Posted in

ASEAN GAGAL LINDUNGI KELAUTAN

thumbnailJakarta – Perkumpulan negara-negara Asia Tenggara (The Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), dalam dua dekade terakhir dianggap tidak menunjukan itikad baik untuk menyelesaikan masalah-masalah di lingkungan Asean sendiri, terutama terkait dengan isu-isu penduduk pesisir, pengolahan sumber daya ikan dan pencemaran laut di perairan lintas batas.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi Rembug Laut 43 Tahun Asean Terhadap Peran dan Manfaat Bagi Indonesia yang diselenggarakan Koalisi Rakyat unutk Keadilan Perikanan (Kiara) di Jakarta, Jumat (6/8).

Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal KIARA, Riza Damanik, Asean secara institusi dalam dua dekade terakhir belum membela kepentingan masyarakat Asean seperti kelompok-kelompok perikanan dan pertanian skala kecil, khususnya nelayan dan para petambak.

“Selama ini mereka sering mendapat perlakuan yang kurang layak dari negara-negara anggota ASEAN sendiri,” kata Riza.

Sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan status nelayan dipesisir, terutama untuk suku pengelana laut, yang sampai kini terus disisihkan keberadaannya.

Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, Asean juga memiliki masalah yang cukup besar di sektor pengelolaan perikanan. Di mana dalam kondisi perikanan di ASEAN mengalami degradasi yang cukup tinggi, kebutuhan akan ikan semakin tinggi. “Indonesia saja konsumsi ikannya sudah mencapai 30 kg perkapita pada tiap tahunnya,” ucap Riza.

Menurutnya, Asean sebagai konstitusi harus memikirkan upaya perlindungan akan kebutuhan ikan, bukan memberikan keleluasaan bagi negara di luar Asean untuk mengesploitasi sumber daya ikan. Seperti tercermin pada perjanjian perdagangan bebas antara Asean dengan China (Cafta). “Sehingga bisa dipastikan perjanjian tersebut tidak merugikan bagi anggota-anggota Asean,” kata Riza.

Pada kesempatan yang sama, Muhammad Karim dari Pusat Kajian Pembangunan Maritim Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan perlunya penyelesaian Undang-Undang Illegal Fishing segera diselesaikan. “Sehingga dengan aturan tersebut, pemberian sanksi oleh Asean pada praktek penangkapan ikan secara illegal di perairan Asean dapat dilakukan,” papar Karim.

Selain itu, perlunya penanganan pencemaran laut di kawasan perairan Aseam juga segera diatasi. Mengingat makin parahnya kondisi polusi di pesisir tersebut.

Masalah lain merupakan pendefinisian nelayan tradisional di tingkat Asean. Menurut Karim memberikan status khusus dan perlindungan HAM bagi suku pengelana, bisa menjadi jalan keluar yang paling baik.

Dimasa depan diharapkan Indonesia tidak terlalu pasif dan patuh dalam mengikuti semua aturan yang ada di Asean.

“Indonesia jangan pasif dengan membiarkan maraknya pencurian ikan dan pencemaran laut di perairan batas wilayah Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal Malaysia, Singapura dan Filipina, dan kedua tidak perlu juga terlalu patuh untuk mengikuti semua aturan yang ada di Asean, karena mekanisme di Asean itu koletif. Jadi kalau ada salahsatu anggota yang keberatan, itu tidak akan melahirkan sebuah konsensus,” ucapnya.

Dalam konteks Asean, lanjut Riza, ke depan Indonesia harus mengambil posisi penting, khususnya dalam bidang perikanan. Sebab, Indonesia adalah negara penghasil ikan terbesar di Asean yakni sekitar 40 persen dari hasil perikanan Asean. “Dari 20 juta ton produksi ikan di Asean, 8-9 ton berasal dari Indonesia,” pungkasnya. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.