Posted in

SEGERA BATALKAN HP3

thumbnailJakarta – Koalisi tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 207 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Senin (9/8) kembali menyerukan, agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan HP3 tersebut. Sebab HP3 tersebut dinilai melanggar Undang-Undang Dasar 1945 tentang pengelolaan sumber-sumber agraria, terutama wilayah pesisir.

Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Indonesian Human Rights Communittee for Social Justice, Gunawan, di Jakarta (9/8).

Menurut Gunawan, penetapan HP3 bertentangan dengan UUD 1945 terkait dengan pengelolaan sumber daya agraria beserta perairannya oleh masyarakat,  juga sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, nelayan dan penduduk di pulau-pulau kecil wilayah pesisir.

“HP3 kami pandang melanggar apa yang telah dimanatkan oleh konstitusi kita yaitu UUD 45, utamanya pengelolaan sumber daya agraria terkait dengan pengelolaannya oleh masyarakat pesisir, perairannya dan pulau2 kecil. Dan juga kami pandang merupakan pelanggaran pada hak masyarakat adat, nelayan dan penduduk desa kecil,” ungkap Gunawan.

Pembatalan pasal-pasal HP3 ini oleh MK juga dilontarkan oleh Direktur Eksekutif PK2PM, Muhammad Karim, menurutnya, semenjak lahirnya HP3, semakin banyak pengelolaan wailayah pesisir yang menyebabkan perubahan-perubahan di lingkungan sosial masyarakat dan juga ancaman bagi habitat hutan mangrove di wilayah pesisir.

“Contohnya pembangunan jembatan yang melintas di Balik Papan, yang mengakibatkan resistensi dari masyarakat, terutama terhadap pengikisan hutan mangrove,” ujarnya.

Selain itu, Mida Saragih dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, dengan lambatnya keputusan MK tentang HP3 tersebut, saat ini telah terbit sebanyak 35 peraturan daerah (Perda) yang sejalan dengan HP3, karena mengacu pada UU nomor 27 yang masih terdapat pasal HP3.

“Pada wilayah inilah banyak ditemukan pelanggaran terhadap hak asasi nelayan  dan hak masyarakat adat serta perusakan lingkungan hidup,”

Di sisi lain, tambahnya, meski mendapat penolakan dari nelayan dan masyarakat pesisir semakin memuncak, inisiatif untuk tetap melahirkan peraturan daerah yang sama dari daerah lain juga semakin mengemuka.

“Seperti di Semarang, DPRD Kota Semarang tetap bersikukuh untuk menjalankan agenda privatisasi wilayah pesisir Semarang untuk proyek reklamasi dan pariwisata,” paparnya.

Tiharom, nelayan dari pantai utara Teluk Jakarta yang juga Ketua Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menganggap HP3 adalah sebagai jalan untuk merampas hak-hak nelayan tradisional. Dan bahkan ia juga tidak melihat dampak positif dari diberlakukannya HP3 ini.

“Dengan adanya HP3 ini akan sangat merugikan nelayan di sekitar kami dan juga merampas hak kami sebagai nelayan, karena sebelum HP3 ini disahkan, sudah banyak laut yang di jual. Yang sangat kami rasakan adalah, wilayah tangkap kami semakin berkurang, dan biaya tangkap semakin tinggi,” tuturnya.

Sebelumnya, koalisi tolak HP3 yang terdiri dari 27 perwakilan nelayan dan sejumlah organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan uji materil terhadap UU Nomor 27 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan perkara No.3/PUU-VII/2010. (teddy setiawan)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.