Aceh Tamiang, Ekuatorial – Untuk menyelamatkan hutan Aceh Tamiang, pemerintah dituntut segera menerbitkan moratorium perizinan terkait eksploitasi hutan. Hal tersebut disampaikan Koalisi untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan di Aceh Tamiang, Kamis (25/3).

Mereka membuat policy brief yang mendesak pemerintah daerah Aceh Tamiang segera menerbitkan moratorium perizinan sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan di Kabupaten Aceh Tamiang. Policy Brief ini diserahkan ke pemerintah daerah Aceh Tamiang melalui sekretaris daerah, di kantor Bupati Aceh Tamiang.

Desakan moratorium perizinan ini terkait dengan keluarnya SK Menhut No 865/ 2014 tentang kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Aceh yang mengakibatkan hilangnya 45.000 hektar hutan lindung di Aceh Tamiang.

Kordinator Koalisi Penyelamatan Hutan dan Lingkungan di Aceh Tamiang, Said Zainal mengatakan tujuan moratorium perizinan ini guna mengevaluasi kembali kegiatan-kegiatan dari izin yang telah dikeluarkan, dan membenahinya dari kesalahan yang ditimbulkan.

“Meskipun pemerintah daerah Aceh Tamiang dan gubernur Aceh sudah menyurati Kemenhut atas terbitnya SK tersebut, namun hingga saat ini tidak ada jawaban untuk penyelesaiannya. Sehingga hutan dan lingkungan Aceh Tamiang diambang kehancuran,” ungkap Said Zainal, Ketua Lembaga Advokasi Hutan Lestari.

Sebelumnya Menteri Kehutanan juga melepaskan 2,048 hektar hutan di Aceh Tamiang untuk menjadi area penggunaan lain (APL). Lahan yang dilepaskan tersebut saat ini dikuasai oleh para pemodal dan telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit secara illegal.

“SK Menhut No 865/2014 menambah beban bagi hutan Aceh Tamiang. Melalui SK ini pemerintah justru melegalkan perbuatan illegal di dalam kawasan hutan, dan berpihak kepada para pemodal,” ucap Said Zainal lagi.

Dalam policy brief tersebut dijelaskan bahwa laju kerusakan hutan di hulu sungai Tamiang terus terjadi dengan tingkat konversi yang tinggi.Pengelolaan izin usaha perkebunan terus berkembang pesat hingga ke wilayah resapan air mulai dari hulu hingga hilir DAS Tamiang.

Selain itu perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini telah banyak menimbulkan konflik pertanahan yang tak kunjung usai di Aceh Tamiang. Beberapa contoh, konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perkebunan PT. Rapala, PT. Semadam, PT. Parasawita, PT. Sinar Kaloy Perkasa, PT. MPLI dan PT. Perkebunan Nusantara 1 yang hingga saat ini semua permasalahan masih belum tuntas.

Rudi Putra dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh mengungkapkan selain sektor perkebunan, laju kerusakan hutan dan lingkungan di Aceh Tamiang juga terjadi akibat dampak kegiatan pertambangan mineral bukan logam dan batuan.

Berdasarkan data dari Dinas pertambangan dan Energi Aceh Tamiang tahun 2014, bahwa potensi kerusakan juga berasal dari pencadangan wilayah pertambangan (WP) Sumatera melalui SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:1096.K/30/MEM/2014, 26 Februari 2014. SK ini membagi kawasan hutan di hulu Aceh Tamiang untuk tambang mineral radio aktif, mineral logam dan batubara. Kawasan yang dicadangkan ini pada umumnya berada di ketinggian diatas 1.000 meter diatas permukaan laut (mdpl), dan kemiringan lahan diatas 40 persen dengan intensitas curah hujan sangat tinggi.

Saat ini setidaknya terdapat empat perusahaan yang akan menanamkan modalnya, untuk melakukan penambangan kedua bahan tersebut. Luas lokasi penambangan mencapai 35.000 hektare (ha), yang sebagian besar berada di dalam kawasan hutan.

“Berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1095 K/30/MEM/2014, 26 Februari 2014, Kecamatan Tenggulun, Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka masuk dalam wilayah usaha pertambangan mineral radioaktif, logam dan batubara,” ungkap Rudi.

Aceh Tamiang juga memilki hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 2,25 juta hektar terletak di hulu sungai Tamiang, Kecamaatan Tenggulun, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka, Sekerak dan Manyak Payed. Secara keseluruhan KEL memiliki peran sebagai pengatur tata air. Melindungi KEL sangat penting untuk menjaga pembangunan di Aceh Tamiang.

Abdul Manaf dari Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Suloh Aceh Tamiang mengatakan saat ini sering ditemukan beberapa survei sumber bahan tambang batubara, yang dilakukan oleh para calon investor di dalam hutan Aceh Tamiang.
“Laju konversi hutan justru mendapat “restu” dari pemerintah,” kata Abdul Manaf.

Saat ini kegiatan eksplorasi oleh PT. Tripa Semen Aceh di lahan seluas 2.200 hektar dalam hutan produksi berada pada kawasan karst hulu sungai Tamiang. Padahal kawasan karst terbukti menyimpan cadangan air yang besar. Empat perusahaan pertambangan lainnya juga berupaya mendapatkan izin untuk eksploitasi bahan tambang galena di lahan seluas 33.000 hektar di hulu Sungai Tamiang, Kabupaten Aceh Tamiang.

Sekretaris Daerah Aceh Tamiang, Razuardi saat dikonfirmasi mengatakan pemerintah daerah menanggapi positif dan berterimakasih atas bantuan masyarakat, untuk menyelamatkan hutan di kabupaten Aceh Tamiang.

“ Policy Brief dari koalisi penyelamat hutan dan lingkungan Aceh Tamiang akan segera ditindak lanjuti sesuai kewenangan daerah,” ucap Razuardi.

Terkait SK Menhut No 865/2014, Razuadi menyatakan memang bertentangan dengan RTRW dan pemerintah daerah tidak pernah mengusulkan dan menyetujui seperti yang tercantum dalam SK tersebut. Ivo Lestari

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.