Burung cendrawasih, mungkin sebagian masyarakat Indonesia baru mengenalnya dari ilustrasi pada uang kertas Rp 20.000 tahun 1995 atau koin Rp 50 tahun 1971. Sang model legendaris itu, yang juga tenar dengan sebutan birds of paradise (burung surga), telah sejak lama dipelajari keanekaragaman jenis dan persebarannya. Namun, belum pernah ada yang merekam dan memelajari perilakunya di alam bebas, baik peneliti dalam dan luar negeri. Sampai akhirnya, visi ambisius itu dimulai sejak delapan tahun yang lalu.

Menjadi yang Pertama Menguak Rahasia
Terbilanglah dua rekanan penjelajah, Tim Laman, seorang ornitolog Harvard, dan Edwin Scholes, seorang ahli biologi evolusi Cornell. Mereka telah melalui 8 tahun penelitian, 18 ekspedisi, 544 hari di lapangan, berdiam dalam 109 krepyak alam, menghasilkan hampir 40.000 ribu foto, untuk memberikan sedikit perspektif lebih terhadap 39 jenis burung cendrawasih. Penelitian hampir satu dekade itu menguak banyak rahasia dari perilaku-perilaku burung-burung cendrawasih yang sebelumnya masih misteri.

Burung cendrawasih telah menarik perhatian peneliti dunia sejak 100 tahun yang lalu, saat seorang naturalis Alfred Russel Wallace menemukannya di “Kepulauan Rempah” (The Spice Islands), yang kini Kepulauan Aru, pada Ekspedisi Wallacea. Penelitian kemudian terus berlanjut selama berpuluh-puluh tahun untuk memeriksa keanekaragaman jenis dan persebarannya, beberapa mengenai struktur tubuh dan anatominya, dan sedikit mengenai perilakunya. Penelitian-penelitian sebelumnya itu umumnya mengoleksi sampel burung cendrawasih dengan menembak burung tersebut, mengawetkan kulitnya dan memasukan rangka buatan ke dalamnya. Penelitian Laman dan Scholes memang memiliki tujuan utama untuk menjadi yang pertama mendokumentasikan secara terperinci perilaku alamiah ke-39 jenis cendrawasih di alam bebas.

“Terdapat banyak ekspedisi sebelumnya yang menembak mereka untuk dipajang kulitnya dalam museum, museum di Bogor, New York, London, misalnya. Dan itu penting untuk keperluan koleksi museum. Apa yang kami lakukan sekarang adalah semacam versi modern dari penelitian birds of paradise, kami fokus untuk mendokumentasikan mereka hidup-hidup di habitat liarnya melalui foto, video, dan audio dari suara kicauannya,” jelas Laman, yang sendirian karena Scholes tidak hadir, saat diwawancara Ekuatorial pada presentasi hasil penelitiannya dalam Birds of Paradise Project di @america Pacific Place, Jakarta Selatan (22/8).

Tujuan pendokumentasian pada proyek tersebut dirasa tidak muluk-muluk mengetahui latar belakang Laman yang fotografer alam National Geographic Magazine dan International League of Conservation Photographers dan Scholes yang telah lebih dari satu dekade menjadi ahli video digital, serta kurator video untuk Perpustakaan Macaulay di Cornell Lab of Ornithology. Hasil jepretan dan rekaman yang mereka ambil tak dapat disangkal selalu berhasil membuat penonton menarik nafas, menggeleng, dan berdecak kagum atas ketajamannya menunjukkan berbagai macam perilaku menakjubkan burung-burung cendrawasih dari berbagai angle.

Hasil dokumentasi Laman dan Scholes umumnya menunjukkan perilaku burung-burung cendrawasih pada ritual courtship — perilaku displaying dalam menarik perhatian pasangan, umumnya dilakukan oleh jantan dengan cara menari dan semacamnya. Burung cendrawasih mewakili contoh ekstrem dari teori Seleksi Seksual Charles Darwin: Betina memilih pasangan berdasarkan karakteristik tertentu yang menarik, sehingga meningkatkan kemungkinan sifat-sifat (menarik, red.) tersebut akan diturunkan dari generasi ke generasi. Di daratan Papua yang berlimpah makanan dan ketiadaan predator bagi cendrawasih, memungkinkan mereka berkembang dengan penampilan turunan yang sangat menarik, dalam hal ini utamanya sang jantan, untuk meng-iklan-an diri kepada betina.

Dokumentasi Laman dan Scholes mengambil banyak angle, termasuk perspektif si betina, sehingga banyak menguak rahasia ritual courtship yang selama ini menjadi pertanyaan. Misalnya pada jenis Western Parotia, sebelumnya tidak diketahui mengapa jantannya memiliki bulu tubuh berwarna hitam – tidak menarik – dan bulu leher yang berwarna kuning cerah. Walaupun sang jantan mengangkat bulu tubuhnya hingga menyerupai rok balerina pada saat menari, tapi logikanya ia hanya akan terlihat seperti lingkaran hitam bagi sang betina yang menonton dari “podium” ranting di atasnya. Lehernya yang mencolok juga tak akan ada gunanya untuk menarik perhatian karena tak terlihat dari atas. Namun begitu, video Laman dan Scholes menunjukkan bahwa dari perspektif betina, sang jantan nampak lucu dan menarik karena terlihat seperti objek terbang berwarna hitam yang terkadang mengerlipkan warna kuning karena ternyata sang jantan sesekali menaik-naikan bulu lehernya. Itu satu dari banyak perilaku menakjubkan yang berhasil mereka tangkap.

15 genus resized

Masih banyak lagi cara jantan cendrawasih untuk menarik perhatian betina. Ada jenis Black Sicklebill yang merubah bentuk mereka dengan mengangkat bulunya ke atas hingga menyerupai setengah kubah dan memayungi sang betina, “Mereka mengubah dirinya hingga tidak mirip dengan burung sama sekali,” kata Laman. Ada juga Lesser Bird-of-Paradise yang mengangkat sayapnya dengan gagah selagi hinggap untuk berpose pada betina dan Greater Bird-of-Paradise yang mengangkat sayap dan mengibaskan bulu ekornya, serta suatu jenis yang menggelengkan kepala dengan cepat sambil mengepak-ngepakkan sayap hingga terlihat pergerakan yang memancarkan kilau pirus dari bulu lehernya yang hijau-biru. Lain lagi dengan Twelve-wired Bird-of-Paradise yang memiliki 12 bulu tunggal di ekornya untuk membelai betina, King Bird-of-Paradise dengan warna mencolok dan bulu ekor yang aneh, King-of-Saxony Bird-of-Paradise dengan bulu seperti tanduk panjang di kepala yang dapat dinaikturunkan, dan suatu jenis cendrawasih yang setiap hari “rajin” membersihkan area tinggalnya dari dedaunan kering serta ranting yang jatuh untuk menarik perhatian betina akan sifatnya. Semua itu hanya beberapa contoh epik yang ditampilkan Laman dalam presentasinya, maka tak salah pernyataan pada pembukaan presentasinya, “Bagi birds of paradise, menarik perhatian pasangan adalah suatu seni pertunjukan.”

Helikopter di Habitat yang Terpencil
Famili burung cendrawasih, Paradisaeidae, memiliki 15 genera dan 39 spesies, sesuai dengan penelitian Laman dan Scholes disajikan dalam tabel berikut:

tabel spesies 2 resized

Habitat burung cendrawasih terbilang cukup terpencil dan sulit dicapai. Umumnya berada pada hutan hujan dataran tinggi pada ketinggian 5.000–11.500 m, tergantung jenisnya, hanya beberapa jenis yang ditemukan di dataran rendah, rawa, dan pulau-pulau kecil. “Mereka berada pada area yang sangat terpencil, sangat sulit dicapai,” ujar Laman. Dia mengungkapkan pada ekspedisinya terkadang dia membutuhkan perahu, helikopter, atau trekking berhari-hari.

Burung cendrawasih hanya ditemukan di Papua Indonesia, Papua Nugini, dan hanya empat yang terdapat di Australia, yaitu tiga Riflebirds dan Trumpet Manucode. Dari 39 total jenis cendrawasih, 27 jenisnya hanya ditemukan di Papua Indonesia. Di daratan Papua, cendrawasih tersebar di Kepulauan Halmahera, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Manokwari, Pulau Yapen di Kabupaten Teluk Cendrawasih, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Kepulauan Aru.

“Jenis yang paling sulit untuk ditemukan adalah Bronze Parotia, yang ditemukan di Papua, di pegunungan, karena range distribusinya paling sempit. Mereka hanya ditemukan di daerah Mamberamo, Papua bagian utara. Dan itu daerah yang sangat terpencil, tidak ada penduduk di sekitarnya, penduduk hanya ada di kaki-kaki gunung. Dan satu-satunya cara kami kesana adalah menggunakan helikopter. Burung itu hanya ditemukan di puncak beberapa pegunungan tinggi, itu sangat susah diakses,” jelas Laman saat ditanya jenis cendrawasih apa yang paling sulit ditemukan.

Masalahnya Bukan Perburuan Liar
Dahulu, pada masa sebelum Wallace, suku adat telah berburu burung cendrawasih untuk diambil bulunya yang indah untuk hiasan. Mereka memotong bagian sayap dan kakinya untuk mempermudah pengumpulan bulu, kemudian menyisihkan bagian tubuhnya. Sampai akhirnya spesimen tubuh burung Greater Bird-of-Paradise (Paradisaea apoda) tersebut dibawa ke Eropa sebagai prototipe identifikasi burung spesies baru oleh anggota ekspedisi dagang di Papua. Mereka heran dengan ketiadaan kaki dan sayap burung tersebut, ‘mungkinkah burung ini selalu melayang karena bulu-bulunya dan tak pernah mendarat karena tak punya kaki, seperti berada di surga.’ Sejak itu disebutlah burung tersebut birds of paradise. Dan apoda dalam bahasa latin artinya tidak berkaki.

Telah diketahui sejak lama bahwa bulu cendrawasih yang indah pernah menjadi bahan perburuan, baik untuk pakaian adat Papua, maupun diekspor ke luar negeri, bulu beserta kulitnya untuk dijadikan patung. Suku adat Papua menggunakannya sebagai hiasan kepala, hiasan hidung, dan hiasan pakaian. Beberapa percaya penggunaan hiasan bulu cendrawasih pada suku adat adalah simbol ritual sakral, sebagian percaya itu simbol gengsi pejuang atau pemimpin, dan sebagian percaya itu simbol perayaan dan kegembiraan. Perburuan marak pada akhir abad ke 19 dan awal abad 20, dimana bulu itu mulai terkenal dan sangat diminati untuk dibuat topi wanita di Eropa. Perburuan itu menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis dan kerusakan habitatnya. Wacana konservasi kemudian muncul dari luar negeri Hindia Belanda dan menekan pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu seorang entomolog amatir M.C. Piepers mengusulkan tindakan perlindungan burung cendrawasih. Tekanan yang makin keras tersebut akhirnya melahirkan undang-undang Perlindungan Mamalia Liar dan Burung Liar yang dikeluarkan pada 1910.

Peraturan perlindungan cendrawasih kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar tahun 1931. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan UU No.5 tahun 1990 mengenai Konservasi SDA dan Ekosistemnya dan seluruh jenis burung cendrawasih masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi dalam PP No.7 tahun 1999 (lampiran). Perburuan hanya diperbolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat.

Saat ditanya apa ancaman burung cendrawasih yang paling utama, Laman pun menjawab, “Permasalahan terpenting saat ini bukanlah perburuan, melainkan berkurangnya hutan (sebagai habitatnya, red.). Itu adalah tantangan yang paling besar saat ini.” Laman juga berkata, “Beberapa jenis burung hanya hidup di tiga pulau kecil di Raja Ampat, dimana sekarang terdapat banyak pembangunan yang sangat cepat disana. Jika mereka tidak menggarap rencana pembangunan dengan sangat hati-hati, maka habitat dari jenis tersebut, yang hanya ditemukan di tiga pulau itu, dapat rusak dengan mudah.”

Terhadap berkurangnya habitat cendrawasih, data Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau BKSDA Papua tahun 2012 juga mendukung kekhawatiran Laman. Data tersebut menunjukkan penurunan populasi sebesar 80% pada tiap satu meter persegi pada suatu lokasi di Papua. Dan penurunan populasi cendrawasih itu antara lain utamanya karena pemekaran kabupaten baru, pembangunan akses jalan, pemukiman penduduk, dan pembalakan hutan.

Sejalan dengan data tersebut, Laman mengatakan bahwa populasi burung cendrawasih telah mendekati penurunan populasi. Namun begitu, Laman merasa populasi cendrawasih secara keseluruhan masih ada dalam kondisi yang bagus, tidak dalam kategori terancam punah. Umumnya burung cendrawasih berstatus least concern atau berisiko rendah dalam Daftar Merah IUCN, namun tujuh spesies berstatus hampir terancam atau near threatened (Ribbon-tailed Astrapia, Wilson’s Bird-of-Paradise, Long-tailed Paradigalla, Pale-billed Sicklebill, Goldie’s Bird-of Paradise, Emperor Bird-of-Paradise, Red Bird-of-Paradise) dan terdapat tiga spesies yang berstatus rentan atau vulnerable (Wahnes’s Parotia, Blue Bird-of-Paradise, Black Sicklebill). Laman juga mengungkapkan bahwa perburuan cendrawasih terbatas pada sedikit spesies, seperti Greater dan Lesser Bird-of-Paradise.

Namun begitu, nampaknya perburuan masih perlu menjadi perhatian, semenjak masih berjalannya perjualbelian bulu cendrawasih secara liar. Perburuan dilakukan bukan hanya untuk perayaan adat saja. Sepertinya belum seluruh masyarakat Papua paham dan menghormati burung cendrawasih yang justru menjadi ikon daratannya. Misalnya, BKSDA Papua mengatakan bahwa dalam penelusurannya pada 2012 di Bonggo, Kabupaten Sarmi, ditemukan oknum anggota TNI memelihara puluhan ekor cenderawasih dalam sebuah kandang. Pemburu, penadah, dan penjual cenderawasih di Papua bervariasi, mulai dari individu yang berjualan di jalanan pedesaan dan kecamatan terpencil sampai penjualan di pasar-pasar tradisional.

Laman juga mengatakan,”Saya pernah mendengar harga bulu cendrawasih Rp 200.000, itu murah kan. Anda masih dapat melihat perdagangannya di Aru dan Jayapura. Tapi saya rasa itu bukanlah penghasilan utama mereka, ini seperti penghasilan sampingan di saat mereka memiliki kesempatan.”

Tidak heran mengapa beberapa komunitas di Papua, bahkan sejak 2012, menuntut Pemda mengatur perlindungan cendrawasih karena menganggap peraturan pemerintah pusat masih belum cukup. Seperti yang dilaporkan tabloidjubi.com (5/11/12), ketua Papua Tour Guides Community, Andre Liem mengatakan, “Menurut saya, harus ada Perda untuk melindungi burung ini. Karena, hanya ada di Papua dan unik. Hal penting yang perlu dipahami burung ini dilindungi.”

Setuju Ekowisata Cendrawasih
Di akhir wawancara, Laman mengungkapkan harapannya ke depan terkait burung cendrawasih. “Mereka potensial untuk menjadi simbol kharismatik, spesies flightship, spesies kunci, spesies yang membuat orang merasa terkait dan memiliki. Hingga mereka mengatakan, ‘ya kami ingin menjaga habitat burung ini’ dan yang lain memikirkan rencananya. Jadi sangatlah penting untuk memiliki spesies ini, yang dapat membuat orang-orang merasa terkait, karena mereka sangat indah,” katanya.

Tim Laman saat diwawancara rekan media di @america (22/8). Foto: Ratih Rimayanti
Tim Laman saat diwawancara rekan media di @america (22/8). Foto: Ratih Rimayanti

Laman juga tak khawatir pada ide pariwisata, ia justru merasa itu adalah hal yang baik untuk membuat orang lebih mengenal dan lebih peduli terhadap cendrawasih. “Ini bukan soal pariwisata yang dapat membahayakan birds of paradise, saya tidak berpikir begitu, sama sekali tidak. Saya tidak khawatir mengenai itu. Karena jika orang-orang pergi melihat burung di hutan, tidak akan terlalu mengganggu burung itu. Hal itu adalah hal yang baik, dan sudah terdapat beberapa lokasi di Papua yang penduduknya membangun rumah tamu yang kecil dan mengajak turis untuk datang, mereka juga akan membawa turis untuk melihat burung itu, mereka tahu dimana burung itu biasa hinggap di pohon. Hal ini semacam pariwisata skala kecil, dan saya kira tidak akan memberikan dampak negatif terhadap burung sama sekali, justru akan memberikan tambahan masukan bagi penduduk setempat dibandingkan dengan menjual hutan mereka, kau tahu,” jelas Laman panjang lebar. Ratih Rimayanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.