Dalam beberapa dekade terakhir, Asia Tenggara merupakan kawasan yang terus berupaya memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan. Namun untuk meningkatkan ketahanan pangan, ekspansi pertanian dengan mengorbankan hutan dan keanekaragaman hayati terus terjadi.

Dietrich Schmidt – Vogt peneliti senior World Agroforestry Centre dalam salah satu acara diskusi Forests Asia Summit di Jakarta (5/5) menjelaskan tentang perubahan sistem perladangan bergilir menjadi perkebunan monokultur di Asia Tenggara khususnya di Greater Mekong. “Dulu masyarakat Asia Tenggara menerapkan perladangan bergilir. Namun kini terjadi penurunan dan berganti tren menjadi monokultur,” ujarnya.

Dietrich Schmidt-Vogh Saat Presentasi di Acara Forest Asia Summit 2014 (5/5). Foto: Januar Hakam.
Dietrich Schmidt-Vogh Saat Presentasi di Acara Forest Asia Summit 2014 (5/5). Foto: Januar Hakam.

Vogt menjelaskan bahwa pembukaan lahan dengan menebang dan membakar oleh masyarakat tradisional dalam perladangan bergilir memang terlihat buruk. Namun kondisi tersebut justru membuat keseimbangan yang dinamis yang dapat menjaga dan bahkan meningkatkan tutupan hutan. ”Hal itu karena setelah proses penanaman selesai, masyarakat membiarkan lahan selama satu dekade untuk membiarkan hutan beregenerasi kembali. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi dan biodiversitas dapat dikembangkan bersamaan,” ujarnya.

Selanjutnya Vogt memberi contoh daerah-daerah yang menerapkan sistem monokultur. ”Kini provinsi Son La di Vietnam sekarang didominasi oleh jagung, di Thailand didominasi oleh kubis, serta di Xishuangbanna di provinsi Yunnan China berubah dari memproduksi tanaman pangan dengan perkebunan karet.”

Menurutnya sistem monokultur memang berdampak positif terhadap perekonomian namun disisi lain mengancam biodiversitas dan ekosistem. Selain itu sistem monokultur menurutnya memiliki banyak dampak negatif seperti diantaranya penurunan keanekaragaman hayati dan lebih mudah terkena hama. Bahkan disisi lain kontribusi sistem monokultur terhadap ketahanan pangan semakin kecil.

Di acara yang sama Xie Chen dari Administrasi Kehutanan Negara Republik Rakyat China mengulas tentang program pemerintah Cina dalam menghijaukan kembali/reforestasi lahan pertanian dan perkebunan. Kebijakan Conversion of Cropland to Forest Program (CCFP) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1999 ini diklaim telah berhasil mereforestasi 27,55 juta Ha.

“CCFP merupakan salah satu program terbesar yang tersebar luas di daerah pedesaan di China untuk mengembalikan wilayah hutan akibat deforestasi untuk menyeimbangkan antara pertanian dan kehutanan,” ujarnya.

Hingga tahun 2013 lalu pemerintah Cina tercatat telah menggelontorkan lebih dari 42 miliar USD kepada 32 juta masyarakat pedesaan untuk mengkonversi lahan pada 25 provinsi. Hal ini menjadikan program CCFP menjadi program reforestasi terbesar di dunia dengan nilai insentif yang juga terbesar di dunia. Selanjutnya ada sekitar 27 juta Ha lahan yang terdiri dari lahan pertanian dan hutan mandul juga akan dihijaukan.

Menurut Chen CCFP pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan tutupan hutan pada lahan miring untuk pencegahan bencara banjir dan longsor. Akan tetapi program CCFP yang dijalankan ternyata memberi dampak negatif terhadap ketahanan pangan dan hilangnya mata pencaharian petani-petani di China. Oleh karena itu program tersebut kemudian diperbarui dengan sistem penanaman tumpang sari sehingga produksi tanaman pertanian dan tanaman pohon berjalan seiringan.

“CCFP mampu meningkatkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan dengan menyediakan kebutuhan dasar mereka,” ujar Chen. Selain itu dampak dari penerapan CCFP yaitu meningkatnya suplai buah-buahan dan juga hasil hutan bukan kayu dari lahan CCFP, menurunnya lahan pertanian di areal hutan, intensifikasi hasil produksi pertanian, dan meningkatnya hasil produksi per unit area. CCFP juga disebut mampu melawan ancaman dampak deforestasi dan degradasi hutan di China.

Chen menjelaskan bahwa kebijakan CCFP yang sudah dilakukan di Cina menggambarkan bahwa negara berkembang seperti Indonesia juga bisa menyeimbangkan penggunaan lahan untuk kehutanan dan pertanian sekaligus. Dengan program tersebut pembangunan ekonomi pedesaan, ketahanan pangan dan pelestarian hutan alam dapat dilakukan secara bersamaan. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.