Bandarlampung, Ekuatorial – Meski telah merambah hampir lima tahun, warga yang menduduki Register 45 Mesuji, Lampung malah mendapat tawaran kemitraan.

Hal tersebut dibenarkan oleh Uliyati warga Mesuji, Lampung yang mengatakan seluruh koordinator lapangan pendudukan kawasan Register 45 beberapa waktu lalu diundang oleh pihak Kehutanan kabupaten setempat.

“Saya juga turut hadir dalam pertemuan itu tapi tidak bisa mengajukan pendapat karena bukan kewenangan saya untuk bicara. Dalam rapat itu warga perambah ditawarkan kemitraan dengan PT Silva Inhutani atau keluar dari kawasan,” kata dia, Jumat (20/2).

Saat ini ribuan warga yang sudah terlanjur menduduki kawasan, sudah membangun rumah permanen. “Nah mereka dapat masing-masing dua hektar, tawarannya adalah satu hektar ditanami pohon Albasia dan satu hektarnya lagi ditanami singkong,” ujar Uliyati.

Tawaran kemitraan yang berlangsung selama 25 tahun ke depan, menurutnya menjanjikan pembagian hasil 75:25 persen. “75 persen hasil panen untuk perusahaan, sisanya diserahkan pada masyarakat pengelola,” katanya lagi.

Namun demikian, masyarakat menolak tawaran kemitraan itu, karena program itu tidak memberi jaminan lahan yang sudah terlanjur diduduki, nantinya bisa berubah status menjadi hak milik. Tawaran kemitraan juga dilontarkan kepada dua desa tua, Talang Gunung dan Desa Labuan Batin. Kedua desa ini sebelumnya masuk dalam pemekaran kawasan Register 45.

“Tapi kami tegas menolak, permintaan kami hanya satu yakni enclave seperti yang sudah dijanjikan oleh pemerintah pusat sebelumnya. Jelas areal 7.000 hektar adalah desa bukan hutan,” ujar dia.

Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Mesuji, Lampung, Murni membenarkan adanya rapat membahas terkait kemitraan. “Sampai saat ini belum ada keputusan, nanti per tanggal 27 Februari kami akan sosialisasi program kemitraan khususnya di dua desa yang mengklaim Register 45,” katanya.

Masyarakat Labuhan Batin menurutnya mengklaim 2.600 hektar (ha) sedangkan Masyarakat Talang Gunung mengklaim sekitar 7.000 ha. “Kemitraan hanya dilakukan oleh perusahaan dengan masyarakat, sedangkan kami pemerintah hanya memfasilitasi saja,” ujar dia.

Pola yang ditawarkan sama seperti perambah di Register 45, masyarakat boleh mengelola masing-masing dua ha, namun bagi hasilnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama.

Anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Akhmadi Sumaryanto menegaskan bahwa memberi tawaran kemitraan pada masyarakat bukan berarti membenarkan perambahan yang selama ini terjadi.

“Pemerintah ingin melihat rakyatnya sejahtera tapi hutan lestari. Pola kemitraan yang ditawarkan mungkin bisa menjadi solusi mengembalikan Register 45 menjadi hijau seperti semula,” katanya.

Kawasan Register 45 memiliki luas areal sekitar 33.500 ha. Kemudian di era Pemerintahan Soeharto PT. SIL mengajukan penambahan perluasan, sehingga tercatat menjadi sekitar 43.100 ha. Pada era reformasi, sedikit demi sedikit warga menduduki kawasan tersebut hingga terbentuk layaknya sebuah desa, yang dilengkapi dengan fasilitas sekolah di Moro-moro Way Serdang. Kondisi itu membuat warga Talang Gunung dan Labuhan Batin kembali merebut apa yang menjadi hak keturunannya, hingga pada tahun 2011 mencuat kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di sana.

Sejak mencuatnya kasus tersebut warga dari berbagai asal berbondong-bondong datang menduduki kawasan. Mulanya mereka membuka tenda-tenda kecil di tengah hutan industri. Tapi kelamaan, warga mulai membangun rumah semi permanen dan permanen hingga mirip seperti perkampungan baru. Masing-masing blok diberi nama sesuai asal mereka.

Rindangnya hutan industri kini menjadi gersang. Dari 43.100 ha yang dulunya ditanami Albasia dan tanaman keras lainnya, kini hanya tersisa 16 ribu ha saja. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.