Gubernur dan sejumlah menteri duduk rapi di auditorium Gedung Kartika Expo Centre (Balai Kartini) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Senin, 15 September 2014 mereka hadir dalam acara bertajuk ‘Rapat Pembekalan Instrumen Tata-kelola Keuangan serta Inisiatif Perbaikan Tata-kelola Hutan dan Lahan Menuju Pembangunan Berkelanjutan dan Berkeadilan.’

Rapat selama dua hari ini diadakan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP-REDD+). Pembukaan rapat dilakukan Wakil Presiden Boediono dan pembekalan disampaikan Kepala UKP4, Menteri Dalam Negeri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Pengelola REDD+, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional dan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG). (Baca: Uji Coba di Barito Selatan

Sejumlah agenda menjadi pokok bahasan rapat, yaitu satu informasi perizinan, pengakuan dan pembuktian hak pihak ketiga (PPH) dan penetapan batas wilayah administrasi. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto menjelaskan ketidakpastian batas wilayah mengakibatkan inefisiensi alokasi anggaran yang didasarkan atas luasan wilayah. “Belum lagi munculnya kawasan kantong wilayah tidak bertuan yang menjadi ajang spekulasi sebagian masyarakat kita maupun negara tetangga,” katanya.

Screen Shot 2014-09-15 at 7.20.36 PM

Menurut Kuntoro, kondisi tersebut menyulitkan percepatan penerbitan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merupakan instrumen kunci dalam pengendalian pembangunan dan pemanfaatan sumber daya. Oleh karena itu, Kabinet Indonesia Bersatu II yang sebulan lagi menyelesaikan tugasnya, mendorong percepatan proses tersebut.

Rapat Pembekalan ini merupakan rencana aksi dari Nota Kesepakatan Bersama (NKB) antara 12 kementerian dan lembaga tentang Program Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan (PPH). Kesepakatan itu ditandatangani pada 11 Maret 2013 di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejumlah aktivis menyebutnya sebagai “Supersemar Kehutanan”, karena memang berupaya membenahi tata kelola kehutanan yang tidak transparan dan semrawut. NKB itu sendiri lahir di bawah supervisi KPK dan UKP4, sedangkan 12 kementrian dan lembaga lainnya adalah dalam negeri, hukum dan HAM, keuangan, energi dan sumber daya mineral, kehutanan, pertanian, lingkungan hidup, pekerjaan umum, Bappenas, BPN, BIG dan Komnas HAM.

KPK memang membuat kajian dan rekomendasi tentang potensi korupsi di sektor kehutanan. Dari 17 celah, beberapa diantaranya berkaitan erat dengan kawasan hutan yang belum definitif. Kawasan hutan yang belum ditetapkan ini membuka peluang maraknya korupsi dan konflik di lapangan. Berapa luasannya ? Dari total kawasan hutan Indonesia 122.404.872,67 hektare (ha), baru 13,8 juta ha (11,2%) wilayah hutan yang statusnya jelas, sementara sebagian besar lainnya remang-remang.

Oleh karena itu, di lapangan, kita banyak menemukan dalam satu kawasan ada beberapa perusahaan yang mengklaim memiliki izin di atasnya. Ada yang merujuk pada izin yang dikeluarkan pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Sering kali aneka izin itu merambah permukiman warga atau hutan yang menjadi lahan penghidupan masyarakat. Walhasil, konflik warga dengan perusahaan yang mendapat izin konsesi sering terjadi, yang membawa korban di pihak masyarakat.

Mengapa sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pemerintah begitu lama menetapkan kawasan hutan? “Ini terkait dengan politik ekonomi pemerintah, sehingga ada kecenderungan mereka menghindari,” kata Direktur Eksekutif Epistema Institute, Myrna A. Safitri dalam diskusi yang diadakan Yayasan Perspektif Baru di Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2014.

Myrna menyebutkan dua bukti. Pertama, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 291/Kpts/Um/5/1970 yang menyatakan bahwa area konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, tanpa harus melewati proses dipersyaratkan dalam pengukuhan kawasan hutan.

Kedua, tata guna hutan kesepakatan yang dibuat pada 1980-an. Beleid ini menghasilkan penunjukan kawasan hutan indikatif atas dasar konsensus, namun tidak langsung diikuti penataan batas.


Pemerintah tidak melakukan pemeriksaan ke lapangan sehingga penunjukan kawasan itu tumpang-tindih dengan wilayah milik masyarakat yang berujung pada konflik. “Ada hubungan antara tingginya konflik dan rendahnya capaian penetapan kawasan hutan,” katanya. Menurut Myrna, kita seharusnya malu dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang pada 1928 membuat peta marga se-Karesidenan Lampung.

Direktur Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, Muhammad Said, mengakui kelemahan yang ada di pihak pemerintah. “Faktor lainnya, sering kali penetapan kawasan hutan terbentur perubahan tata ruang di daerah,” kata Said yang juga menjadi pembicara dalam diskusi Yayasan Perspektif Baru. Misalnya Kota Palangkaraya, yang wilayah sebenarnya berada di lahan hutan produksi.

Muhammad Said menjelaskan, luas kawasan hutan yang 122 juta ha itu memiliki panjang batas 282.323 km. Selama ini, realisasi tata batas mencapai 219.206 km (77,6 persen), sementara luas penetapannya baru 13.819.510 ha (11,29 persen).

Melalui Program PPH ini, ditargetkan sampai akhir Desember 2014 penyelesaian tata batas dan penetapan kawasan hutan yang selesai seluas 83.312.731,18 ha atau 68 persen dari kawasan hutan. Kementerian Kehutanan berjanji akan menuntaskan semuanya atau 100 persen pada akhir tahun depan.

Ketika membuka Rapat Pembekalan, Senin, 15 September 2014, Wakil Presiden Boediono mengingatkan kepala daerah bahwa masalah penyerapan anggaran tidak hanya urusan teknis, tapi ada masalah sosial dan politik sehingga ada ketidakcocokan antara apa yang disampaikan di atas kertas dan apa yang terealisasi di lapangan. “Kita perlu inisiatif konkrit yang dapat diterapkan di lapangan, misalnya seperti inisiatif usulan mekanisme PPH,” katanya.

Sayangnya, rencana aksi ini baru dikebut ketika Kabinet Indonesia Bersatu II tinggal sebulan lagi masa baktinya. Tim Ekuatorial

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.