Suku Talang Mamak, hidup tersebar di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, bergantung kepada sumber daya hutan. Namun hutan sekeliling mereka makin menyusut, antara lain dengan kehadiran beberapa perusahaan hutan tanaman industri dan sawit, yang berdampak pada kelangsungan hidup mereka.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Mongabay Indonesia pada tanggal 20 November 2019.

Oleh Elviza Diana

Anyaman rotan tampak bergelantung di atap rumah Minar, perempuan Talang Mamak di Desa Suo-Suo, Kecamatan Batang Masumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Anyaman, atau pengincahan ini biasa sebagai penyaring bubuk jernang setelah ditumbuk. Ia mirip alat perangkap ikan, hanya lebih lancip dan panjang pada bagian ujungnya.

Jernang (Daemonorops spp.), merupakan sejenis rotan dengan getah buah bernilai tinggi. Harga getah jernang bermutu baik, sudah berbentuk bubuk berwarna kemerahan sekitar Rp1.500.000–Rp5.000.000 per kilogram di tingkat pengumpul.

Ada beberapa jenis jernang, yang memiliki nilai mahal jenis Daemonorops draco, dikenal dengan darah naga. Bubuk jernang bisa jadi bahan dasar pewarna industri tekstil.

Bagi Suku Talang Mamak, sudah turun temurun memanen jernang ini sebagai salah satu penopang kehidupan mereka. Kini, jernang makin sulit di hutan tempat mereka bermukim, masuk Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

“Sekarang cuma kelukup, ini Rp40.000 per kilogram,” kata Minar. Kelukup, satu jenis jernang dengan batang lebih besar namun mutu getah rendah.

Baca juga: Orang Talang Mamak Menagih Perlindungan Negara

Desa Suo-Suo pada 2018, tercatat 54 keluarga Suku Talang Mamak tinggal di Dusun Semerantihan. Laki-laki ada 121 dan 28 perempuan. Mereka menempati 25 rumah yang dibangun sejak 2000 oleh Frankfurt Zoological Society, sebuah organisasi berpusat di Frankfurt, Jerman, yang fokus menangani satwa terancam punah di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Mereka juga membantu menjaga ekosistem dan kehidupan kelompok penduduk tempatan.

Kekerabatan antar keluarga ini sangat dekat. Kindok, Kepala Dusun Semerantihan, mengatakan, mereka memiliki ikatan kekeluargaan dengan Suku Talang Mamak, di Riau, Dusun Tuo Datai, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Indragiri Hulu.

Suku Talang Mamak, hidup tersebar di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang secara administrasi berada di dua provinsi, Indragiri Hulu (Riau) dan di Kabupaten Tebo (Jambi).

Sumber: Komunitas Konservasi Indonesai WARSI (KKI-WARSI)

 

Banyak legenda tersebar terkait asal usul SukuTalang Mamak. Ada yang mengatakan, mereka berasal dari Pagaruyung dan berpindah ke Indragiri Hulu, Riau, karena konflik adat dan agama yang dikenal sebagai perang Padri pada abad ke-19. Dikutip dari Alam Sumatera, edisi Desember 2015, menyatakan, ikatan ini tercermin dalam pepatah adat mereka, yang disebut seloko, antara lain menyebutkan, mereka “berinduk ke Tigabalai, beribu ke Pagaruyung, berbapak ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat.”

Secara umum, suku Talang Mamak kehidupannya bergantung kepada sumber daya hutan yang merupakan tempat berburu dan meramu mereka serta asal sumber daya alam yang mereka olah untuk dikonsumsi keluarga batih maupun kelompok. Suku Talang Mamak sejak dulu juga sudah mengenal sistem perladangan tradisional dan ritual gotong royong mereka untuk membuka ladang dinamakan Basolang.

Adat mereka tak memperbolehkan pembukaan hutan yang masih bertutupan baik. Mereka yakini hutan rimba tempat para bunian, makhluk halus tinggal. Ada juga ritual oleh dukun padi ketika menanam padi pertama kalinya di lahan baru.

Hutan sekeliling Talang Mamak makin menyusut, antara lain dengan kehadiran beberapa perusahaan hutan tanaman industri dan sawit, berdampak pada kelangsungan hidup mereka.

Sadek, petani Talang Mamak juga mengeluhkan cuaca makin tak menentu.

“Lima sampai 10 tahun lalu, musim tanam Agustus,  sekarang terjadi perubahan cuaca ekstrem. Musim kemarau kadang lebih lama dan panjang. Musim hujan jadi lebih pendek.  Hasil panen juga dipengaruhi bulan tanam,” katanya.

Wilayah hidup Suku Talang Mamak di Jambi. Ini merupakan jalan masuk ke lokasi pemukiman Suku Talang Mamak di Dusun Semerantihan yang berada di areal restorasi PT ABT Talang Mamak, mereka hidup tersebar di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang secara administrasi berada di dua provinsi, Indragiri Hulu (Riau) dan di Kabupaten Tebo (Jambi). Sumber: Elviza Diana

Cuaca yang berubah-ubah ini menyebabkan mereka pernah mengalami gagal panen. Padi yang mereka tanam tak berbuah maksimal, hampo, demikian istilah setempat.

Bagi Suku Talang Mamak, ada pembagian kerja jelas antara laki-laki dan perempuan dalam mengelola ladang. Penyiapan ladang hingga kepada penanaman padi oleh laki-laki. Setelah ditanam, perempuanlah yang bertanggung jawab merawat, dan menanam tanaman sela, seperti umbi-umbian dan sayuran, diantara padi.

Sadek bercerita, ketika perempuan meladang, para lelaki akan masuk ke hutan mencari jernang, kelukup, buah-buahan, rotan, manau, dan getah kemenyan.

Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir tutupan hutan sudah banyak berkurang. Hasil berburu atau meramu pun terdampak.

“Ini sudah sulit, apalagi mencari jernang. Kalau berburu kami terbilang jarang. Sulit hewan buruan didapat, cuma babi,” katanya.

Satu hektar lahan yang ditanami padi, bisa menghasilkan satu ton gabah basah. Sadek bersyukur, masih dapat mencukupi keperluan pangan keluarga mereka.

Kearifan lokal Suku Talang Mamak ini tercermin dalam pengelolaan lahan. Sebagian lahan padi selalu disisihkan bagi hewan-hewan penggangu seperti gajah dan monyet.

“Jika menanam satu hektar padi, setengah itu untuk Datuk Gedang (gajah-red) dan monyet. Karena bagian pinggir pasti dimakan mereka, kita hanya bisa panen di bagian tengah ladang,” kata Sadek.

Dalam tiga tahun terakhir ini nampaknya serangan gajah makin sering. “Mereka mulai masuki pemukiman,” katanya.

“Datuk gedang sering datang, dan bergerombolan. Karena hutan cuma ada di daerah sini saja, kalau yang lain sudah rusak.”

 

Kala hutan makin tergerus

Data BKSDA Jambi memperlihatkan, ada sekitar 143 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Tebo, termasuk di pemukiman Suku Talang Mamak.

Konflik gajah Sumatera dengan masyarakat jadi masalah serius di Tebo, beberapa tahun terakhir. Padahal, kabupaten ini, terutama lansekap Bukit Tigapuluh, merupakan kantong populasi gajah di Sumatera bagian tengah. Populasi gajah terdesak alih fungsi kawasan hutan jadi pemukiman, tambang dan perkebunan hingga populasi yang sebagian besar berada di luar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, makin terdesak.

Pada Januari-Juni 2018, tercatat 188 konflik antara gajah dengan warga. Pada Mei lalu, konflik bahkan menyebabkan satu gajah betina berusia dua tahun diduga tewas diracun.

Di samping makin sering gajah dan monyet masuk ladang mereka, hutan menyusut sumber penghidupan mereka juga membawa dampak lain bagi Talang Mamak.

“Angin kencang mulai terasa, sekarang. Dulu atap di pondok ladang sempat lepas karena angin kencang,” kata Sadek.

Tutupan hutan menyusut tak hanya berdampak pada jernang dan buruan. Ada beberapa tanaman obat jadi langka.

Tesa, dukun beranak di Dusun Semerantihan mengatakan, bunga abang dan bunga kuning berguna pada saat pengobatan kini sulit.

“Kami mulai menanam di sekitar rumah, jika ada ritual pengobatan bisa langsung didapat,” katanya.

Membuat anyaman. Anyaman, atau pengincahan ini biasa sebagai penyaring bubuk jernang setelah ditumbuk. Ia mirip alat perangkap ikan, hanya lebih lancip dan panjang pada bagian ujungnya. Sumber: Elviza Diana

 

Akhir Mei lalu, saya berkunjung ke Semerantiha. Warga baru saja mengadakan Kemantan, tradisi pengobatan dengan bahan-bahan berbagai bunga dari hutan. Ritual pengobatan Kemantan dilakukan kalau temas, atau pengobatan awal tak berhasil.

Tesa mengatakan, kalau ada anggota kelompok sakit biasa dukun akan melakukan ritual temas terlebih dahulu. “Ini menggunakan kunyit, beberapa bagian tubuh pasien akan dioles kunyit yang sudah dibacakan mantra.”

Dalam upacara kemantan, ketebung (gendang) ditabuh bertalu-talu sampai dukun, yang duduk di tengah, bagian depan songgong– rumah rumahan kecil dari bambu, sekitar 20cm x 20 cm berisikan berbagai jenis makanan seperti lemang, ketupat dan ayam hitam. Dia dirasuki arwah yang akan membant mengobati si sakit.

“Ada daun limau, pucuk aren, setawa, bunga abang dan kuning, bahan pengobatan yang digunakan,” kata Tesa.

Keberadaan Talang Mamak dan peran penting mereka dalam menjaga keberlangsungan daerah penyangga Bukit Tigapuluh, disadari perusahaan dengan daerah operasi mencakup lokasi tempat bermukim Talang Mamak, Dusun Semerantihan.

Usaha restorasi ekosistem, PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) dapat izin di hutan produksi seluas 38.665 hektar di Tebo sejak 2015. Areal ini mencakup Dusun Semerantihan.

Dody Rukman, Direktur ABT mengatakan, ancaman perambahan dan pembalakan di area restorasi ABT makin masif. Saat ini, mereka kehilangan sekitar 8.000 hektar karena pembalakan dan perambahan itu.

“Kami serius berupaya menangani kegiatan ilegal ini. Ini hutan negara. Kami diberi wewenang mengelola dengan prinsip restorasi,” katanya.

Dody mengatakan, upaya pengamanan tak bisa hanya mengandalkan perusahaan. Saat ini, personel pengamanan ABT hanya 35 orang, perlu koordinasi dan dukungan dari instansi terkait guna memberantas pembalakan yang diduga didukung pihak-pihak lain yang kuat.

Menurut Dody, banyak sekali potensi flora dan satwa dilindungi hidup dalam wilayah restorasi ini. Ia juga menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Dia berharap, Suku Talang Mamak jadi benteng terakhir bagi penyelamatan areal penyangga Bukit Tigapuluh ini.

Mereka melibatkan, Suku Talang Mamak dalam beberapa pengembangan potensi hasil hutan bukan kayu di dalam kawasan. “Kita kembangkan berbagai kerajinan, madu juga jernang. Juga pemberdayaan berupa fasilitas pendidikan dan kesehatan juga diberikan perusahaan,” katanya.

Beberapa kegiatan sudah mereka lakukan dengan melibatkan Suku Talang Mamak, seperti pengembangan kerajinan dan penjualan madu hutan hingga pasar nasional. Ada beberapa pelatihan juga, seperti pengembangan keterampilan mengemas anyaman hingga bernilai jual tinggi.

Kindok, Kepala Dusun Semerantihan merasakan manfaat dari pemberdayaan ekononi melalui pengembangan hasil hutan bukan kayu ini. Mereka sudah menjual beberapa produk anyaman dan madu ke luar Jambi melalui jaringan pasar yang dibangun ABT.

“Beberapa kali sudah ada pelatihan misal, anyaman, dan panen madu juga sudah dijual sampai ke Jakarta. Ada jaringan pasar. Kami terbantu dengan dukungan ini, peningkatan penghasilan juga.”

Dalam satu tahun terakhir, ABT memperbaiki tata niaga madu, hingga ada peningkatan ekonomi masyarakat pengumpul madu. Dengan perhitungan, harga madu tanpa intervensi sekitar empat ton @Rp40.000 per kg atau Rp160 juta.

“Dengan perbaikan tata kelola dan mutu, hasil yang bisa melonjak sepuluh kali lipat mencapai Rp1,6 miliar,” kata Dody.

 

Liputan ini didukung oleh program Story Grants 2019 oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.