Ketua Petani Hutan Jasema, Sugiyono, keluar dari bilik rumahnya dengan membawa setumpuk dokumen. Isinya surat pengajuan pinjaman dari para anggota koperasi.

Di setiap surat tertera jumlah dana yang akan dipinjam dan tanda tangan suami istri yang meminjam. “Agar suami dan istri tahu besar jumlah pinjaman dan tidak diselewengkan,” ujar Sugiyono.

Ia mengatakan, warga cukup terbantu dengan kehadiran koperasi. Cukup dengan menjaminkan pohon, anggota dapat meminjam dana maksimal Rp5 juta.

Setelah berjalan sekitar satu tahun, dana awal sebesar Rp76 juta tersebut masih mencukupi untuk melayani anggota ratusan petani hutan rakyat. Sebagai pengurus, ia tidak tahu kemana harus memperoleh tambahan modal. “Kami tidak tahu kemana harus mencari tambahan modal lagi,” kata dia.

Saat saya bertemu dengan Kepala Desa Terong, Welasiman, ia sedang sibuk mengurus administrasi dana desa — salah satu “berkah” dari berlakunya UU Nomor 6/2014 tentang Dana Desa. Tahun ini, Desa Terong menerima sekitar Rp1 miliar.

Sayang, melimpahnya dana desa tidak berdampak kepada Koperasi Jasema. “Dana desa tidak bisa digunakan untuk membantu modal Koperasi Jasema,” ujarnya.

Peraturan Menteri Desa Nomor 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 memang tidak menyebutkan bahwa dana desa bisa digunakan untuk menambah modal koperasi milik para petani. Padahal, koperasi tunda tebang seperti di Desa Terong bermanfaat baik bagi kesejahteraan petani dan lingkungan. Koperasi tersebut menjadi instrumen penting dalam pengeloalaan hutan secara lestari, salah satu syarat mendapatkan sertifikat legalitas kayu atau SVLK.

Namun, ada cara untuk mengatasi kendala ini. Dalam Peraturan Menteri Desa tersebut, Pasal 9 poin A menyebutkan bahwa dana desa bisa digunakan untuk mendirikan dan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa. Berdasarkan aturan itu, maka desa tidak membentuk koperasi tetapi BUM Desa yang bergerak dalam bentuk simpan pinjam. Para petani hutan rakyat menjadi nasabahnya.

Sementara itu, bagi desa yang sudah punya koperasi maka bisa saja koperasi itu dibubarkan. Modal yang sudah mereka miliki bisa menjadi tambahan bagi BUM Desa yang bergerak dalam simpan pinjam.

Persis seperti dalam mekanisme Koperasi Tunda Tebang, para petani hutan rakyat boleh miminjam dana dengan jaminan “harta” yang pasti mereka miliki, yaitu pohon-pohon yang mereka tanam.

Direktur Institute Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta, Sunaji Zamroni yang banyak mengurusi isu desa mengatakan prinsipnya BUM Desa harus bisa mengemban misi sosial, melayani publik dan pengembangan ekonomi. “Contohnya, BUM Desa bisa bergerak dalam usaha wisata desa, simpan pinjam atau sewa traktor,” ujarnya.

Dengan dana desa yang mengucur dari pusat ke desa tiap tahun, peluang BUM Desa “tunda tebang” berkembang lebih terbuka. Dalam lembaga ini, peluang usahanya juga lebih luas, tidak terbatas pada simpan pinjam saja. Salah satunya adalah menggarap wisata alam yang selalu tersedia dalam hutan rakyat yang terjaga kelestariannya.

Jika opsi ini bisa direalisasikan maka petani hutan rakyat akan lebih sejahtera dan lingkungan pun menjadi lebih lestari. Bambang Muryanto

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.