Jakarta, Ekuatorial – Beberapa hal yang menjadi permasalahan serta masukan, saran, dan kritik dalam pengembangan dan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi – EBTKE terungkap pada panel Indonesia EBTKE Conex 2013 Conference & Exhibition dengan tema Road To Energy Security and People’s Welfare yang berlangsung di Jakarta International Convention Centre – JICC, Rabu hingga Jum’at (21/8 – 23/8) diprakarsai oleh Direktorat Jenderal – Dirjen EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral – ESDM bersama dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia – METI.

Saat ini, Sebesar 26 persen pemenuhan energi nasional masih berbasiskan fosil atau minyak bumi. Dimana, produksi minyak bumi kita dari tahun ke tahun semakin merosot. Berdasarkan data pada 2012, produksi minyak bumi Indonesia sebanyak 314.666.000 barel turun dibandingkan pada 2011 yang sebanyak 329.249.000 barel. Angka ini lebih kecil dibandingkan pada 2010 yang sebanyak 344.888.000 barel. Artinya adalah, tidak ada lagi penemuan untuk ladang sumur baru atau eksplorasi. Sebagai catatan investasi pada minyak bumi membutuhkan modal besar juga resiko yang besar dimana, resiko tidak diketemukan sumber ladang minyak baru cukup besar yang mengakibatkan modal yang ditanam juga beresiko untuk hilang.

Sementara, cadangan minyak bumi kita berdasarkan data pada 2012 sebanyak 7,4 miliar barel lebih kecil dibandingkan pada 2011 yang sebanyak 7,73 miliar barel dan masih lebih kecil dibandingkan pada 2010 yang sebanyak 7,76 miliar barel. Artinya adalah, bahwa energi berbasis fosil semakin lama akan habis masa penggunaannya dan tidak dapat diperbaharui lagi.

Lebih jauh, Indonesia sekarang ini sudah menjadi net importir minyak mentah dan produk turunannya. Dari sisi konsumsi menunjukkan, bahwa konsumsi energi Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Konsumsi energi jenis BBM merupakan konsumsi energi paling tinggi yang diikuti lainnya, seperti gas, batu bara dan lainnya.

Berdasarkan data, konsumsi energi BBM pada 2011 mencapai sebanyak 394.052.000 SBM – Setara Barel Minyak lebih tinggi dibandingkan pada 2010 yang sebanyak 388.241 SBM dan pada 2009 yang hanya sebanyak 379.142 SBM.

Sementara, produksi BBM dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan. Berdasarkan data produksi BBM pada 2011 sebanyak 238.957.000 barel turun dibandingkan pada 2010 sebanyak 241.156.000 barel dan pada 2009 yang sebanyak 246.289.000 barel. Artinya adalah telah terjadi defisit BBM yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor BBM ini.

Berdasarkan data, impor BBM Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2011 impor BBM mencapai sebanyak 27.366.000 Kl – kilo liter naik dibandingkan pada 2010 sebanyak 26.017.000 kl dan pada 2009 yang hanya sebanyak 22.157.000 kl.

Pengamat Ekonomi Faizal Basri mengatakan, saat ini Indonesia telah mengalami defisit Migas sehingga menjadi importir BBM. Dimana, BBM merupakan komoditi terbesar dari impor negara Indonesia sejak 2011 lalu. Minyak dan gas bumi telah menyedot 22,2% dari total impor. Selanjutnya, pada 2011 minyak mentah juga sudah defisit. ”Defisit Migas ini menjadikan Indonesia sempurna defisitnya karena sangat-sangat defisit, ” ujarnya.

Lalu, ditambah dengan nilai tukar rupiah terhadap kurs dolar sekarang ini, maka ongkosnya akan menjadi sangat mahal sekali. Lebih jauh, devisa negara Indonesia sudah melorot jauh sekali, turun sebesar US$ 32 miliar dibandingkan pada Agustus 2011 yang sebesar US$ 124 miliar sekarang ini hanya tinggal US$ 92 miliar.

Menyadari hal tersebut (kebergantungan yang besar pada minyak bumi/BBM) juga menipisnya energi fosil yang nota bene merupakan ancaman bagi perekonomian Indonesia. Dimana, Pemerintah mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk BBM ini sebagai akibat dari minyak bumi yang dihasilkan tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan di dalam negeri. Apalagi, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh di atas 6 persen yang mengakibatkan konsumsi energi ikut naik. Sebagai catatan, konsumsi energi menurut sektor pengguna energi terdiri atas, sektor industri, rumah tangga, transportasi, pertanian dan lainnya.

Oleh  karena itu, upaya pengembangan energi alternatif yang bersifat renewable energy perlu terus dilakukan dan dipercepat akselerasinya agar target porsi EBT yang akan dicapai dalam bauran energi nasional dapat terwujud. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi penyangga pasokan energi nasional. Tidak mudah memang namun, membutuhkan komitmen yang kuat serta dukungan dari berbagai pihak, baik Pemerintah, pengusaha juga masyarakat agar tujuan dan cita-cita besar ini segera terwujud.

Jalan itu masih panjang

Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, seperti panas bumi. Berdasarkan data dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2011,  potensi energi panas bumi merupakan terbesar di dunia sekitar 29.177 Mwe dengan cadangan terbukti sebanyak 2.288 Mwe dan cadangan terduga mencapai 12.756 Mwe dan tersebar di 256 lokasi di Indonesia.

Energi panas bumi digunakan sebagai pembangkit listrik panas bumi – PLTP. Namun, sumber daya yang dimiliki dengan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih sangat rendah, Berdasarkan data pada 2011, yakni hanya 1.226 MW.

Kapasitas terpasang panas bumi itu meliputi wilayah Jawa dan luar Jawa. Di wilayah Jawa PLTP itu, seperti PLTP Kamojang dengan kapasitas terpasang sebesar 200 MW, PLTP Salak dengan kapasitas terpasang sebesar 377 MW, PLTP Darajat dengan kapasitas terpasang sebesar 270 MW, PLTP Wayang Windu dengan kapasitas terpasang sebesar 227 MW, dan PLTP Dieng dengan kapasitas terpasang sebesar 60 MW.

Sementara, kapasitas terpasang panas bumi yang berada di luar Jawa, adalah PLTP Lahendong dengan kapasitas terpasang sebesar 80 MW dan PLTP Sibayak dengan kapasitas terpasang sebesar 12 MW. Sedangkan, produksi tenaga uap yang dihasilkan dari tenaga panas bumi tersebut pada 2011 (Juni) adalah, Kamojang dengan produksi uap sebesar 6.487.000 ton uap, Salak dengan produksi uap sebesar 12.138.000 ton uap, Darajat dengan produksi uap sebesar 6.928.000 ton uap, Wayang Windu dengan produksi uap sebesar 6.695.000 ton uap dan Dieng tidak menghasilkan karena sedang mengalami kerusakan.

Selanjutnya, potensi energi air (skala besar di atas 10 MW) yang ada dan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali/NTB/NTT, Maluku, dan Papua mencapai sebesar 75.000 MW. Sedangkan, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga air baru mencapai sekitar 5.711,29 MW, masih jauh dari sumber daya yang dimiliki. Selain itu, untuk skala kecil/mini/micro hidro  di bawah 10 W, potensinya mencapai sebesar 450 MW.

Lalu, ada energi Matahari/Surya yang ketersediannya paling universal karena dapat dijumpai di seluruh permukaan bumi. Melalui penerapan teknologi, energi surya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik dan panas. Berdasarkan pemanfaatannya, energi surya untuk penyediaan tenaga listrik adalah, penyediaan listrik individual rumah – Solar Home System, PLTS hybrid – Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Potensi energi surya sebesar 4.80 KWh/m2/hari, sementara kapasitas pembangkit yang terpasang sebesar 8.00 MW, berupa solar home system – SHS untuk penyediaan listrik di pedesaan. Masih rendahnya pemanfaatan energi surya karena peralatan panel surya  memang mahal.

Berikutnya adalah energi angin/Bayu dimana, pemanfaatannya juga untuk listrik. Namun, perkembangannya sangat lamban selain peralatan turbinnya yang mahal juga karakteristik angin yang berubah-ubah serta wilayah atau tempat ikut menentukan besaran angin. Sumber Daya energi angin di suatu lokasi ditentukan oleh besarnya rata-rata kecepatan angin daya yang dapat dibangkitkan energi angin merupakan kelipatan pangkat tiga – kubik dari kecepatan angin. Energi angin dapat dikategorikan mulai dari klas 1 – kecepatan angin kurang dari 3 meter/detik pada ketinggian 10 meter hingga klas 7 – kecepatan angin lebih dari 7 m/detik pada ketinggian 10 m. Sumber Daya energi angin di Indonesia berkisar antara 2,5 – 5,5 m/detik pada ketinggian 24 meter di atas permukaan tanah. Oleh karena itu energi angin di Indonesia masuk dalam kategori kecepatan angin rendah hingga menengah.

Sementara, potensi angin secara keseluruhan mencapai 9.290 MW. Wilayah yang memiliki potensi angin cukup besar adalah Nusa Tenggara, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Pemanfaatannya untuk pembangkit listrik masih terbatas pada pilot projects dengan kapasitas terpasang sekitar 500 kW. Sehingga, sulit memang energi angin dikembangkan di Indonesia karena masuk dalam kategori kecepatan angin rendah hingga menengah. Namun, ke depan dengan teknologi yang semakin maju hal itu menjadi mungkin.

Selanjutnya, Biomassa merupakan salah satu energi yang dapat dimanfaatkan, baik untuk memasak juga untuk pembangkit listrik. Sumber-sumber biomassa berasal dari limbah pertanian, limbah perkotaan, dan limbah industri BBN – Bahan Bakar Nabati. Berdasarkan data pada 2004 potensi biomassa untuk pembangkit listrik mencapai sebesar 49,81 GW. Sementara, kapasitas terpasang mencapai sebesar 445 MW, masih jauh karena memang terkendala pasokan dari biomassa itu sendiri.

Saat ini, porsi EBT dalam bauran energi nasional baru sekitar 5 – 6 persen sisanya adalah minyak bumi, batu bara dan gas yang merupakan energi fosil. Dari sisi pasokan, energi Indonesia pada masa mendatang masih akan didominasi oleh batu bara diikuti minyak bumi dan gas bumi. Meski pangsa EBT juga berkembang cukup pesat. Pada skenario mitigasi dimana, aspek lingkungan juga diikut sertakan bauran pasokan energi pada 2030 adalah batu bara 29,5%, gas bumi 31,4%, minyak bumi 24,6%, dan sisanya sebesar 14,5% adalah EBT. Dimaa, jenis EBT yang itu adalah BBN 5,8%, tenaga air 2,9%, panas bumi 3,5%, dan biomasa non rumah tangga 2,9%

Direktur Jenderal – Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, penggunaan atau pemanfaatan EBT harus diprioritaskan dan ditingkatkan sesuai dengan amanah Undang –Undang Nomor 30 tahun 2007. ”Urusan EBTKE bukan berasal dari satu sektor melainkan melibatkan dari beberapa sektor atau multi faktor,” katanya.

Sementara, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan saat ini 11 (sebelas) persen energi listrik yang digunakan berasal renewable energy. Dimana, 6 (enam) persen berasal dari air dan 5 (lima) persen dari panas bumi. Saat ini, kapasitas Geothermal atau panas bumi hanya 1.300 MW namun, pembangkit listrik tenaga panas bumi ini renewable energynya sangat rendah.Outputnya tidak berkurang, tidak terpengaruh oleh musim hujan dan musim kemarau. ”konstan dan pembangkit yang handal, seperti Kamojang,” ujarnya.

Potensi selanjutnya adalah biofuel baik yang padat maupun yang cair. Bio electricity pengembangannya telah banyak di Indonesia dengan ukuran di atas 10 MW dengan memanfaatkan limbah dari perkebunan kelapa sawit. Kendala utamanya dari biofuel itu adalah pasokan dari biomasa sendiri.

Lalu energi surya saat ini, PLN sedang menyiapkan 150 MW di lokasi-lokasi dimana, jika diletakkan panel surya maka biaya pokok produksinya akan menjadi turun, yakni di lokasi-lokasi yang masih memerlukan diesel dan hanya digunakan pada siang hari. “Namun, jika panel surya digunakan murni pada malam hari dengan menggunakan baterei, maka harganya akan menjadi mahal dari pemakaian diesel PLN,” katanya.

Kendala dan Rintangan Itu Pasti Ada

Dalam perjalanannya pengembangan EBT ternyata tidak semulus yang diperhitungkan sebelumnya. Banyak hal yang terjadi di lapangan meski Pemerintah juga telah menerbitkan berbagai regulasi dan peraturan terkait pengembangan EBT ini. Sebut saja soal tumpang tindihnya peraturan dan lahan yang ada terkait atas izin-izin yang dimohonkan pengusaha di sektor EBT ini.

Selanjutnya soal insentif dimana, sedikit sekali pengusaha yang mau terjun di sektor EBT ini karena selain investasi yang tinggi juga harga jual keekonomian dari produksinya. Oleh karena itu, insentif diperlukan untuk mendorong pengembangan EBT ini agar dapat terwujud target dan sasaran yang ditetapkan. Pemerintah agar membantu soal pendanaan, perlu didorong Bank yang mau mendanai pengembangan EBT ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Lalu, soal harmonisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penerapan otonomi daerah juga perimbangan keuangan pusat dan daerah sehingga daerah juga memiliki gairah dalam mengembangkan EBT ini. Perlu digaris bawahi, bahwa hal ini tidak bisa jalan sendiri-sendiri (pusat maupun daerah). Serta peningkatan kinerja serta kapasitas Kelembagaan terkait pengembangan EBT ini. Oleh karena itu koordinasi antar instansi menjadi hal yang sangat penting agar tak terjadi tumpang tindihnya kewenangan. Selanjutnya, perlu didorong partisipasi dari Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait pengembangan EBT ini, seperti mikro hidro/mini hidro, energi surya, dan lainnya.

Ketua METI Supramu Santosa yang juga Direktur Supreme Energi mengatakan, perlu komitmen yang kuat dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah beserta jajarannya menciptakan suatu keadaan yang kondusif agar tercipta investasi renewable energy. Jangan berjalan sendiri-sendiri, kalau perlu berikan intensif berupa pajak nol persen. ” Jangan berdebat lagi soal subsidi karena yang dihasilkan ke depannya jauh lebih besar,”  katanya.

Komitmen berikutnya, adalah pengusaha yang telah dinyatakan sebagai pemenang tender, agar segera melaksanakan pekerjaan itu. Jadi jangan didiamkan dan menjadi sleeping consetion. Oleh karena itu sekaranglah waktunya untuk memulai bersama-sama mengembangkan renewable energy di Indonsia.

Sementara, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin mengatakan, sinkronisasi dan koordinasi kebijakan antara pusat dan daerah sangat penting dalam pengembangan EBT ini. Dimana, konsistensi peraturan dalam implementasinya menjadi sangat penting. ”Jangan nanti di jalan Bupatinya lain, pusat lain enggak ketemu nanti,” ujarnya. (Wishnu)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.