Pasar satwa liar terbesar di Sulawesi kembali beroperasi setelah sempat ditutup karena pandemi. Perdagangan daging satwa liar, termasuk dari beberapa spesies yang dilindungi ini, menurut pemerintah setempat, belum dapat dihentikan lantaran terkait dengan tradisi dan kebiasaaan konsumsi masyarakat.

Liputan ini telah lebih dahulu terbit di Majalah Tempo pada tanggal 1 Agustus 2020 dan Barta1.com pada tanggal 9 September 2020.

Oleh Budhy Nurgianto

Jam tangan menunjukan pukul 06.45 pagi, saat Imelda Lasut (48), warga Kelurahan Kolongan, Tomohon Tengah, Kota Tomohon berjalan menuju pasar yang terletak tak jauh dari kediamannya. Dengan menumpang sebuah sepeda motor, ia tak butuh waktu lama untuk sampai di pasar yang dikenal dengan nama Pasar Beriman Wilken.

Torang (saya) jam 7 pagi biasa so (sudah) harus  di pasar. Kalau torang datang agak siang, so (sudah) tidak ada daging segar. Pasti so abis (sudah habis). Apalagi habis corona bagini banyak orang yang rindu mo (mau) makan daging tikus, ular deng (dengan) kelelawar,” kata Imelda, Sabtu 18 Juni 2020.

Pagi itu, Imelda, berencana membeli sejumlah kebutuhan daging satwa liar untuk dihidangkan pada acara makan siang liburan akhir pekan. Sebelum pandemi, sebulan sekali setiap Sabtu, Imelda dan keluarga besarnya dari Kota Manado, Bitung dan Minahasa selalu berkumpul di kediamannya di Kota Tomohon. Kegiatan itu rutin dilakukan sejak tahun 1997. Saban berkumpul bersama keluarga besar, Imelda menghidangkan aneka macam olahan daging satwa liar seperti babi hutan, tikus, ular dan Ikan. Biasanya dalam sekali hidangan ia membutuhkan 4-5 kilogram daging.

Bagi Imelda dan keluarga, mengkonsumsi daging satwa liar merupakan kebiasaan lama dan merupakan cara mereka menjaga tradisi orang Minahasa. Mengkonsumsi daging satwa liar seperti ular, kelelawar dan tikus dipercaya bisa memenuhi kebutuhan protein alami untuk tubuh secara baik. Baginya daging satwa liar memiliki kandungan protein tinggi.

“Sampai sekarang  torang (kami) masih makan daging ular deng (dengan) tikus. Dan masih sehat-sehat saja. Rasanya nda (tidak) lengkap kalau torang (kami) makan siang nda (tanpa) ada hidangan daging babi hutan, tikus, ular dan kelelawar yang diolah dengan rempah-rempah,” kata Imelda dengan sedikit tersenyum.

Perdagangan daging satwa liar di Kota Tomohon, Sulawesi Utara sudah berlangsung cukup lama. Perdagangan daging satwa-satwa ini banyak dilakukan di Pasar Beriman Wilken yang terletak bersebelahan dengan terminal angkutan kota.

Pasar ini, sendiri merupakan pasar daging satwa liar terbesar di Sulawesi Utara, Indonesia. Memiliki luas 1,5 hektar dan berada tepat di pusat Kota. Saban hari Pasar Beriman Wilken selalu dikunjungi ratusan warga dari berbagai daerah seperti Tomohon, Bitung, Minahasa dan Kota Manado. Ada kurang lebih  83 pedagang yang menjajakan daging satwa liar berbagai jenis secara bebas setiap harinya di pasar ini.

Pasar yang dikenal dengan istilah “pasar ekstrim” ini tak hanya menjual daging satwa liar, namun komoditi hasil pertanian dan perikanan serta barang barang kebutuhan rumah tangga juga dijajakan pedagang. Biasanya pasar tersebut ramai dengan pengunjung pada hari pasar utama seperti Selasa, Kamis dan Sabtu. Puncak perdagangan terjadi pada hari Sabtu lantaran barang dagangan yang dijual di hari itu lebih lengkap dan banyak pembeli yang datang untuk membeli kebutuhan konsumsi hari minggu.

Begitu masuk lapak daging satwa liar di pasar beriman, pengunjung akan mencium aroma bulu terbakar dan dan bau amis daging mentah yang menyengat hidung. Pengunjung dengan leluasa bisa melihat pemandangan dimana pedagang merontokan bulu celeng (babi hutan), tikus, dan anjing dengan cara membakarnya dengan menggunakan selang gas.

Dari data yang dikumpulkan dari lapangan, ada tujuh jenis satwa liar yang diperdagangkan secara bebas untuk kepentingan konsumsi setiap harinya, seperti babi hutan (sus celebensis), tikus  ekor putih Sulawesi (Paruromys dominator), kelelawar (Pteropus sp), ular patola (python reticulatus), monyet yaki (Macaca nigra), biawak air (varanus salvator)  dan anoa (Anoa sp). Ada juga kucing, anjing liar dan babi hasil peternakan.

Sejumlah satwa yang diperjualbelikan bahkan termasuk spesies dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan Dilindungi, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), kalong Talaud (Pteropus pumilus) dan monyet Yaki (Macaca nigra). Dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), beberapa satwa liar diperdagangkan tersebut bahkan mulai terancam dan rentan, seperti anoa statusnya terancam punah (Critically Endangered), tikus ekor putih Sulawesi beresiko rendah (Least Concern), dan babi hutan hampir terancam (Near Threatened).

Arnold Parengkuan, salah satu pedagang di Pasar Beriman menawarkan daging kalelawar, salah satu jenis satwa liar yang diperdagangkan di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Maret 2020. Foto: Budhy Nurgianto.

Laporan Profauna (2015) menemukan, penyebab satwa dilindungi yang lolos diperdagangkan di pasar-pasar Sulawesi Utara akibat dari rendahnya pengetahuan petugas terkait satwa dilindungi sehingga menyebabkan pengawasan di jalur lintas Gorontalo-Sulawesi lemah. Penyebab  perdagangan ilegal satwa liar dianggap wajar dan dibenarkan adalah penegakan hukum atas pelanggaran perdagangan satwa liar ynag tidak berjalan optimal.

Di sejumlah pos penjagaan di jalur lintas Gorontalo-Sulawesi Utara misalnya, petugas nyaris tak bisa membedakan satwa liar dilindungi dengan yang tidak dilindungi. Akibatnya banyak pemasok yang memanfaatkan kelemahaan rendahnya pengetahuan petugas untuk mengakali aturan dengan memanipulasi dokumen terkait jenis satwa yang diangkut atau dijual.

Sejumlah pedagang di Kota Tomohon, mengaku pasokan satwa liar di Pasar Beriman, rata-rata didapat dari pemasok luar Kota Tomohon seperti dari wilayah Minahasa, Bolaang Mongondow, Kotamobagu, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Poso, Makassar, dan Halmahera. Sejumlah daging satwa liar seperti kelelawar, ular dan biawak bahkan dipesan khusus dari Sulawesi Selatan,Tengah dan Halmahera . Pasokannya biasanya diterima pedagang dua kali dalam sebulan dengan sistim distribusi langsung diterima pedagang didalam pasar.

“Kalau kelelawar dan ular kami dapat pasokannya dari Sulawesi Selatan dan Tengah. Sesekali juga dari Halmahera. Tapi karena ini masih musim corona, untuk sementara masih terganggu. Apalagi pemerintah Kota Tomohon saat ini belum mengizinkan menjual bebas,” kata Arnold Parengkuan salah satu pedagang daging satwa liar di Pasar Tomohon saat berbincang-bincang dengan TEMPO Selasa Juli 28 2020.

Arnold mengatakan, perdagangan satwa liar di pasar beriman Kota Tomohon umumnya dilakukan secara terbuka dan diawasi petugas dari Dinas Pasar Kota Tomohon. Satwa liar yang diperdagangkan di Pasar Beriman Kota Tomohon pun kebanyakan merupakan satwa yang dianggap masyarakat Minahasa sebagai hama pengganggu di lahan perkebunan, seperti kelelawar, ular, tikus dan babi hutan.

Di tengah pandemi corona, masyarakat Minahasa umumnya tidak terpengaruh dengan pemberitaan media tentang penyebaran virus Covid-19 akibat konsumsi daging satwa liar. Mereka tetap mengkonsumsi daging satwa liar seperti kelelawar, ular dan tikus meski penyebaran virus Covid-19 tinggi.

Rata-rata mereka percaya jika daging satwa liar seperti kelelawar, ular dan tikus dimasak secara benar dengan mengunakan suhu api panas yang tinggi tidak ada akan menyebabkan penyakit. Virus apapun diyakini mati.

“Makan daging ular, tikus, babi hutan dan kelelawar disini (Tomohon) sudah biasa. Masyarakat sudah tahu cara memasaknya. Biasanya sebelum dimasak akan direbus dulu hingga tiga kali sebelum kemudian bumbui dengan rempah-rempah. Jadi meski ada corona, masih banyak orang yang pesan daging kelelawar, ular dan tikus,” ujar Arnold.

Penelitian Ageng Wiyatno (2017) menemukan satwa liar seperti kelelawar memiliki kandungan jumlah virus yang tinggi. Total virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar berjumlah 61 jenis virus. Saat ini bahkan lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi atau terdeteksi pada kelelawar selama 10 tahun terakhir dan beberapa virus tersebut memiliki potensi zoonosis cukup besar, sebagai contoh adalah virus dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Adenovirus, dan Astrovirus.

Survey Triangulasi Pada Hewan Domestik Di Pulau Sulawesi 2016 yang dilakukan Balai Besar Veteriner Maros dan Food and Agriculture Organization Emergency Centre for Transboundary Diseases Indonesia bahkan mendapatkan hewan domestic seperti babi juga terdeteksi memiliki lima family virus seperti Influenza (HPAI, Human Flu, Paramyxovirus (Nipah, Hendra), Coronavirus (SARS, Mers Cov), Filovirus (Ebola), dan Flavivirus (JE).

Disaat kondisi normal, setiap pedagang di Pasar beriman Kota Tomohon mampu menjual daging satwa liar seperti tikus, kelelawar, babi hutan, ular dan anjing hingga 80-100 kilogram per hari. Daging ular bisa mencapai 100-150 kilogram.

Namun disaat pandemic, volume penjualan daging satwa liar di Kota Tomohon mengalami penurunan hingga 30 persen lantaran sejumlah pemerintah daerah memberlakukan kebijakan pembatasan wilayah, yang kemudian menyebabkan semua jalur transportasi lintas provinsi ditutup.

Pedagang mengaku hanya bisa menjual rata-rata 50-60 kilogram per hari untuk daging satwa liar seperti ular, babi hutan, kelelawar, tikus dan anjing. Meski demikian, permintaan akan daging satwa liar jenis itu justru mengalami peningkatan dua kali lipat dari kondisi normal, lantaran ketersediaan daging satwa jenis tersebut tidak cukup memenuhi permintaan.

“Karena ketersediaan terbatas maka banyak permintaan. Terutama daging kelelawar, tikus, ular dan anjing. Banyak sekali orang yang pesan. Tapi karena pasokan dari luar belum lancar, maka volume penjualannya tak bisa banyak. Saya prediksi kondisi ini pasti akan normal lagi,” ungkap Arnold

Selama pandemi, harga daging satwa liar di Kota Tomohon mengalami kenaikan cukup signifikan. Harga daging babi hutan (sus celebensis) misalnya sebelum Covid-19 muncul, dijual dengan harga Rp 40 ribu per kilogram dan disaat pandemi menjadi Rp 60 ribu per kilogram. Satu pedagang bisa menjual 60 kilogram per hari. Tikus  ekor putih Sulawesi (Paruromys dominator) harga sebelumnya mencapai Rp 25 ribu per ekor, saat pandemi dijual dengan harga 35 ribu per ekor.

Dalam sehari pedagang bisa menjual 180 ekor.  Kelelawar (Pteropus sp) sebelumnya dijual dengan harga 20 ribu per kilogram, dan saat pandemi dijual dengan harga 35 ribu per ekor. Pedagang bisa menjual 245 ekor per hari. Harga ular patola (Python reticulatus) sebelumnya dijual 35 ribu per kilogram, selama pandemi harganya melonjak menjadi Rp 55 ribu per kilogram dan pedagang mengaku bisa menjual 100-120 kilogram per hari.

“Itupun proses jual belinya tidak dipasar. Selama corona tiga bulan lalu, Kami hanya melayani pemesanan melalui layanan telepon, lalu kami antar pada pembelinya. Sekarang karena pasar sudah dibuka lagi, sudah banyak yang memilih berjualan di pasar,” ungkap Arnold.

Memasuki fase kebijakan new normal, aktivitas penjualan daging satwa liar di pasar beriman Kota Tomohon terlihat sudah kembali bergeliat. Sempat ditutup selama pandemi, kini banyak pedagang  mulai kembali menjual daging satwa liar secara terbuka, meski dengan pasokan terbatas. Pemerintah Tomohon bahkan telah mengizinkan pedagang untuk kembali berjualan daging satwa liar, namun dengan mengikuti dan menaati protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah seperti menjaga jarak, memakai masker dan selalu mencuci tangan.

Noldy Montolalu, Kepala PD Pasar Beriman mengatakan perdagangan satwa liar di Kota Tomohon merupakan aktivitas perdagangan yang telah lama berlangsung. Perdagangan satwa ini sulit untuk dihentikan secara langsung lantaran berhubungan dengan kebiasaan konsumsi masyarakat. Untuk mengurangi volume perdagangan, pemerintah Kota Tomohon saat ini hanya bisa memperketat jalur masuk dan melakukan pemeriksaan setiap truk pengangkut hewan liar yang masuk pasar beriman sehingga bisa mengurangi volume penjualan daging satwa liar. Pemerintah Kota Tomohon belum bisa menghentikan secara penuh lantaran konsumsi daging satwa liar ini telah menjadi kebiasaan lama masyarakat Minahasa.

“Langkah lain adalah dengan memberikan edukasi pada pedagang dan masyarakat soal konsumsi daging satwa liar.  Tetapi saya berharap ada dukungan dan partisipasi aktif masyarakat,” kata Noldy.

Sebelum kebijakan new normal diberlakukan, pemerintah Kota Tomohon, ungkap Noldy, sesungguhnya sudah menghentikan penjualan satwa liar seperti kelelawar, ular, dan tikus di pasar Beriman. Pemerintah bahkan menutup pasar beriman selama pandemi berlangsung. Namun upaya itu hanya bersifat sementara waktu lantaran pedagang mengikuti anjuran pemerintah untuk diam dirumah.

“Sekarang sudah ada yang jualan daging ular, tikus dan babi hutan. Tapi jumlahnya belum banyak. Untuk saat ini kami hanya memperketat jalur masuk ke pasar. Semua harus diperiksa. Semoga saja bisa menjadi langkah awal untuk menghentikan sementara selama pandemi,” ungkap Noldy sembari menambahkan hanya penjualan babi hasil peternakan yang masih diperbolehkan bebas.

Lokasi Pasar Beriman yang dikenal dengan nama Pasar Ekstrim, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, 28 Juli 2020. Foto: Budhy Nurgianto.

Penggiat Konservasi di Sulawesi Utara juga memperkirakan, perdagangan satwa liar di Sulawesi Utara sulit untuk dihentikan dalam waktu cepat lantaran berhubungan erat dengan kebiasaan konsumsi masyarakat Kota Tomohon dan Minahasa yang gemar mengkonsumsi daging satwa liar.

Anggapan bahwa daging satwa liar bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan persepsi bahwa mengkonsumsi daging liar adalah sebuah kebanggaan menjadi faktor yang mengapa upaya untuk menghentikan perdagangan satwa ini sulit dilakukan.

“Pemerintah memang harus tegas soal ini. Minimal konsisten melakukan edukasi pada masyarakat. Jika perlu tegakan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi. Jika tidak, persoalan ini dipercaya akan makin sulit diatasi,” kata John Tasirin penggiat konservasi yang juga staf pengajar di Universitas Sam Ratulangi Manado kepada TEMPO.

Menurut John, perdagangan satwa liar secara ekologis sesungguhnya memiliki dampak negatif yang cukup besar terhadap keseimbangan ekosistem lingkungan. Beberapa satwa liar yang dijual bebas di pasar merupakan satwa endemik Sulawesi yang memiliki tempat tersendiri dalam ekosistem lingkungan dan perannya tidak bisa tergantikan. Setiap spesies di alam ada yang bahkan memiliki hubungan sangat erat dengan jaring rantai makanan untuk makhluk hidup lainnya termasuk manusia.

“Jadi jika salah satu spesies diburu atau jumlahnya makin berkurang, sudah tentu akan mengganggu keseimbangan rantai makanan di alam. Dan itu sangat merugikan kita,” pinta John.

Salah satu spesies yang dianggap penting dalam keseimbangan ekosistem lingkungan dan banyak dijual adalah kelelawar.  Spesies ini memiliki peran penting dalam membantu penyerbukan berbagai jenis tumbuhan dan juga ikut  andil di dalam kelangsungan berbagai spesies tanaman, terutama di habitat liarnya. Meski kelelawar dianggap pembawa banyak virus Corona dan diyakini sebagai inang alami virus yang memicu Sars pada tahun 2003, namun kelelawar tetap memiliki posisi strategis dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

Sebelumnya studi yang dilakukan Departemen Mikrobiologi Universitas Hong Kong (HKU) menyebut kelelawar jenis tapal kuda atau kelelawar Ladam kemungkinan besar menjadi dalang dari merebaknya pandemi Covid-19.

Penelitian Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung bahkan menemukan Virus SARS-CoV-2 termasuk Genus Betacoronavirus (Beta-CoV) dalam Famili Coronaviridae. Genom SARS-CoV-2 memiliki kesamaan dengan Beta-CoV RaTG13 yang ditemukan pada kelelawar Rhinolophus affinis dengan kemiripan 96.2 persen. SARS-CoV-2 menggunakan reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2) untuk menginfeksi sel inangnya. Transmisi terjadi dari manusia ke manusia melalui droplet yang mengandung virus. Kelelawar diduga kuat sebagai reservoir alami SARSCoV-2 tetapi tidak dapat menularkannya secara langsung ke manusia

Meski demikian, kelelawar pemakan buah tetap ikut berperan memancarkan dan menyebarluaskan berbagai jenis tanaman berbuah ke daerah yang lebih luas. Kotoran kelelawar berfungsi sebagai pupuk organik untuk peningkatan pertumbuhan tanaman. Sementara kelelawar jenis pemakan serangga berperan mengontrol populasi serangga karena mampu memakan serangga hingga 50 persen dari bobot tubuhnya. Sehingga  kemampuan konsumsi kelelawar jenis ini bisa menekan ledakan jumlah serangga.

“Tapi saat ini populasi kelelawar buah di Sulawesi Utara sudah makin berkurang. Meski belum sepenuhnya punah populasi kelelawar ini makin hari makin sulit ditemukan. Saya sangat mengkhawatirkan bahwa populasi kelelawar ini sudah mendekati kepunahan ekologis yang tidak bisa lagi untuk menjaga keseimbangan lingkungan,” kata John.

Survei yang dilakukan Tiltje Andretha, peneliti kelelawar dari Universitas Sam Ratulangi Manado menemukan dalam sehari setiap pedagang di tiga pasar di Sulawesi Utara rata-rata menjual 100-200 ekor kelelawar atau setiap harinya daging kelelawar menyumbang penyediaan yang setara dengan 30-50 kg kebutuhan daging.

Walaupun belum ada laporan ilmiah tentang populasi dan jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan bahan pangan di Sulawesi, namun melihat tingkat pemanfaatan masyarakat dan tingkat degradasi habitat kelelawar setiap tahun kian mengkhawatirkan.

“Karena itu penting adanya upaya untuk mengendalikan perdagangan kelelawar ini. Apalagi beberapa jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi Utara semakin sulit ditemukan atau jumlahnya sudah semakin berkurang. Makanya tak heran jika kelelawar banyak dijual di pasar-pasar di Sulawesi Utara banyak dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Gorontalo,” kata Tiltje.

Liputan ini merupakan proyek Liputan Khusus yang dudukung oleh Internews’ Earth Journalism Network (EJN).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.