Kemarau mencapai puncaknya pada akhir September. Di Desa Terong, Kabupaten Bantul, Jawa Tengah, pohon-pohon jati mulai tak berdaun, tanah pun sudah mengeras. Akan tetapi, sumber-sumber air di wilayah perbukitan tersebut masih mengeluarkan air jernih.

Di beberapa sudut desa, tanaman padi masih menghijau. Kontras dengan pepohonan sekitar yang meranggas. Padi tidak mati, karena sawah masih mendapat gelontoran air dari sumber air sekitar.

Saat saya berkeliling di desa, sumur-sumur warga pun masih berlimpah air. Ada sumur yang dipakai sendiri, ada pula yang airnya disalurkan ke rumah-rumah penduduk sekitar. Airnya jernih, terasa sangat dingin. Situasi Desa Terong yang berlimpah air saat kemarau sangat bertolak belakang dengan desa-desa tetangga di Kabupaten Gunungkidul, seluruhnya sudah kering.

“Dahulu sebelum ada penghijauan, kekeringan di desa ini parah. Tetapi sekarang, saat musim kemarau, masih ada sawah yang bisa panen,” ujar Kepala Desa Terong, Welasiman.

Desa Terong yang rimbun dengan pepohonan menjadi salah satu sebab mengapa desa ini tidak kekeringan. Ada sekitar 30 belik, sebutan untuk mata air, yang tersebar di desa seluas 775 hektare tersebut yang masih mengalir meski debitnya sedikit mengecil.

Welasiman mengatakan, penghijauan di Desa Terong sudah ada sejak zaman Orde Baru. “Tahun 2006-2007 ada program penghijauan lagi, namun baru semakin intensif sejak 2012,” ujarnya.

Areal sekitar 321 hektare di wilayah Desa Terong menjadi areal hutan rakyat yang mayoritas ditanami pohon jati, sengon, dan mahoni. Di halaman rumah penduduk, pohon-pohon besar itu juga tumbuh.

Para petani biasanya menjual kayu jenis tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di pinggir jalan terdapat onggokan kayu-kayu gelondongan yang siap dikirim ke luar desa.

Kelestarian pepohonan di Desa Terong makin terjaga setelah kelompok petani hutan rakyat di desa itu “Jasema” (jati, sengon, mahoni) mendapat sertifikat Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) sejak 2013. Dengan sertifikat ini para petani hutan Desa Terong diakui mempunyai dan menerapkan sistem yang bisa menjaga kelestarian hutan rakyat. Hasil kayu, setelah diolah menjadi berbagai macam produk, bisa diekspor ke pasar internasional.

Pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan SVLK sejak 1 September 2009 untuk menanggulangi praktek illegal logging yang menimbulkan banyak kerugian ekonomi dan lingkungan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sejak 2003 hingga 2014 Indonesia mengalami kerugian sekitar 9 miliar dollar AS. Pembalakan liar juga menyebabkan kerusakan lingkungan seperti meningkatnya emisi karbon, banjir, serta terancamnya spesies flora dan fauna.

Semua bisnis dari hulu hingga hilir, yang berorientasi ekspor dan memanfaatkan kayu sebagai bahan bakunya, harus memiliki sertifikat SVLK. Dengan memiliki sertifikat ini maka negara menjamin bahwa kayu dan semua bentuk olahnnya berasal dari sumber yang legal dan atau dikelola secara lestari.

Tanpa SVLK, semua produk kayu dari Indonesia akan sulit masuk ke pasar international, seperti Uni Eropa. Mereka tidak menginginkan produk kayunya berasal dari kayu ilegal sebagai upaya menjaga lingkungan dan iklim global.

Di Desa Terong, SVLK dikenalkan LSM lingkungan Aliansi Relawan Peduli Alam (ARUPA) tahun 2010. Desa Terong juga belajar soal pengelolaan hutan rakyat lestari dari tetangganya, Desa Semoyo, Kabupaten Gunungkidul. “Kami melatih para petani agar bisa mengelola hutan secara lestari dan paham dengan isu pemanasan global,” ujar Direktur ARUPA, Dwi Nugroho, beberapa waktu lalu.

Untuk menopang pengelolaan hutan rakyat secara lestari, para petani hutan rakyat difasilitasi ARUPA membentuk koperasi tunda tebang “Jasema” yang beranggotakan sekitar 554 petani. Tahun 2014, The Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) membantu memberikan modal awal sebesar Rp76 juta.

“Para petani dapat pinjam uang dengan mengagunkan pohonnya ke koperasi sehingga praktek tebang butuh bisa ditekan,” ujar Nugroho.

Ia menjelaskan praktek “tebang butuh” adalah ancaman bagi kelestarian hutan rakyat di Indonesia yang luasnya mencapai sekitar 1,2 juta hektare. Tebang butuh adalah praktek para petani yang menebang pohonnya, termasuk yang masih muda dan belum layak potong, untuk dijual guna memenuhi kebutuhannya. Akibatnya hutan menjadi gundul, karena banyak pohon yang harus ditebang.

Di rumahnya yang bagus, Ketua KTH “Jasema”, Sugiyono mengatakan dengan memiliki sertifikat SVLK kelompoknya bisa mengajak para petani melestarikan hutan rakyat dengan cara memanen pohon yang sudah siap tebang saja. Di berbagai pojok desa juga ada tulisan di papan kayu yang mengajak masyarakat untuk melestarikan hutan.

Sedangkan, koperasi tunda tebang bisa menekan laju penebangan pohon-pohon, terutama yang masih muda. “Anggota koperasi bisa meminjam dana maksimal Rp5 juta dengan jaminan pohon-pohonnya,” ujarnya.

Karena tidak ditebang, pohon-pohon itu mempunyai waktu lebih lama menyerap karbon. Selain itu pohon-pohon itu juga mempunyai tambahan waktu tumbuh menjadi lebih besar sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal jika tiba waktunya ditebang. Petani hutan rakyat pun menjadi lebih untung dan bisa meningkatkan kesejahteraannya.

“Kalau masih muda dan harus ditebang, harganya murah sekali,” ujar Sugiyono.

Selanjutnya, para peminjam mengangsur pinjamannya tiap bulan. Jika tidak bisa melunasi, maka pohon-pohon yang dijaminkan itu akan menjadi milik koperasi.

Dari dokumen pinjaman, sebagian besar petani meminjam dana sebagai modal usaha. Sugiono sendiri pinjam dana untuk modal usaha warung yang dikelola istrinya. Banyak warga datang silih berganti untuk membeli berbagai keperluan dapur di warungnya. Tetapi, ada pula yang pinjam dana untuk keperluan anaknya melanjutkan sekolah seperti dilakukan Wagiran dan Isman Prayoto. Mereka masing-masing pinjam Rp4 juta.

“Sebetulnya masih banyak anggota yang ingin pinjam, tetapi kami belum mampu melayani semua karena modalnya terbatas. Dalam tiap pertemuan, semua angsuran selalu habis dipinjam anggota yang belum pernah pinjam,” ujarnya.

Sugiyono berharap ada pihak yang bisa menyuntikkan modal tambahan bagi koperasi “Jasema” yang bisa membantu mengatasi kesulitan keuangan para petani dan menjaga lingkungan karena hutannya dapat menyerap karbon, penyebab pemanasan global. “Pepohonan di pekarangan bisa menyerap karbon sebanyak 67 ton sedangkan di tegalan bisa menyerap 37 ton,” ujarnya.

Sayang, meski sudah mendapat SVLK, belum ada permintaan kayu bersertifikat dari Desa Terong. Perhatian pemerintah daerah juga masih minim terhadap kelompok tani hutan ini.

“Belum ada perbedaan penting setelah kita mendapatkan SVLK. Industri mebel ber-SVLK sama sekali belum pernah membeli kayu kami,” kata Sugiono.

Kasubdit Informasi Verivikasi Legalitas Kayu (IVLK) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mariana Lubis mengatakan, tingkat keseriusan pemerintah daerah memang jadi kendala dalam menerapkan SVLK.

Selama masa otonomi daerah, pemerintah pusat tidak bisa menekan pemerintah daerah dalam membuat prioritas kebijakannya. Namun, ia mengatakan seharusnya pemerintah daerah melakukan identifikasi simpul-simpul industri kayu yang sudah ber SVLK. Selanjutnya pemerintah menghubungkannya sehingga transaksi bisa berjalan.

“Tetapi ini adalah sebuah proses. Jika nanti permintaan pasar dunia terhadap produk kayu legal meningkat maka otomatis permintaan kayu dari hutan rakyat bersertifikat pasti meningkat,” ujarnya.

Saat saya meninggalkan Desa Terong sore hari, beberapa lelaki kekar masih menaikan kayu gelondongan ke atas truk. Desa ini akan makin makmur jika pemerintah daerah menghubungkannya dengan industri kayu di hilir yang berorientasi ekspor. Bambang Muryanto

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.