Posted in

KONSERVASI LAUT JANGAN HANYA KUANTITAS

thumbnailakarta – Upaya konservasi untuk melindungi keanekaragaman hayati laut Indonesia dianggap masih belum optimal. Meskipun regulasi mengenai perlindungan keanekaragaman hayati sudah ada, namun implementasinya di lapangan masih belum maksimal. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut terbaik di dunia, mulai dari hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, hingga berbagai jenis ikan ekonomis lainnya.

“Hingga saat ini, upaya pemerintah dalam melakukan konservasi sumber daya laut belum optimal. Pemerintah terlihat lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas kawasan konservasi yang ada,” ungkap Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) atau Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies (COMMITS), Suhana, Kamis (21/10/2010).

Di samping itu, lanjutnya, beberapa program konservasi yang sudah ada juga belum terlihat keberhasilannya. Salah satu contohnya adalah program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang yang akan berakhir pada tahun 2011 nanti. Program itu ternyata banyak mengalami kegagalan, padahal dana program tersebut berasal dari utang luar negeri.

“Selain itu, terlihat juga masih minimnya keterlibatan pemerintah daerah dalam menangani kawasan konservasi. Semestinya Kementerian Dalam Negeri perlu menyusun pedoman yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menangani kawasan konservasi laut,” sambungnya.

Lebih lanjut, ujarnya, saat ini memang sudah ada sedikit kemajuan mengenai kebijakan pemerintah dalam melindungi keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Contohnya adalah sudah adanya Peraturan Pemerintah mengenai konservasi sumber daya ikan. Meskipun sudah ada aturan, tetapi implementasinya di lapangan masih minim dan belum efektif serta belum menjamin kelestarian keanekaragaman hayati.

Mengenai pelaksanaan Conference of the Parties (COP) ke-10 Convention on Biological Diversity (CBD), di Nagoya, Jepang, yang berlangsung sejak Senin (18/10/2010) yang lalu hingga Jumat (29/10/2010) mendatang, di mana masalah konservasi keanekaragaman hayati laut dan pesisir menjadi salah satu materi yang dibahas, Suhana berpendapat bahwa sudah semestinya ada upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, terutama dari negara-negara maju.

“Yang perlu ditekankan dalam COP-10 CBD adalah mendesak komitmen dari negara-negara maju terhadap perlindungan sumber daya hayati. Komitmen tersebut tidak hanya memberikan pinjaman utang untuk kawasan konservasi, akan tetapi lebih kepada dana hibah yang bebas dari berbagai kepentingan politik internasional. Pemerintah Indonesia harus menghentikan pendanaan kawasan konservasi yang berasal dari utang,” tambahnya.

Sejauh ini, pelaksanaan COP-10 CBD sendiri memang tengah memasuki tahap negosiasi yang kompleks. Salah satu pembahasan yang cukup alot dan belum tuntas adalah soal Akses dan Benefit Sharing (ABS), yang merupakan isu paling hangat dalam konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati itu.

Seperti yang dijelaskan oleh anggota Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dalam konvensi itu, Abdul Halim, Rabu (20/10/2010), bahwa ABS adalah salah satu isu yang cukup krusial dan dapat menjadi pengganjal terhadap kesuksesan konvensi secara keseluruhan. Hanya saja, sekarang ini memang terlihat adanya optimisme yang tinggi dari negara-negara peserta untuk menyukseskan pembahasan mengenai ABS.

“Terlihat bahwa banyak negara peserta sangat menaruh harapan agar di akhir minggu ini akan ada kesepakatan mengenai protokol ABS. Saat ini, pembahasan masih terus berlangsung dan semoga saja apa yang diharapkan bisa menjadi kenyataan di akhir minggu ini,” tutupnya. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.