Pesisir selatan di Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta adalah wilayah pantai yang sering digunakan penyu lekang (Lephidochelys olivacea) untuk bertelur. Spesies ini termasuk yang dilindungi karena populasinya yang terus terancam. Biasanya penyu ini akan mendarat pada saat angin timur mulai bertiup, dalam bahasa Jawa masa ini dinamakan bediding, ketika cuaca udara sangat panas di siang hari tetapi berubah menjadi dingin sekali di malam hari. Masa bertelur ini berlangsung anatar 2 sampai 3 bulan.
Dimasa depan ada kemungkinan aktivitas bertelur penyu ini akan terganggu karena Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berencana melakukan penambangan pasir besi di sepanjang pantai selatan di wilayah kabupaten itu. Kontrak karyanya dengan sebuah perusahaan dari Australian sudah disetujui pemerintah pusat. Rencananya, lahan pasir besi yang akan ditmabang itu berada 1 km dari bibir pantai. Luasnya sekira 3000 hektar dan berada di antara Sungai Progo di timur dan Sungai Serang di Barat, total panjangnya mencapai sekira 22 km. Sedangkan kedalamannya mencapai sekira 100 meter.
Kepada media massa, Bupati Kabupaten Kulonprogo Toyo S. Dipo mengatakan jika penambangan pasir besi ini – akan diikuti – pembangunan pabrik pengolahan biji besi sukses, maka Kulonprogo akan menjadi salah satu kabupaten terkaya di seluruh Pulau Jawa. Selain itu, tentu saja banyak tenaga kerja lokal yang akan diserap. Positif, memang.
Lim Wen Sim, salah seorang aktivis lingkungan hidup mengkhawatirkan eksploitasi pasir besi itu akan mengganggu proses perkembangbiakan penyu lekang itu. Proyek penambangan pasir besi pasti menyebabkan semakin banyak manusia datang ke wilayah pesisir selatan ini. “Manusia jelas menjadi ancaman bagi keberadaan penyu,” tegas Lim yang suka membeli penyu yang tertangkap jaring nelayan setempat untuk kemudian dilepaskan kembali itu.
Faktor lain yang menjadi ancaman adalah cahaya lampu di malam hari yang berasal dari wilayah eksploitasi pasir besi dan pabrik pengolahannya yang berada di pinggir pantai itu. Penyu betina yang akan bertelur selalu mendarat pada malam hari. Ada kemungkinan cahaya yang terang benderang dari lampu itu menyebabkan penyu secara naluriah urung mendarat. Keberadaan cahaya memberi sinyal jika wilayah pantai tidak aman karena seharusnya gelap gulita.
Cahaya lampu adalah suatu bentuk polusi juga. Majalah National Geographic edisi November 2008 mengabarkan cahaya yang berasal dari peradaban manusia di pinggir pantai dapat mengacaukan jalur perjalanan reptil itu.
Penambangan pasir memang penting karena dapat menggerakkan perekonomian daerah dan memberikan manfaat kepada banyak pihak. Tetapi kehidupan penyu juga harus dijaga, reptil ini juga mempunayi hak untuk hidup dan meneruskan keturunannya. Adakah solusi untuk mengatasi dua kepentingan yang saling bertolak belakang ini? Masyarakatlah yang harus secara bersama-sama mencari solusinya.
oleh : bambang