Ekuatorial, Lima – Memasukkan pendanaan untuk pembangkit listrik bertenaga batubara ke dalam skema Green Climate Fund (GCF), Jepang menuai kecaman pedas.
Rupanya Jepang secara diam-diam telah menyampaikan proposal kepada Green Climate Fund yang memuat komitmen pendanaan iklim (climate finance) kepada lembaga itu sebesar sekitar US$ 1 miliar sejak tahun 2009. Masalahnya, komitmen itu terdiri dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memakai batubara sebagai bahan bakarnya.
Batubara adalah salah satu penyumbang emisi karbon terbesar bersama minyak bumi dan gas yang sejak lama dikelompokkan dalam energi kotor (dirty energy). yang meningkatkan emisi gas rumah kaca di atmosfer dan menyebabkan perubahan iklim.
Kecaman bahkan datang dari Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Christiana Figueres. “Tidak ada yang perlu didisskusikan lagi, proyek batubara tidak punya tempat dalam sistem energi masa depan,” katanya, seperti dikutip dari situs WWF.
Alasan yang disampaikan pemerintah Jepang adalah, investasi mereka untuk semua proyek itu akan menciptakan pembangkit yang lebih bersih, emisinya lebih kecil dibandingkan teknologi lainnya, sehingga terjadi pengurangan emisi dari batubara , dibandingkan membiarkan Indonesia membangun sendiri proyek tersebut.
“Pendanaan di dalam skema GCF digunakan mengurangi emisi, bukan untuk mendanai proyek yang menambah emisi,walaupun Jepang mengklaim pembangkit ini lebih efisien dan lebih bersih dari sebelumnya,” kata Brandon Wu dari Action Aid Amerika Serikat yang memberi keterangan pers di Lima, Peru pada Rabu (3/12).
“Investasi pada pembangkit listrik batubara tidak bisa disebut sebagai pendanaan iklim, dan Jepang harus berhenti pura-pura menyelamatkan planet ini padahal sebenarnya tindakan itu dapat merugikan masyarakat,” kata Yuri Onodera, juru kampanye Friends of the Earth Jepang. Sekitar 250 lembaga swadaya masyarakat juga ikut menyampaikan kecaman kepada GCF dan pemerintah Jepang.
Green Climate Fund adalah skema pendanaan resmi di bawah UNFCCC, yang didirikan untuk menyediakan bantuan pendanaan dari negara maju untuk negara-negara berkembang dalam usaha mereka mengurangi dampak perubahan iklim. Sampai saat ini 22 negara telah menyatakan komitmennya mendanai GCF dan sampai akhir Oktober lalu, nilai komitmen itu mencapai US$ 9,7 miliar. Nilai komitmen negara maju di GCF masih jauh dibandingkan ambisi mereka untuk mengumpulkan dana US$ 100 miliar per tahun pada tahun 2020.
Jepang adalah salah satu negara maju yang berkomitmen mendanai GCF dan menjadi salah satu dari 24 negara anggota Dewan GCF. Sayangnya, sampai tahun 2014 akan berakhir, GCF rupanya belum merumuskan dengan sangat tegas, proyek apa saja yang tidak boleh atau boleh didanai. Itu pula sebabnya, Jepang berani mengajukan proyek energi berbasis fosil.
Brandon mengakui karena belum tersedia daftar hitam proyek yang terlarang didanai oleh GCF, sebenarnya Jepang belum melanggar apapun. “Justru karena tindakan mereka, kita jadi mengetahui apa saja yang harus dilarang,”katanya, Ia mengharapkan pertemuan GCF berikutnya pada bulan Februari 2015 akan berhasil menerbitkan exclusion list, yang memuat proyek yang dilarang didanai GCF.
Hasil penelusuran Ekuatorial menemukan bahwa ketiga PLTU yang dimaksud Jepang dalam proposal itu adalah PLTU Cirebon 1 yang berkapasitas 1×660 Megawatt (MW) dan berbiaya sekitar US$825 juta yang berasal dari konsorsium Indika Energy, Marubeni Corporation, dan Korea Midland Power Company. Pembangkit ini telah beroperasi sejak tahun 2011 lalu dan mendapatkan penghargaan sebagai pembangkit listrik yang berhasil menerapkan teknologi ramah lingkungan di tingkat ASEAN.
Proyek kedua adalah PLTU Paiton di Jawa Timur berkapasitas 815 MW, yang berasal dari konsorsium Japan’s Bank for International Corporation (JBIC) sebesar US$ 729 juta. Proyek ini merupakan perluasan dari pembangkit sebelumnya, yang sebagian sahamnya dimiliki Mitsui dan Tokyo Electric Power Co. Sedangkan proyek terakhir adalah PLTU Indramayu berkapasitas 1×1000 MW, yang mendapatkan pendanaan US$ 15 juta.
Upaya Ekuatorial mendapatkan konfirmasi dari pihak Jepang tidak menemui hasil, karena beberapa anggota delegasi Jepang yang ditemui di dalam arena COP20, hanya mengatakan mereka bukan orang yang tepat untuk menjawab isu tersebut. IGG Maha Adi (Lima, Peru)