saya tidak peduli,” ujar Yusuf, disambut senyum Nina Hamka. Toh pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, olokan-olokan warga tak lagi terdengar.

Kadir Rumalessin, staf Rumah Sakit Umum Goran Riun, adalah kerabat sang kakek. Orang menyebutnya Mantri Dade. Sebagai kerabat dekat, dia banyak tahu tentang perjalanan hidup kakeknya dari usia muda sampai tua. Dia pula yang memberikan informasi kepada orang lain, tentang hutan bakau yang diusahakan oleh kakeknya.

“Yang dilakukan oleh Tete Yusuf ini adalah sesuatu yang luar biasa dan jarang terjadi, karena tujuan orang menanam pastinya untuk investasi masa depan. Bayangkan kalau antua (beliau) tanam pala dan cengkeh dari dulu, pasti sekarang sudah panen raya. Tete Yusuf ini kan zen (tidak) dapat tunjangan veteran, kalau dapat tunjangan ya tidak apa-apa, anggap saja mengabdi untuk negeri,” kata Dade.

Namun Camat Pulau Gorom Ramly Keliobas bersikap seolah tidak tahu. Padahal informasi tentang hutan bakau itu telah diketahuinya sewaktu masih menjabat Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten SBT. Dia bahkan telah memasukan hutan bakau itu ke dalam daftar objek wisata alam dan berencana membangun beberapa gazebo.

Hingga kemudian, kabar tentang kiprah Yusuf dengan hutan mangrove-nya, sampai ke telinga Anggota DPRD SBT, Abdul Gafar Wara Wara. Dalam kunjungannya ke Pulau Gorom akhir Mei 2020, anggota dewan muda asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk berbagi kasih ini, berdoa semoga tetesan keringat sang kakek menjadi air kehidupan di tanah leluhur.

“Apa yang dilakukan oleh Tete Yusuf ini adalah sesuatu yang unik, ini harus menjadi contoh bagi generasi muda. Meski latar belakangnya hanya petani, sudah tua lagi, tapi beliau tetap semangat. Sebagai wakil rakyat, saya beri apresiasi yang tinggi kepada beliau, karena apa yang ditanamnya selain bermanfaat bagi sumber daya pesisir, juga dapat mencegah abrasi,” ujar Wara Wara.

Dia berharap, pemerintah daerah melalui dinas terkait memberikan dukungan nyata kepada Yusuf karena tidak semua orang setempat bisa melakukan hal-hal unik dan inspiratif seperti itu. “Semoga Tete Yusuf dan keluarga selalu diberi kesehatan dan umur panjang dan terus memberikan motivasi dan inspirasi melalui kerja-kerja nyata,” harap Wara Wara.

Namun respon luar biasa justru datang dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku di Ambon, setelah menyaksikan video mengenai sang kakek. Menurut Kepala Dinas Roy Siauta, pejuang lingkungan seperti  Yusuf Sohilauw adalah orang yang dicarinya selama ini.

“Setelah menonton atau melihat video yang dibawakan ini, dimana kami melihat ada seorang bapak yang sudah tua, tapi aktivitasnya itu sangat baik dan mendukung pelestraian lingkungan hidup di Pulau Gorom. Nama bapak itu Yusuf Sohilauw. Sebagai kepala di sebuah dinas yang menangani lingkungan hidup, kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada beliau,” tegas Siauta.

Menurutnya, setelah menyaksikan video Yusuf, Dinas Lingkungan Hidup akan menindaklanjutinya dengan berkunjung ke lapangan. Melalui data-data lapangan nanti, Dinas Lingkungan Hidup Maluku akan berusaha mengusulkan Yusuf Sohilauw sebagai calon penerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah.

“Secara pribadi, dinas dan pemerintah daerah, kami memberikan apresiasi positif dan kami mendukung semua aktivitasnya. Kami pasti akan merancang kegiatan-kegiatan yang dapat memberdayakan pak Yusuf ke depan. Kami akan turun karena kami baru lihat video. Semoga Pak Yusuf dan keluarga selalu diberi kesehatan dan kekuatan oleh Allah SWT,” tutup Siauta.

Menurut Penyuluh Perikanan Muda Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Ambon Wahyudi Lamani, tumbuhan bakau memiliki fungsi fisika, biologi dan kimia bagi makhluk hidup. Fungsi fisika antara lain mereduksi kecepatan angin, arus dan mencegah abrasi, sedangkan fungsi biologi sebagai tempat memijah, tempat asuhan dan mencari makan berbagai jenis hewan laut dan unggas.

“Fungsi kimianya antara lain menghasilkan detritus atau penguraian daun busuk sebagai makanan ikan dan mikrorganisme.  Jadi kalau ada orang yang mendedikasikan dirinya untuk menanam mangrove seperti Tete Yusuf, itu perbuatan yang sangat mulia dan jarang terjadi,” kagum Wahyudi.

Hidup yang menghidupi bagi veteran Yusuf adalah jalan kesempurnaan. Menanam baginya tak harus memanen, karena alam memiliki nilai spiritual dan estetika yang melebihi nilai ekonominya. Di usianya yang semakin senja, menanam dan menanam akan terus dilakukan, hingga kelak ketika tangan tak lagi bergerak. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.