Jakarta, Ekuatorial – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materiil Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melalui pembacaan putusan hari Rabu (21/1), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” demikian Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan dalam sidang.
Uji materiil itu dimohonkan terhadap Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1), oleh Bachtiar Abdul Fatah yang merupakan mantan General Manager Sumatera Light South pada PT Chevron Pacific Indonesia, sekaligus terpidana kasus korupsi proyek bioremediasi di perusahaan yang sama,
Pada Oktober 2013 lalu, putusan kasasi Mahkamah Agung menyatakan Bachtiar bersalah dalam kasus korupsi proyek bioremediasi di lapangan PT CPI di Sumatera, dan menghukumnya dengan penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta. Bersama Bachtiar, telah divonis pula 4 karyawan CPI lainnya dan 2 kontraktor proyek. Menurut pengadilan, akibat tindakan Bachtiar dan kawan-kawan negara telah dirugikan USD23,361 juta atau setara Rp200 miliar.
Saat ini, Bachtiar masih menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Salah satu pertimbangan dalam putusan kasasi menyatakan bahwa proyek bioremediasi itu tetap dijalankan meskipun belum mendapatkan persetujuan perpanjangan izin, yang merupakan interpretasi penuntut terhadap pasal 59 ayat (4) UU Lingkungan Hidup.
Terhadap uji material Pasal 59 ayat (4) yang berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,” mahkamah menyatakan inkonstitusional karena tidak memberi kesempatan kepada pengelola limbah berbahaya dan beracun (B3) yang sedang mengajukan perpanjangan izin.
Mahkamah kemudian menambahkan norma dalam ayat tersebut, sehingga menjadi ““Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan iznnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin.”
Akibat dari putusan tersebut, maka pihak pengelola B3 yang sedang mengajukan izin perpanjangan kepada lembaga yang berwenang, apabila izin perpanjangannya belum keluar atau belum selesai ketika masa izinnya telah berakhir, maka “Secara materiil harus dianggap telah memperoleh izin,” demikian menurut Hakim MK Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan mahkamah.
Sedangkan untuk pasal 95 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri,” mahkamah memutuskan untuk menghilangkan kata “dapat” dari ayat tersebut. Pertimbangan yang dikemukakan, bahwa tindak pidana lingkungan hidup tidak berdiri sendiri dan tunggal, namun terdapat pelanggaran yang bersifat administratif, perdata maupun pidana, sehingga harus dikoordinasikan di bawah menteri lingkungan hidup sesuai ketetapan dalam undang-undang tersebut.
Hakim MK, Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan mahkamah menyatakan bahwa tindakan untuk menyamaratakan kejahatan lingkungan yang tidak tunggal itu sebagai kejahatan, juga merupakan ketidakadilan.
Kata “dapat” dalam pasal tersebut memang dapat disalahgunakan oleh para penegak hukum, karena tidak mewajibkan berkoordinasi terlebih dahulu dengan menteri lingkungan hidup, sebaliknya dapat berjalan sendiri.
Dalam kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Bachtiar dan 6 orang lainnya, Kejaksaan Agung terkesan ngotot meneruskan kasus tersebut, walaupun keterangan para saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas (sekarang SKK Migas) yang merupakan dua lembaga yang berhak melakukan audit terhadap proyek itu, menyatakan tidak ada pelanggaran peraturan dan kerugian keuangan negara. Kejakgung juga secara sendiri mengambil percontoh (sampel) tanah yang terkontaminasi di area PT CPI, dan menghasilkan data berbeda dengan data yang diajukan CPI dan KLH sebagai bukti di pengadilan.
Undang-Undang Lingkungan Hidup memang mencantumkan asas ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana, artinya pemidaan dan tujuan pidana merupakan tindakan terakhir dalam menyelesaikan perkara lingkungan hidup setelah sanksi administratif diberlakukan terlebih dahulu. Pasal 98 ayat (1) dalam beleid ini juga menyatakan bahwa tindakan pemidanaan dapat dikenakan untuk perbuatan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Kuasa Hukum pemohon, Maqdir Ismail menyambut gembira putusan MK, dan akan menjadikannya sebagai alat bukti baru (novum) dalam upaya Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini sedang diajukannya kliennya.
Sampai berita ini diturunkan, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun pernyatan pers terkait putusan MK tersebut. IGG Maha Adi