Jakarta, Ekuatorial – Bank Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup sedang bekerjasama sama untuk menyusun kerangka peraturan tentang green bank atau bank berwawasan lingkungan. Pernyataan itu disampaikan Kepala Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia Irwan Lubis, dalam acara diskusi di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta (21/8).

Sampai tahun 2012, kecenderungan pembiayaan sektor perbankan di Indonesia masih didominasi sektor pengolahan, perdagangan dan konsumsi, sedangkan sektor-sektor lain yang berbasis sumberdaya alam atau membutuhkan persayaratan lingkungan cukup ketat seperti pertambangan, pertanian, listrik, gas dan air, cenderung lebih kecil.

Namun, menurut Irwan, tren ini tidak menyurutkan langkah BI untuk segera mengeluarkan peraturan terkait dengan green bank. “Jika debitur mengabaikan lingkungan, sedangkan masyarakatnya punya kesadaran lingkungan yang tinggi, maka ini dapat mempengaruhi kinerja debitur bila ada tuntutan,”katanya.

Tahun lalu, BI telah mengeluarkan peraturan PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang telah memasukkan penilain unsur pengelolaan lingkungan hidup oleh debitur, di dalam persyaratan penyaluran kredit.

Ia juga menyebutkan tentang adanya nota kesepahaman antara BI dengan Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2011-2013 tentang green banking. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan BI antara lain training analis lingkungan, dan mengembangkan green lending model untuk mini hidro. Namun, Irwan mengakui sampai saat ini, belum ada peraturan khusus tentang green banking yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sehingga penerapan green banking sebatas inisiatif bank sendiri.

Bank Negara Indonesia (BNI) misalnya, berusaha menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan green banking sebagai panduan internal, namun tidak dapat menerapkannya secara resmi karena ketiadaan regulasi. Wakil Direktur Utama BNI Felia Salim yang hadir pada acara yang sama, mengatakan bahwa bank hanya dapat memperingatkan para calon debitor bila bisnis mereka tidak mematuhi aturan lingkungan hidup yang berlaku. “Tetapi ,bila bisnisnya mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan memiliki kemampuan membayar yang baik, maka kami tetap mempertimbangkan kembali untuk memberikan kreditnya,”katanya.

Felia mengakui, meskipun sebuah perusahaan mendapatkan peringkat Hitam dalam Proper yang disusun KLH, tetap saja hal itu tidak bisa menjadi harga mati untuk menolak permohonan kredit mereka. “Kami juga harus mempertimbangkan parameter lain di luar lingkungan hidup,” katanya sembari melanjutkan, “Bank membutuhkan kepastian, dan itu berarti harus ada regulasi yang jelas. ”

Beberapa parameter aturan lingkungan yang umumnya dipakai analis kredit untuk menilai kelayakan penyalurannya kepada calon debitor adalah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan peringkat kinerja perusahaan di bidang lingkungan hidup atau Proper yang diterbitkan KLH. “Kadang-kadang dokumen Amdal mereka tidak bisa kita percaya, jadi sulit juga menentukan kelayakannya,”ujar Felia.

Deputi Menteri LH bidang Tata Lingkungan Imam Hendargo mengatakan, bank berwawasan lingkungan, merupakan salah satu instrumen untuk melakukan intervensi pasar, meletakkan harga pada eksternalitas dan mengubah perilaku menuju konsumsi yang berkelanjutan. Bank adalah salah satu instrumen yang sangat penting untuk mencapai ketiga tujuan itu, karena tugasnya untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat kepada semua sektor pembangunan yang mempengaruhi kualitas lingkungan hidup.

Pemerhati lingkungan hidup Candra Kirana sepakat dengan Imam, karena menurutnya bank –bank dapat melakukan “boikot” untuk membiayai bisnis yang tak ramah lingkungan, seperti yang dilakukan beberapa perusahaan multinasional yang memboikot satu perusahaan CPO karena merusak hutan tropis dan lahan gambut di Sumatera. IGG Maha Adi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.