Pekanbaru, Ekuatorial – Yayasan Hutanriau menemukan banyak pemutihan pelanggaran izin konsesi pada SK 878/2014 yang dikeluarkan Menteri Kehutanan RI. Pemutihan tersebut ada yang terjadi pada Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Izin Perkebunan.

“Praktek seperti inilah yang tercium oleh KPK dan berujung pada penangkapan Gubernur Riau pada 25 September 2014 lalu,” kata Divisi Advokasi Yayasan Hutanriau, Widya Astuti, Selasa (14/4).

Proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau yang baru ini, lanjut Widya, dimanfaatkan oleh pemilik konsesi yang melanggar aturan untuk merubah fungsi kawasan pada konsesi mereka. caranya dengan melakukan penyuapan terhadap Gubernur Riau agar memasukkan konsesi yang dimiliki dalam usulan revisi kawasan hutan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hutanriau di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Siak dan Pelalawan, ditemukan pemutihan pelanggaran izin dalam SK 878/ 2014 seluas dan 151.987 ha. “Hutanriau menemukan pemutihan pelanggaran Izin HTI di Siak seluas 13.538 ha dan izin Perkebunan seluas 3.402 ha. Sementara Izin HTI di Kabupaten Pelalawan seluas 127.331 ha dan Izin Perkebunan seluas 7.716 ha,” jelas Widya.

Widya melihat, dalam prakteknya, izin-izin yang melanggar peraturan perundangan tersebut bukannya ditertibkan, tetapi diputihkan dengan melakukan revisi peta kawasan hutan Provinsi Riau. Hal ini dilakukan dalam rangka persetujuan substansi dari Kementerian Kehutanan sebelum rencana tata ruang yang baru ditetapkan oleh DPRD Provinsi Riau.

Sementara itu, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr Siti Nurbaya Bakar yang ditemui usai Seminar Nasional di Kampus Universitas Riau belum lama ini, bahwa SK Menteri Kehutanan Tanggal 29 September 2015 yaitu SK 878/2014 sudah bisa menjadi pegangan dalam penetapan RTRWP Riau.

“Pada prinsipnya, RTRW tersebut harus sesuai dengan rekomendasi tim terpadu. Kalau itu sudah sesuai, Pemda Riau sudah bisa menggunakan RTRW itu dan diperdakan. Bahwa ada usulan beberapa kabupaten minta dirubah ini dan itu, hal itu bisa dilakukan secara parsial. Gubernur ingin secepatnya RTRW akan ditetapkan. Setelah persidangan Gulat dan Annas Maamun, RTRWP Riau segera ditetapkan,” ungkap Siti Nurbaya.

Titik Api
Studi kasus yang dilakukan di Siak dan Pelalawan, tim peneliti Hutanriau juga menemukan banyak pelanggaran izin yang terjadi di lahan gambut dalam. Izin Perkebunan dan HTI yang dikeluarkan di lahan gambut tersebut mencapai luas 402.673 hektare (ha).

Lahan gambut merupakan kawasan yang dalam beberapa tahun terakhir banyak dijumpai titik api. Gambut adalah kawasan yang rentan terjadi kebakaran apabila dikeringkan dan kawasan ini dilindungi berdasarkan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasionaldan PP No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Tetapi dalam prakteknya, pemerintah mengeluarkan izin budidaya di kawasan gambut dengan kriteria yang seharusnya dilindungi.

Dalam catatan Pos Komando Satuan Tugas Siaga Darurat Bencana Asap Provinsi Riau, sejak Januari hingga akhir Maret 2015 terdeteksi sebanyak 486 titik api (hotspot) di Riau. Deteksi dilakukan dengan menggunakan Citra Satelit NOAA 18 di 12 Kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Dan hotspot terbanyak berada di Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan, kabupaten yang banyak memiliki kawasan bergambut.

“Penerbangan sempat ditunda pada 16 Februari 2015 karena jarak pandang yang tidak memungkinkan yang disebabkan oleh kabut asap. Pada Tahun 2014 lalu, jumlah hotspot di Provinsi Riau mencapai 2.621 pada periode januari hingga Maret,” kata Siti Nurbaya.

Karhutla yang terjadi di Kabupaten Siak dan Pelalawan, berdasarkan pengamatan Hutanriau, berada di kawasan bergambut. “Kawasan gambut dalam bila dikelola berdampak pada rusaknya ekosistem gambut, kekeringan dan selanjutnya mudah terbakar,” terang Widya.

Hal senada disampaikan pakar gambut dari Universitas Riau (UR) Dr. Harris Gunawan, kawasan gambut yang sudah kering memang sangat mudah terbakar. Bila terbakar akan sulit dipadamkan dan dengan cepat menjalar hingga menimbulkan kebakaran besar. Untuk itu, gambut yang sudah kering perlu dilakukan pembasahan kembali. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan metode Kanal Blocking atau sekat kanal. Kanal-kanal yang di lahan gambut, diblock dengan menggunakan karung-karung yang diisi dengan pasir.

“Pembuatan kanal adalah salah satu penyebab keringnya lahan bergambut. Semakin banyak kanal dibuat, maka semakin tinggi resiko kerusakan gambut di Riau. Kita sudah melakukan upaya pembahasan gambut dengan metode kanal blocking di Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis. Selain untuk antisipasi kebakaran, pembahasan gambut ini juga untuk memperbaiki gambut dan hutan,” terang Harris.

Sejak Januari 2015 hingga Maret 2015, luas lahan lahan yang terbakar berdasarkan catatan Pos Komando Satuan Tugas Siaga Darurat Bencana Asap Provinsi Riau sekitar 3.413,4 hektar. Jumlah tersebut meliputi 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau. Kebakaran tersebut tidak hanya terjadi di kawasan non konservasi seperti HPT, HPK atau APL, tetapi juga kawasan konservasi.

Kerusakan kawasan bergambut ini, tidak hanya membawa dampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan bencana kabut asap oleh kebakaran saja, tetapi tanpa disadari juga berpengaruh terhadap perubahan iklim yang terjadi di muka bumi. Emisi karbon yang dilepaskan bersama dengan terbakarnya lahan gambut, menyebabkan terbentuknya efek rumah kaca. Emisi gas rumah kaca yang menyelubungi bumi ini membuat suhu bumi semakin meningkat. Dan khusus untuk Indonesia, alih fungsi hutan dan manajemen lahan gambut berkontribusi paling besar bagi emisi gas rumah kaca. Winahyu Dwi Utami

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.