Langsa, Ekuatorial – Masyarakat Aceh Tamiang, Jumat (20/2) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mencabut SK Menteri Kehutanan No.865 tahun 2014. Mereka menganggap peraturan tersebut bertentangan dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Tamiang, dan segera meminta diusut dalang di balik terbitnya peraturan tersebut.

Diskusi ini difasilitasi oleh Yayasan Sheep Indonesia bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), yang mengungkapkan bahwa hutan Aceh Tamiang diambang kehancuran akibat dikeluarkannya SK Mentri Kehutanan No. 865/Mehut-II/2014 tentang kawasan hutan dan koservasi perairan di propinsi Aceh. SK Menhut ini mengurangi hampir seluruh hutan lindung di Aceh Tamiang. Sementara pemerintah kabupaten Aceh Tamiang dan Propinsi mengaku tidak pernah mengusulkan perubahan fungsi kawasan tersebut.

Perubahan fungsi tersebut diduga erat kaitannya dengan rencana ekspolitasi tambang dan kayu. Padahal manfaat ekonomi yang didapat dari eksploitasi hutan tersebut tidak sebanding dengan resiko yang dihadapi masyarakat dan pembangunan Aceh Tamiang. Ekspolitasi hutan akibat SK Menhut ini mengancam 286.226 jiwa penduduk Aceh Tamiang dan pembangunan di kabupaten Aceh Tamiang diambang kehancuran. Saat ini Hutan lindung di Aceh Tamiang hanya tersisa 615 hektar dari 82.498 hektar hutan Aceh Tamiang.

Rudi Putra, Manajer konservasi Yayasan HAKA menjelaskan Luas kawasan hutan Aceh Tamiang berdasarkan RTRW Aceh Tamiang tahun 2012 – 2032 adalah 37,2% dari luas total kabuapten Aceh Tamiang. Sedangkan luas tutupan hutan tahun 2010 hanya 31,4% dari luas daratan Aceh Tamiang. Melihat dari letak Aceh Tamiang yang berada di muara sungai Tamiang, jumlah tutupan hutan ini sangat kecil sekali. Aceh Tamiang sangat rentan dengan banjir dan longsor.

“Banjir tahun 2006 lalu menurut data dari World Bank, 2007 mengalami kerugian mencapai Rp 1 trilyun, setara dengan besarnya APBK Aceh Tamiang 2,5 tahun saat itu. Hal ini akibat berkurangnya tutupan hutan secara signifikan di wilayah hulu DAS Tamiang,” Ucap Rudi.

Kerusakan wilayah Aceh Tamiang dan konflik dimasyarakat saat ini tengah terjadi di Aceh Tamiang. Pada pertemuan para Datok ( Kepala Desa) dan Mukin ( Ketua Lembaga Adat) se Aceh Tamiang dengan bupati dan kepala dinas Aceh Tamiang (17/2) di pendopo bupati, terungkap tetang adanya konflik masalah tapal batas wilayah dan hutan. Kerusakan tanggul sungai, DAS Tamiang, erosi, rusaknya sejumlah ruas jalan akibat banjir dan longsor di sejumlah titik.

Pengrusakan hutan Aceh Tamiang tidak hanya dilakukan secara ilegal. Akibat SK Menhut No. 865/Menhut-II/2014, yang telah merubah fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi telah memberi peluang bagi siapa saja untuk ekspolitasi pertambangan, pengusaha kayu, perkebunan dan perizinan lain di dalam kawasan yang telah dirubah tersebut.
Kementrian kehutanan melalui SK Menhut No. 941 / Menhut –II /2013 juga telah menyetujui perubahan fungsi kawasan hutan di propinsi Aceh, dengan melepas hutan Aceh Tamiang seluas 2.048 hektar untuk menjadi area penggunaan lain dengan alasan untuk pemukiman. Padahal sebagian besar areal hutan tersebut dikuasai oleh segelintir orang untuk membangun perkebunan monokultur.

Tezar Pahlevie, Kordinator Yayasan HAKA wilayah Aceh Timur dan Tamiang, mengatakan ancaman lain kerusakan hutan Aceh Tamiang adalah pemberian sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan yang akan melakukan eksplorasi bahan semen dan eksplorasi tambang bijih besi. Survey bahan tambang batu bara dan bijih besi saat ini sudah sering dilakukan di dalam kawasan hutan Aceh Tamiang.

“Saat ini, hampir 50 persen luas kawasan hutan areal penggunaan lain di Aceh Tamiang sudah dikuasai oleh para pemegang HPH. 54 izin HGU sudah menguasai 52.000 hektar atau setara dengan 24 persen luas total daratan. Saat ini tiga perusahaan lain sedang mengupayakan mendapatkan HGU dengan luas 1030 hektar. Hanya kurang dari 30 persen luas daratan Aceh Tamiang yang digunakan untuk menompang kehidupan 286.226 jiwa penduduk Aceh Tamiang,” ungkap Tezar.

Dengan kondisi yang terjadi saat ini dipastikan dalam waktu dekat hutan di Aceh Tamiang akan habis diekspolitasi dan dikonversi menjadi non hutan.

Kabit Perencanaan BAPPEDA Aceh Tamiang, Dedi Nurfadli dan Agus Rinaldi, Kasi Inventarisasi Penatagunaan Hutan dan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, mengaku sangat terkejut dan bingung atas keluarnya SK Menhut No.865 Tahun 2014 tersebut. Mereka mengungkapkan pihak pemerintah daerah Aceh Tamiang sudah menyurati KLHK untuk meminta klarifikasi terkait isi peraturan tersebut. Ivo Lestari

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.