Ibu Bom-bom, Bapak Jowo, Yani, dan Yudi adalah anggota keluarga yang dilepasliarkan di Gunung Puntang, Bandung, Jawa Barat (27/3). Merekalah keluarga Owa Jawa (Hylobates moloch), primata endemik Pulau Jawa yang kini berstatus genting (endangered species) dalam Daftar Merah IUCN, artinya memiliki tingkat ancaman kepunahan yang tinggi.
Satu keluarga tersebut dilepasliarkan pada aksi konservasi yang digelar oleh Yayasan Owa Jawa (YOJ) bekerjasama dengan PERHUTANI. Kegiatan ini merupakan kali kedua YOJ setelah tahun 2013 lalu berhasil melepasliarkan satu pasang Owa Jawa di lokasi yang sama.
Noviar Andayani selaku ketua YOJ mengatakan bahwa Owa Jawa merupakan satwa yang terancam oleh aktivitas manusia sehingga kelimpahannya di alam kian hari kian menipis. “Dulu Owa Jawa pernah mendiami wilayah Gunung Puntang ini, namun sekarang di sini sudah punah. Oleh karena itu, kami ingin berupaya mengembalikan satwa liar ini di habitat aslinya,” ungkapnya.
Owa Jawa dapat ditemukan di Jawa Barat meliputi Taman Nasional Ujung kulon, Gunung Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango, Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweung Sancang, dan di wilayah Jawa Tengah yaitu Gunung Selamet dan Pegunungan Dieng.
Owa Jawa, yang hidupnya di atas kanopi pepohonan atau disebut arboreal, memiliki rambut tubuh abu-abu sampai keperakan, rambut wajah yang putih, dan tidak memiliki ekor. Dia bergerak dengan bergelayutan dari pohon ke pohon atau disebut brachiasi. Hewan pemakan buah, daun, bunga dan serangga ini, memiliki usia maksimal 35 tahun dan hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari ibu, bapak, dan 1-4 anak.
Primata dari famili Hylobatidae ini dilindungi oleh pemerintah Indonesia sejak 1924 dan diperkuat melalui UU No. 5 tahun 1990 mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999 tentang pengawetan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Berdasarkan data sensus terakhir pada tahun 2010 diketahui bahwa populasi Owa Jawa di alam berkisar antara 2.140 sampai 5.310 indvidu. Jumlah ini terus berkurang tiap tahunnya akibat aktivitas perusakan hutan dan perburuan liar. Sedikitnya populasi Owa Jawa juga dipicu karena hewan ini bersifat monogami dan hanya melahirkan satu bayi tiap 3 tahun. Karakternya yang loyal membuatnya semakin terancam karena jika satu anggota keluarga mati diburu, anggota keluarga lainnya tidak dapat hidup lama karena stres.
“Ini merupakan tahapan yang sangat panjang, mulai dari penyitaan Owa Jawa, karantina, rehabilitasi, survei kelayakan habitat, hingga satwa ini siap untuk dilepasliarkan,” ujar Anton Ario salah satu pengurus YOJ. “Bom-bom, Owa Jawa betina ketika direhabilitasi di YOJ ditemukan peluru yang bersarang di bagian perutnya. Hal ini menunjukkan bahwa perburuan Owa Jawa memang terjadi,” lanjutnya.
Di dalam acara juga dilakukan penandatangan MoU antara Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Dedi Kusnadi dan Direktur Pehutani Bambang Sukmananto. Dedi menjabarkan isi MoU tersebut bahwa TNI ke depannya akan melakukan upaya pelestarian dengan cara tidak merusak hutan dan satwa liar dalam kegiatan-kegiatan TNI di alam. Mereka juga mendukung instansi-instansi terkait konservasi satwa liar dan membentuk tim untuk melakukan patroli dan pemantauan rutin. Selain itu, Perhutani dalam acara tersebut melantik Gibbon Patrol Unit yang akan melakukan patroli dan pengawasan rutin di wilayah ini. Januar Hakam