Jakarta, Ekuatorial – Sehubungan dengan kesepakatan global untuk mencapai target baru pengurangan emisi karbon, Indonesia akhirnya diminta untuk meninjau ulang komitmen tersebut, kata salah satu aktivis lingkungan di Jakarta, Rabu (4/2).

Pada tahun 2009, Indonesia yang telah mengumumkan untuk mengurangi emisi 26 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2020. Tindakan ini dianggap berani dan dipuji oleh negara-negara lain, karena sebagai negara berkembang Indonesia bukanlah negara yang diwajibkan untuk mencapai target apapun. Namun, hal tersebut menuai kritik dari aktivis lingkungan di Indonesia dan dianggap sebagai langkah buruk, karena tidak adanya perhitungan ilmiah yang jelas, dan dilengkapi dengan angka-angka atau data.

“Pemerintah perlu meninjau ulang efektivitas dari target pengurangan emisi 26/41 tersebut karena sekarang kita memiliki presiden baru, kita memiliki rencana pembangunan jangka menengah baru, untuk melihat apakah target ini sesuai dengan rencana pembangunan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), yang juga anggota Climate Action Network (CAN).

Tumiwa menambahkan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertugas untuk meninjau target pengurangan emisi tersebut.

Menurutnya, peninjauan tersebut penting mengingat Indonesia harus menyerahkan ikrar barunya pada United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC), yang dulu disebut dengan Intended Nationally Determined Contribution (INDC).

INDC diperkenalkan pada Konferensi Iklim Durban tahun 2011 yang salah satu mandatnya adalah untuk menghasilkan sebuah perjanjian hukum mengikat akan mulai berlaku tahun 2020. Akan tetapi, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pada Konferensi Iklim PBB di Paris atau yang biasa dikenal sebagai Paris 2015.

Negara-negara penghasil emisi terbesar seperti AS, Tiongkok dan Uni Eropa sudah mengumumkan ikrar emisi pra-2020 mereka pada INDC sebelum Paris 2015.

AS berjanji akan menurunkan emisinya sebanyak 26-28 persen dari target tahun 2005, pada tahun 2025 mendatang. Sedangkan Tiongkok berjanji untuk meningkatkan proporsi bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi utama sekitar 20 persen, pada 2030. Sementara itu, Eropa akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 40 persen, pada 2030 mendatang.

Akan tetapi, Tumiwa menekankan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) yang juga disusun oleh Bappenas, tidak menyebutkan peralihan pertumbuhan pembangunan dari emisi tinggi ke emisi rendah.

“Sekalipun ini hanya untuk pembangunan lima tahun, namun ini akan menentukan bentuk komitmen dan juga menjadi landasan bagi langkah setelah 2020. Jika kita tidak ambisius untuk lima tahun ke depan, hal ini akan menyulitkan Indonesia untuk berkontribusi pada pengurangan emisi,” terang Tumiwa. “Saya rasa kita mampu ambisius terhadap INDC. Permasalahannya adalah pelaksanaannya, itu sebabnya kenapa tidak jelas di RPJMN tentang bagaimana untuk menjalankan terget tersebut.

Sementara itu para pejabat Bappenas belum bersedia berkomentar hingga saat ini. Fidelis E. Satriastanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.