Jumat pagi (8/1) lalu ketika sedang bersepeda di seputar Desa Ambarketawang, Kasihan, Bantul, saya melihat suatu pemandangan yang agak ganjil. Di sebuah petak sawah, tertancap belasan tongkat bambu dengan beberapa kepiting tertusuk di ujungnya. Terus terang, inilah kali pertama saya melihat pemandangan seperti ini.
Apakah ini untuk memberi perrmainan pada bangsa tuyul? Pikiran ini sempat melesat di otak saya karenan konon kepiting adalah jenis mainan yang disukai makhluk halus yang suka mencuri uang ini.
Didorong rasa penasaran, maka saya bertanya kepada seorang ibu yang sudah cukup umur dan menjadi pemilik sepetak sawah itu. “Untuk apa ada kepiting-kepiting itu ditancapkan di sana?” tanya saya.
“O, itu untuk menanggulangi walang sangit,” ujarnya singkat sambil terus mengawasi padi yang mulai menguning. Sesekali ia berteriak lantang untuk mengusir burung-burung pipit yang dengan rakus mencuri bulir-bulir padi. “Haryo, hei… ah,” teriak perempuan itu.
Saya pun mendekat untuk melihat kepiting yang sudah mati dan mengeluarkan bau busuk itu. Ternyata benar, di setiap kepiting itu berkumpul beberapa walang sangit. Menurut sang ibu itu dengan adanya kepiting itu maka walang sangit akan menjauhi bulir padi dan berkumpul di tubuh-tubuh kepiting yang hidup di sepanjang sungai itu.
Bila itu terjadi, selamatlah bulir-bulir padi yang mulai menguning itu. Sebab, walang sangit adalah salah satu hama padi. Jika bulir-bulir padi dihisap walang sangit atau belalang sangit, maka padi akan menjadi kopong alias tidak berisi.
Hebat! begitulah kesimpulanku. Tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli pestisida, petani kita sebetulnya sudah dapat menanggulangi hama yang menyerang padi mereka. Caranya pun alami, tanpa perlu meracuni padi dengan obat semprot pestisida yang mengandung obat kimia berbahaya itu.
Sayang, cara ini sudah mulai langka. Para petani dihasut untuk menggunakan obat pestisida yang selain berbahaya, merusak lingkungan dan hanya menguntungkan para kapitalis pemilik pabrik pestisida itu.