Revisi Undang-undang Minerba memuat pasal-pasal yang merugikan lingkungan dan masyarakat. Koalisi Masyarakat berencana menggugat pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi buah bibir dan masyarakat ramai-ramai mencibir pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat karena diam-diam mengesahkanya menjadi Undang-Undang pada tanggal 12 Mei lalu.

Muatan RUU Minerba tersebut menjadi kontroversial karena dipandang mengabaikan kepentingan publik serta lingkungan, dan sebaliknya hanya menguntungkan korporasi.

 RUU Minerba, sebenarnya, sudah ditentang elemen masyarakat pada 2019 lalu.

Penolakan RUU tersebut disuarakan bersamaan dengan penolakan terhadap rencana undang-undang lainnya, yaitu Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kemasyarakatan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

 Ketika RUU KPK disahkan menjadi undang -undang, RUU Minerba, KUHP dan Kemasyarakatan ditunda di penghujung masa bakti DPR RI 2014-2019 dan ditetapkan dengan status carry over ke DPR RI 2019-2024.

Tujuannya, agar pembahasan tidak dilakukan dari awal lagi.

 RUU Minerba lalu dibahas kembali di Komisi VII DPR mulai 30 Maret 2020. Prosesnya sangat cepat. Hanya memakan waktu kurang lebih dua bulan.

Ketua divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawa mengatakan, RUU Minerba yang disahkan menjadi UU sarat dengan pasal bermasalah.

“Salah satunya Pasal 47 yang menjamin perusahaan tambang mendapat perpanjangan izin selama 10 tahun sebanyak dua kali,” kata Arip dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia, Rabu (13/5).

Koalisi masyarakat sipil #BersihkanIndonesia berencana mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal kontoversial UU Minerba tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Hampir 70 persen konten Undang-undang baru Minerba ini layak di-judicial review,” lanjut Arip. Selain YLBHI, ada pula Indonesian Center for Environmental Law, Auriga Nusantara, dan Jaringan Advokasi Tambang, yang merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil #bersihkanIndonesia.

Pasal-pasal bermasalah

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah, mencontohkan Pasal 1 Ayat 28a, yang dinilainya berpotensi dipakai untuk melakukan eksploitasi besar-besaran.

“Tidak hanya di daratan, tetapi juga laut, yang bertentangan dengan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” kata Merah.

 Pasal tersebut memuat definisi, ‘Wilayah Hukum Pertambangan adalah ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.’

Di lain pihak, menurut Pasal 23 Ayat (2) UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib diprioritaskan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, peternakan, pertanian organik serta pertahanan dan keamanan.

Kemudian Merah juga menunjuk kepada Pasal 4 ayat 2 alam UU minerba yang baru yang menetapkan penguasaan mineral dan batu bara ditentukan pemerintah pusat. Merah menjelaskan, tidak seperti UU sebelumnya yang memberikan peran kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatur kewenangan perizinan, kini Pemda hanya bisa memiliki wewenang jika didelegasikan pemerintah pusat.

“Ini berarti mengabaikan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah,” kata Merah.

Selanjutnya, pada Pasal 22, kegiatan pertambangan dinyatakan bisa dilakukan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar. Ini dinilai membuka peluang perusakan ekosistem sungai.

“Ancaman pada perusakan sungai, karena diperluas. UU yang lama saja, yang membolehkan 25 hektar ada banyak kasus. Salah satunya di Mojokerto. Tambang pasir dan kerikil. Sempat ada tiga warga setempat yang jalan kaki dari Mojokerto ke depan Istana,” kata Merah.

Sementara, peneliti Auriga Nusantara Iqbal Damanik menjelaskan bahwa dalam Pasal 100 tentang kewajiban reklamasi lubang tambang, perusahaan tambang kini tidak diwajibkan lagi melakukan reklamasi pascatambang jika ingin mendapat perpanjangan izin. Ini dinilai menguntungkan korporasi dan melanggar hak warga yang tinggal di sekitar tambang.

Kajian JATAM berjudul ‘Terus Melegitimasi Lubang Kematian’ pada April 2020 menjelaskan, lubang tambang yang tak direklamasi sangat berbahaya bagi masyarakat setempat. Lubang-lubang tersebut mengandung logam berat dan bahan beracun berbahaya. Kualitas air di sekitar lubang tambang yang tidak direklamasi mengandung racun sehingga berbahaya jika dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga.

Berdasarkan catatan dalam kajian tersebut, ada 143 orang meninggal dunia sepanjang 2011-2019 akibat lubang tambang yang menganga. JATAM juga menyebut ribuan lubang tambang itu bagaikan bom waktu yang kapan saja bisa membuat orang kehilangan nyawa.

Sampai saat ini, Iqbal mengatakan, ada 87.307 hektar lubang bekas tambang yang belum dan terancam tidak direklamasi akibat pengesahan UU Minerba yang baru. “Bayangkan ada lubang tambang sebesar itu yang kemudian tidak dipaksa untuk segera dievaluasi tapi dibiarkan dan diberikan perpanjangan izin dan penambahan luas,” kata Iqbal.

Keuntungan bagi pengusaha tidak hanya didapat dari pasal itu. Dalam Pasal 102, Iqbal melanjutkan, pengusaha batu bara tidak diwajibkan melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non-fiskal bagi pertambangan dan industri batubara.

 Menurutnya, ini adalah tanda bahwa melalui revisi ini Indonesia akan semakin tersandera oleh kecanduan energi maut batu bara.

“Yang merupakan sumber utama krisis iklim dunia,” lanjut Iqbal.

Sementara Pasal 162 dan 164 dinilai berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat secara langsung dan Koalisi menilai ke dua pasal ini bisa mengkriminalisasi warga yang menolak tambang.

Pasal 162 berisi tentang hukuman kepada pihak yang menolak tambang. Dalam pasal tersebut dijelaskan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambahan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SPIB yang telah memenuhi syarat, bisa dipidana penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal RP100 juta.

Sedangkan Pasal 164 mengatur sanksi tambahan dari Pasal 162. Sanksi tambahan berupa perampasan barang dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Koalisi juga menyoroti Pasal 169A tentang perpanjangan masa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengelolaan Batubara (PKP2B) suatu perusahaan. KK dan PKP2B nantinya akan dilakukan tanpa lelang. Perusahaan juga diberi jaminan perpanjangan otomatis 2×10 tahun tanpa mengurangi luas wilayah.

“Pemilik KK dan PKP2B pun diberi jaminan untuk memperpanjang menjadi Izin Usaha Petambangan Khusus (IUPK),” kata Iqbal.

 Di aturan sebelumnya, wilayah penambangan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak. Pembuatan KK dan PKP2B juga harus dilelang.

Pasal-pasal yang hilang

Dalam aturan tentang Minerba terbaru, ada sejumlah pasal yang hilang. Iqbal menjelaskan, UU Minerba sebelum direvisi, Pasal 83 ayat (2) mengatur batasan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) produksi pertambangan mineral logam. Luas maksimal dalam aturan itu, 25.000 hektar.

Begitu pula dengan Pasal 83 ayat (4) tentang batasan luas WIUPK untuk produksi batu bara. Di dalamnya, luas maksimal WIUPK adalah 15.000 hektar.

Lalu Pasal 165, memuat sanksi pidana bagi pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi terkait Izin Usaha Pertambangam (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) serta Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam pasal itu tertulis, setiap orang yang menyalahgunakan wewenangannya diberi sanksi pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp200 juta.

“Pasal-pasal tersebut kini dihapus,” kata Iqbal. Dengan tidak adanya Pasal 165, Koalisi menilai RUU Minerba membuka celah terjadinya korupsi.

Tak seharusnya disahkan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayoga menilai, DPR dan pemerintah seharusnya tidak melanjutkan pembahasan RUU Minerba apalagi mengesahkan. Sebab, RUU tersebut sudah menuai penolakan keras dari masyarakat sejak 2019 lalu.

 Egi curiga, RUU tersebut akhirnya disahkan karena ada pesanan segelintir pengusaha pemegang PKP2B yang akan segera habis masa konsesinya.

“Pembahasannya terburu-buru dan tertutup. Dugaan kami, elit-elit kaya yang punya kepentingan dengan bisnis batubara yang menggerakkan pembahasan ini,” kata Egi.

Namun Wakil Ketua Komisi VII bidang Energi, Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi, serta Lingkungan ,yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Minerba Bambang Wuryanto, membantah pembahasan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dikebut. Dia mengklaim RUU Minerba sudah disiapkan sejak 2016. Termasuk soal Daftar Inventaris Masalah (DIM).

“Banyak yang nanya melalui WhatsApp, media massa, tentang pembahasan RUU Minerba yang terlalu cepat. Di mana jawaban kami bahwa RUU Minerba disiapkan sejak 2016,” kata Bambang usai rapat pengesahan RUU Minerba.

 Dia juga menyampaikan bahwa RUU sudah dibahas komprehensif dengan pemerintah pusat.

Selain itu, Bambang juga mengatakan, pembahasan RUU Minerba memang merupakan tugas DPR selaku lembaga legislatif. 

”Semua didiskusikan panjang lebar agar kawan-kawan di luar paham, kalau ada yang tidak pas judicial review. Jangan sebar WA yang dibombardir kepada kami semua, itu namanya teror,” katanya.

Peneliti Sajogyo Institute Eko Cahyono menilai, dengan mengesahkan RUU Minerba di tengah pandemi, DPR dan pemerintah terkesan seperti ingin membayar hutang kepada korporasi karena telah didukung pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 lalu.

Eko mengungkapkan, ada banyak kepala daerah yang didukung perusahaan tambang. Janji yang diberikan adalah memudahkan perpanjangan izin atau memperoleh izin usaha pertambangan.

“Kenapa sekarang ngotot meloloskan RUU Minerba di tengah pandemi? RUU KPK juga diloloskan, sekarang Omnibus Law ngeyel mau dibahas ulang. Menurut saya, ini adalah waktunya bayar hutang, bayar ijon politik Pilkada dan pemilu kemarin,” kata Eko.

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia juga menyebut ada tujuh korporasi besar yang akan habis izin usahanya namun bisa diperpanjang otomatis berkat RUU Minerba. Tujuh perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).

Menurut mantan Komisioner KPK Laode M Syarif, RUU Minerba ini memang tampak lebih menguntungkan untuk penguasa tambang daripada untuk kepentingan negara dan lingkungan. RUU Minerba telah mengurangi peran kontrol negara.“Karena izin otomatis diperpanjang sampai puluhan tahun,” katanya. “Pun tidak ada perlakuan khusus untuk masyarakat sekitar tambang.”

Mengenai sanksi pidana terhadap pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang, Laode mengatakan, dampaknya akan menjadi sangat signifikan. Nantinya, jika pemerintah mengeluarkan izin tambang dalam taman nasional atau tidak memperhatikan faktor-faktor lingkungan dan masyarakat sekitar, hal tersebut akan dianggap sebagai hal biasa.

“Itu adalah kemunduran,” katanya. “Ke depannya akan lebih sulit aparat penegak hukum untuk menindak kejahatan lingkungan, Sumber Daya Alam, dan korupsi.” Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.