Eksploitasi kayu dari keluarga (familia) Dipterokarpa yang bernilai ekonomis tinggi, telah puluhan tahun terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), untuk kayu Meranti (Shorea spp.) menunjukkan, setidaknya terjadi kenaikan rata-rata produksi 14% per tahun untuk memenuhi kebutuhan pasar seperti konstruksi dan bahan baku industri. Kebutuhan ini semakin mengancam jumlahnya yang tersisa di alam.

Untuk mengatasi kelangkaan Dipterokarpa, Balai Litbang Kemenhut bekerjasama dengan Komatsu, perusahaan asal Jepang, melakukan berbagai penelitian dan rekayasa teknologi untuk membiakkan Dipterokarpa. “Penelitian sudah dimulai sejak tahun 1993 silam. Teknik awal yang dikembangkan berupa kultur jaringan, namun ternyata tidak feasible dengan Meranti. Setelah riset lebih lanjut, pada tahun keempat akhirnya kami berhasil menemukan teknologi perbanyakan vegetatif dengan pucuk stek,” kisah Atok Subiakto, Peneliti Silvikultur Pusat Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan saat dihubungi Ekuatorial, Selasa (2/7).

Atok optimistis dengan teknologi yang kemudian dinamai dengan KOFFCO (Komatsu Forda Fog Cooling System) ini. Ia mengatakan, teknologi ini bisa mengatasi masalah pada masa pembibitan konvensional yang menggunakan biji tidak bisa dilakukan akibat ketidakteraturan musim pembungaan dan masa simpan benih yang singkat.

Jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan benih unggul ini juga relatif sama dengan cara konvensional. Atok menambahkan, hasil di lapangan menunjukkan pertumbuhan Meranti hasil teknologi ini hampir sama dengan pertumbuhan bibit alam. “Rata-rata menghasilkan riap (pertumbuhan dimensi pohon) 1,6 m2/tahun, harapan kami ke depan bisa mencapai 2 m2/tahun,” tegasnya.

Menanggapi capaian ini, Kepala Badan Litbang Kehutanan San Afri Awang mengungkapkan rasa bangganya ketika melakukan tinjauan lapangan ke Hutan Penelitian Gunung Dahu, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu silam. “Lebih dari 1,6 m2/tahun untuk Dipterokarpa tergolong tinggi dibanding perkembangan di hutan alam, dan Perum Perhutani yang hanya mencapai rata-rata 1 m2/tahun. Itulah yang kita bilang loncatan teknologi,” ucapnya.

Lewat berbagai pengembangan, saat ini KOFFCO juga bisa dimanfaatkan untuk membiakkan jenis kayu bernilai ekonomis tinggi lain, seperti Jabon (Anthocephalus macrophyllus), Ramin (Gonystylus bancanus), Nyawai (Ficus variegata), dan Rasamala (Altingia excelsa).

Ditanya mengenai biaya pembibitan, Atok menerangkan bahwa KOFFCO membutuhkan biaya Rp 2.200,- per batang, atau lebih tinggi 700 rupiah dibanding pembibitan biasa. Selain di hutan penelitian Gunung Dahu seluas 250 hektar, metode ini telah diterapkan di beberapa daerah seperti Kaltim, Kalsel dan Riau. Beberapa perusahaan juga sudah mengadopsinya, antara lain di area operasi PT Sarpatin dan PT Sari Bumi Kusuma yang berada di Kalimantan Tengah. Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.