Jakarta, Ekuatorial – Peleburan REDD+ Indonesia ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak sesuai dengan perjanjian bilateral dengan Norwegia yang dibuat tahun 2010. Demikian diungkapkan Heru Prasetyo, sekarang mantan kepala badan REDD+, Jakarta, Kamis (29/1).

Dalam perjanjian yang disebut Letter of Intent (LoI) bernilai 1 miliar dolar AS itu, telah disebut adanya persyaratan khusus dari pemerintah Norwegia kepada Indonesia, untuk mendirikan tiga lembaga independen yang akan berurusan dengan REDD+, yaitu Keuangan, Pengukuran pelaporan dan verifikasi (MRV).

Setelah proses yang panjang, Indonesia hanya berhasil mendirikan badan REDD+ pada September 2013. Namun, sejak Januari 2015, Peraturan Presiden yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo mengenai pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berarti mencabut juga Peraturan Presiden sebelumnya tentang Badan REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).

Kedua lembaga akan diintegrasikan ke dalam Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dan akan bertanggung jawab secara langsung kepada menteri . “Ini tidak sesuai dengan Lol tersebut yang menyatakan bahwa Badan REDD+ harus melapor langsung kepada presiden bukan menteri,” sebut Prasetyo. Menurutnya peraturan baru itu sebuah pukulan telak bagi badan tersebut karena belum ada mekanisme transisi yang diatur dalam Perpres tersebut.

Lebih jauh, ia berpendapat bahwa lingkup kerja REDD+, bukan hanya di wilayah hutan yang ada di bawah wewenang Kementerian Kehutanan. “Kami juga bekerja sama dengan berbagai kementerian, seperti Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah.Tidak melulu soal hutan. Jika kawasan hutan hanya mencakup 40 persen, Badan REDD+ berurusan dengan 60 persen belum tersentuh,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa ia sudah melayangkan surat surat kepada presiden sehari sebelum peraturan tersebut ditandatangani, ia juga menyatakan bahwa Presiden Jokowi sudah diberi tahu mengenai masalah itu. Namun demikian, ia mengatakan bahwa peleburan badan REDD+ bisa sukses jika KLHK terbukti dapat membenahi lembaganya. “Jika mereka tetap bekerja seperti biasanya maka akan sangat terlambat bagi REDD+ untuk dapat bekerja di lapangan,” terangnya.

Selama periode satu tahun berjalan, Badan REDD+ telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan sedikitnya delapan provinsi dalam mengimplementasikan program dan penerbitan izin pengelolaan. “Namun, provinsi-provinsi tersebut dapat menarik dukungannya dari MoU karena dalam 30 hari ke depan sudah tidak ada lagi Badan REDD+,” jelasnya.

Sedangkan untuk pendanaan, ia mengatakan bahwa pihaknya telah menghabiskan 30 juta dolar AS yang diberikan untuk tahap awal dan dimaksudkan untuk kelembagaan. “Kami belum merealisasikan tahap kedua yang akan mengatur mekanisme keuangan secara independen,” katanya.

Sementara itu, Stig Traavik, duta besar Norwegia untuk Indonesia, mengatakan bahwa mereka menghormati proses pengorganisasian ulang yang dilakukan Indonesia dan akan memberikan waktu untuk menyelesaikan pengelolaannya.

“Indonesia dan Norwegia adalah partner dalam menjaga hutan, mata pencaharian berkelanjutan, dan udara bersih. Jadi, kami akan menyimak rencana Indonesia karena ini adalah hutan milik Indonesia,” kata Traavik. “Kami selalu terbuka akan hal ini dan dan akan menyimak apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya”. Fidelis E.Satriastanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.