Jakarta, Ekuatorial – Sebuah studi baru mengungkapkan, Kamis (18/6) bahwa lebih dari tiga perempat cat dekoratif yang diuji melewati ambang batas aman untuk kandungan timbal.

Laporan Nasional; Timbal dalam Cat Enamel Rumah Tangga di Indonesia yang diterbitkan oleh BaliFokus, sebuah LSM yang berfokus pada lingkungan dan pembangunan perkotaan, menemukan bahwa 94 dari total 121 kaleng cat dekoratif enamel yang biasanya digunakan pada kayu dan baja, dari 63 merek yang diuji mengandung timbal lebih dari 600 ppm (parts per million).

Selain itu, 50 cat ditemukan mengandung timbal lebih dari 10.000 ppm.

Sementara itu, standar saat ini untuk cat rumah tangga di Amerika Serikat dan Kanada adalah 90 ppm, yang berarti tidak ada campuran timbal di dalamnya. Meskipun, beberapa negara berpatokan pada 600 ppm.

Namun demikian, organisasi kesehatan PBB, WHO telah menyatakan bahwa ‘tidak ada tingkat aman terhadap paparan timbal’ dan ‘hitungan keracunan timbal sekitar 0,6 persen dari beban penyakit global’.

“Bukti bahwa paparan timbal pada anak-anak mengurangi kecerdasan mendorong WHO untuk menyatakan timbal menyebabkan keterbelakangan mental,” seperti dikutip dari laporan yang mengambil sampel dari Jakarta, Depok, Denpasar, Bogor, Tangerang, dan Tangerang Selatan antara 2014-15.

Lebih jauh lagi, laporan tersebut juga menemukan bahwa warna terang, seperti kuning, oranye, hijau, dan merah memiliki tingkat timbal lebih tinggi dibandingkan dengan warna lainnya.

Surya Anaya, Direktur BaliFokus, mengatakan masih belum ada regulasi ketat tentang timbal dalam cat di Indonesia.

“Ada SNI (Standar Nasional Indonesia) pada produk ini, tetapi tidak ada sanksi,” kata Anaya pada acara di Jakarta.

Ia mencontohkan SNI 8011: 2014 untuk pelarut cat dekoratif organik berdasarkan yang diatur maksimum kandungan timbalnya adalah 600 ppm.

“Tapi, itu masih bersifat sukarela dan belum dipublikasikan untuk umum. Jadi, bagaimana bisa masyarakat juga menyadari tentang masalah ini jika tidak ada informasi yang jelas,” katanya menambahkan bahwa SNI belum dipublikasikan secara resmi.

Dia juga menggarisbawahi tentang tidak adanya peran dari pemerintah tentang masalah ini. “Tidak ada satu pun lembaga yang maju dan mengaku tanggung jawab untuk masalah ini,” katanya.

Karliansyah, Direktur Jenderal polusi dan pengendalian kerusakan lingkungan, mengatakan bahwa ia tidak menyadari standardisasi terkait timbal dalam cat.

“Tidak, saya tidak berpikir bahwa ada SNI dalam tiap cat. Tapi, jika laporan yang dikonfirmasi maka kementerian (lingkungan dan kehutanan-red) akan berkoordinasi dengan kementerian industri untuk memeriksa cat tersebut,” kata Karliansyah.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa secara umum, timbal tidak dilarang di Indonesia selama itu masih di bawah standar.

“Kami telah mengatur tentang timbal tetapi hanya pada air, udara, dan tanah. Kami belum mengatur pada media lain,” tambahnya.

Sonia Buftheim, Program Officer Racun BaliFokus, mengatakan bahwa ada alternatif penggunaan timbal oleh perusahaan.

“Kami tidak melakukan penelitian ini tanpa solusi. Ada pelarut organik dapat digunakan oleh perusahaan cat untuk menggantikan timbal. Dan, itu hanya akan dikenakan biaya tambahan beberapa ribuan rupiah (dalam produksi),” kata Buftheim.

Selain itu, perusahaan dapat mengekspor produk mereka karena kandungan timbal yang rendah dalam cat mereka. “Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan untuk tidak menggunakan zat yang lebih baik di cat mereka,” katanya.

Selain itu, dia mendorong masyarakat untuk menjadi konsumen pintar dengan memeriksa label. “Kami telah menemukan bahwa cat-cat yang diberi label dengan ‘tidak ada tambahan timbal’ sebagian besar kandungannya di bawah 90 ppm. Jadi, luangkan waktu Anda untuk benar-benar memeriksa kandungannya,” jelasnya. Fidelis E. Satriastanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.