Jakarta, Ekuatorial – Kementerian kehutanan (Kemenhut) dinilai belum sepenuhnya menjalankan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Linda Rosalina Peneliti dari Forest Watch Indonesia (FWI) menjelaskan bahwa informasi kehutanan akan memberi ruang masyarakat lokal dan adat, yang berada di dalam atau sekitar hutan, untuk melaksanakan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

“Ketersediaan informasi memberi kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya hutan mulai perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan,” paparnya di Jakarta, Selasa (30/9) siang.

Menurut analisa Forest Watch Indonesia (FWI) selama tahun 2013 lalu, Kemenhut hanya mendapatkan 17 kali permohonan informasi. Angka tersebut meningkat tajam menjadi menjadi 62 kali permohonan informasi sejak Januari, hingga Agustus 2014.

“Namun hanya sekitar 15 persen saja yang direspon oleh Kementerian Kehutanan, angka yang sangat kecil,” jelas Linda.

Dari data tersebut diketahui bahwa lambatnya respon Kemenhut bukan karena dipengaruhi oleh padatnya lalu lintas permohonan informasi, tetapi karena ketidaksiapan internal dalam menyediakan informasi kehutanan, yang merupakan informasi publik. Dari keseluruhan permohonan informasi yang diajukan, jenis data yang paling banyak dimohonkan yaitu informasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan.

Senada dengan hal itu, John Fresly Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) mengatakan bahwa budaya transparansi harus menjadi bagian dari Kemenhut, serta secara proaktif mengumumkan dan menyediakan informasi publik.

“Keterbukaan dalam memberikan informasi merupakan wujud akuntabilitas dari Kementerian Kehutanan terhadap implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik,” ujar John.

Ia menegaskan apabila masyarakat tidak memperoleh informasi yang seharusnya mereka peroleh, maka dapat mengajukan sengketa informasi publik sebagai upaya hukum untuk menjamin hak atas informasi publik.

Sementara itu, Citra Hartati, Project Officer Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan badan publik seperti Kemenhut seharusnya tidak menutupi informasi publik. “Hal itu karena informasi publik dapat dijadikan dasar bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja pemerintahan,” ujarnya.

Menurutnya, UU KIP sesungguhnya telah memberi batasan informasi yang boleh dikecualikan untuk disebarkan ke publik. Oleh karenanya badan publik wajib melindungi data-data yang mereka anggap rahasia.

“Jika permohonan informasi bukan merupakan hal-hal yang rahasia dan tidak boleh disebarkan, badan publik tidak memiliki alasan untuk menolak memberikan informasi tersebut,” imbuhnya.

Informasi kehutanan dibutuhkan karena akan memegang peranan penting dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam. Indonesia yang 70 persen datarannya atau sekitar 78 juta hektar (ha) berupa hutan, harus menyadari potensi ekologis hutan secara baik dan melakukan pembangunan berkelanjutan. Tanpa ada informasi kehutanan yang akurat dan tidak diketahui, maka ancaman terhadap pembangunan Indonesia ke depan akan semakin buruk.

Menanggapi hal itu, Eka Sugiri, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhut mengatakan bahwa lembaganya tidak pernah menutupi penyebaran informasi publik. “Semua lembaga atau personal bisa meminta ke kami data informasi publik, tidak ada yang kami tutupi” ujarnya.

Ia menambahkan ada beberapa informasi yang memang tidak bisa diberikan kepada pemohon, jika data terkait dengan privasi dan ketahanan negara dan alasan lain yang termaktub dalam UU KIP. “Jika dalam prosesnya agak lama tiga hari atau lebih, itu karena kami sedang berusaha mengumpulkan informasi yang dimintakan, tidak ada permohonan yang kami abaikan. Jika semua sudah sesuai dengan UU KIP kami akan berikan,” tandasnya. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.