Posted in

Pelestarian Rafflesia Adalah Keniscayaan

 

Boleh jadi, dunia ilmiah menganggap Rafflesia merupakan misteri bagi ilmu pengetahuan dan pembudidayaannya masih merupakan hal yang mustahil. Tapi jika menengok ke kawasan hutan Kabupaten Kepahiang, 40 km dari Kota Bengkulu yang merupakan habitat Rafflesia, ada seorang pria bernama Holidin, yang kesehariannya hanya seorang penjaga sekolah tapi sangat mencintai Rafflesia dan rela tinggal berdampingan dengan hutan, hampir 20 tahun ia telah menjaga banyak keberadaan Rafflesi, ia meyakini bahwa Rafflesia bisa dibudidayakan, menyangkal pendapat ilmuwan selama ini.

“Ada orang yang punya ilmu, ilmunya dapat di sekolah. Tapi kami punya pengalaman, dapat di lapangan. Kami yakin Tetrastigma itulah Rafflesia,” kata Holidin saat dijumpai di kawasan konservasi yang ia jaga bersama 6 orang adiknya, mengabdikan hidupnya di hutan demi  pelestarian Rafflesia.

Holidin mungkin memang bukan orang berpendidikan tinggi, pendidikan terakhirnya hanya SMA, tapi pemahamannya tentang Rafflesia dan Amorphopalus atau bunga bangkai boleh diuji. Holidin sudah puluhan kali diboyong Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke Bogor untuk berbagi ‘ilmu’. Bahkan Holidin pernah ‘dibajak’ oleh Rhenald Kasali untuk Rumah Perubahan milik Rhenald. Tapi Holidin lebih memilih tinggal di hutan, bersama Amorphopalus dan Rafflesia.

Kecintaan Holidin pada puspa langka berawal dari menemukan Amorphopalus saat ingin memindahkan jalan desanya pada tahun 1997, kemudian dengan belajar otodidak, Holidin bisa membudidayakan Amorphopalus. Bunga yang oleh penduduk lokal disebut bunga kibut itu, menjadi cinta pertama Holidin.

Amorphopalus berbeda dengan tumbuhan lainnya. Fase vegetatif yakni saat tumbuhan mengumpulkan bahan makanan dan fase generatif  yakni saat tumbuhan berbunga, pada Amorphopalus sama sekali berbeda. Amorphopalus mengalami 2 fase dalam hidupnya yang muncul secara bergantian dan terus menerus, Selama fase vegetatif, di atas umbi akan muncul batang tunggal dan daun yang secara keseluruhan  dan sekilas mirip dengan pohon pepaya. Saat fase generatif, maka batang hijaunya akan hilang seperti tumbuhan membusuk, tapi dari umbinya akan tumbuh bunga yang bisa menjulang tinggi hingga 3 meter.

Dan, di tahun 1997, tidak ada yang mengajari Holidin bagaimana membudidayakan Amorphopalus. Mau belajar dari Internet? Di tahun 90-an, tentu internet bukanlah sesuatu yang mudah dan murah, apalagi di daerah pedesaan.

Melihat kecantikan Rafflesia, lantas hati Holidin berpaling walau tidak melupakan Amorphopalus cinta pertamanya. Jadilah hingga sekarang Holidin mengabdikan hidupnya untuk Amorphopalus dan Rafflesia. Setiap ada kemunculan Rafflesia di hutan Kepahiang yang menjadi habitat Rafflesia arnoldii, Holidin akan menjadi orang yang paling pertama menjaganya. Ia akan memastikan agar Rafflesia itu aman dengan membuat pagar di sekelilingnya agar tidak diganggu tangan jahil dan hewan liar.

Dengan pengalaman Holidin hampir 20 tahun itu, Holidin menjadi sangat yakin dengan teorinya, bahwa Tetrastigma itulah Rafflesia.  Holidin juga mengubah kebun kopi miliknya seluas 3 hektar yang berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Bukit Daun menjadi pembudidayaan Amorphopalus dan menanam Tetrastigma, bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bengkulu membantu dengan memberikan material untuk membangun fasilitas kawasan tersebut.

Holidin menunjukan Amorphopalus di kawasan konservasi yang ia jaga. Foto: dok pribadi

 

Bisa jadi, pemahaman Holidin mungkin merujuk ke Amorphopalus, yang fase vegetatifnya berbentuk bunga, munculnya setelah fase generatifnya membusuk seperti tumbuhan yang mati. Tapi perlu diingat juga, pada Amorphopalus, setelah fase vegetatifnya yang hanya bertahan sekitar 8 hari hilang dan membusuk, fase generatifnya akan tumbuh kembali. Hal yang tidak pernah terjadi pada Rafflesia.

“Tapi ini, dari liana yang saya tanam, pernah muncul bunga Rafflesia, saya bisa lihat tandanya akan muncul bunga. Tapi sayang kemudian dirusak oleh babi,” kata Holidin. Kejadian itu sangat disayangkan oleh Holidin, padahal kata Holidin, untuk mekar sempurna, Rafflesia butuh waktu yang tidak sebentar. “Kalau dari saat ditemukan tandanya seperti kutil di kulit Tetrastigma, untuk bisa sampai ke tahap dia memecah kulit Tetrastigma-nya, paling tidak butuh waktu 1 hingga 2 tahun, nanti akan terlihat seperti kelereng. Nah dari tahap ini hingga dia mekar sempurna, butuh waktu 2 tahun lagi, total 3 tahun lebih baru dia mekar sempurna.”

Holidin menunjukan Tetrastigma yang ia tanam sendiri. Foto: dok pribadi

Meski kecewa karena belum bisa membuktikan bahwa dari liana yang ia tanam bisa memunculkan Rafflesia, tapi Holidin tidak patah arang.  Rafflesia mungkin masih akan menyimpan rahasianya dan tetap akan menjadi misteri bagi ilmu pengetahuan., teori Holidin memang tidak didukung dengan fakta sains, namun semangat Holidin untuk terus melestarikan Rafflesia tidak pernah surut.

Agus Susatya, pakar Rafflesia dari Universitas Bengkulu menjelaskan, memang secara genetik Tetrastigma dan Rafflesia sangat berbeda. “Itu adalah dua individu yang berbeda, Tetrastigma itu punya bunga sendiri yang biasanya mekar di kanopi hutan,” kata Susatya. Anggapan Holidin sebenarnya juga bukan hal baru. “Pada saat Dr. Joseph Arnold pertama kali melihat R. arnoldii pada tahun 1818, dia juga tidak menyadari bahwa Rafflesia ini merupakan tumbuhan parasit dan menyangka bahwa bunga yang mekar merupakan bunga dari liana atau malah disangka jamur raksasa, sebelum kemudian dilakukan kajian anatomi lebih lanjut.”

Jika berbincang dengan Holidin, pejuang konservasi Rafflesia dari hutan Bengkulu itu berulang kali akan menyebut, bahwa hutan tidak akan bertambah, hutan akan terus berkurang, ruang hutan terus menyempit. Jika tidak ada aksi nyata, Rafflesia hanya akan tinggal cerita. “Anak cucu kita nanti bisa jadi hanya akan mendengar ceritanya saja lagi jika tidak ada lagi yang peduli dengan Rafflesia,” kata Holidin.

Keprihatinan Holidin bisa saja benar-benar terjadi, pasalnya jika ditakar, hal yang paling membuat keberadaan Rafflesia sangat riskan adalah ketidaktahuan tentang bagaimana mengembangbiakannya, walau sudah lebih dari 200 tahun sejak pertama kali ditemukan, tapi kecanggihan teknologi saat ini belum bisa menjawabnya. Dengan demikian, pelestarian Rafflesia tentu menjadi keniscayaan.

Tidak hanya Holidin, kecantikan Rafflesia juga telah memikat hati sejumlah pemuda di Bengkulu yang mewadahi diri mereka dalam Komunitas Pecinta Puspa Langka (KPPL). Sofian, Koordinator KPPL dan teman-temannya ikut berjuang melestarikan Rafflesia, namun dengan cara berbeda.

Latar belakang anggota KPPL beragam. Mereka berdiri bukan sebagai pakar atau ahli ataupun praktisi Rafflesia. Mereka hanya kelompok masyarakat yang peduli dengan Rafflesia, dengan tindakan nyata, telah berhasil mengkampanyekan Rafflesia, memberikan penyadaran kepada pemerintah dan masyarakat betapa berartinya Rafflesia arnoldii dan pentingnya tindakan nyata untuk pelestarian Rafflesia arnoldii. Pergerakan Sofian dan kawan-kawan berangkat dari ide akses informasi dan pemberdayaan masyarakat.

KPPL menjadi yang pertama atau mungkin satu-satunya komunitas di Indonesia yang fokus pada Rafflesia. Apa yang dilakukan KPPL sejak didirikan tahun 2010 telah diapresiasi banyak pihak. LIPI pernah menjadikan Sofian, koordinator KPPL untuk menjadi pembicara nasional tentang konservasi Rafflesia dan ikut dalam penyusunan Stragegi dan Rencana Aksi (SRAK) Nasional Konservasi Rafflesia dan Amorphopalus yang digelar Bogor pada 2014 lalu. Pada tahun yang sama, Sofian diminta berbicara dalam lokakarya branding Rafflesia sebagai ikon Benngkulu. Sofian hanya masyarakat biasa, tapi kecintaan dan tindakan nyatanya bersama rekan-rekannya lah yang membuat Sofian dipercaya untuk berbicara banyak mengenai konservasi Rafflesia.

Pertemuan Sofian dengan Rafflesia terjadi pada tahun 2010 karena aktivitas nge-blog-nya, Sofian adalah blogger aktif sejak 2008 dan di Tahun 2010, usai dirinya mengikuti kompetisi blogger yang membuatnya berkenalan dengan blogger Bengkulu lainnya yang kemudian membawa mereka secara tidak sengaja menjumpai habitat Rafflesia saat mereka melakukan perjalanan untuk mencari materi blog. Berawal dari sanalah KPPL berdiri, didukung oleh rekan-rekan blogger dan kemudian mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat Bengkulu yang juga kemudian juga banyak ikut bergabung.

“Tahun 2010 pertama kali saya melihat Rafflesia, padahal sejak kecil saya kenal Rafflesia, saya orang Bengkulu tapi tidak pernah lihat Rafflesia. Ternyata akses informasi mengenai Rafflesia selama ini sangat minim. Oleh karena itu, saya ingin masyarakat ikut peduli dengan Rafflesia,” katanya.  Menurutnya, yang ia lakukan bersama komunitasnya adalah untuk memperkenalkan Bengkulu ke dunia luar dan juga memberi penyadaran kepada masyarakat. “Inilah cara kami mempromosikan Bengkulu. Saya pikir ini adalah sesuatu yang istimewa bagi alam Bengkulu, sudah sepatutnya dicintaii dan dilestarikan.”

Rafflesia arnoldii sebagai entitas bagi Provinsi Bengkulu memang sangat jelas terlihat, saat memasuki Provinsi Bengkulu saja pasti akan disambut kalimat “Selamat Datang di Bumi Rafflesia.”, Di setiap kegiatan Rafflesia arnoldii selalu ditampilkan sebagai simbol dan yang paling jelas adalah dimasukannya gambar Rafflesia arnoldii dalam lambang Provinsi Bengkulu. “Nah, selama ini Rafflesia selalu dieksploitasi, tapi kenyataanya, Rafflesianya sendiri tidak mendapat perhatian,” kata Sofian.

Sofian berfoto dengan Rafflesia yang sedang mekar sempurna. Foto: dok pribadi Sofian

 

Giat pelestarian yang telah dilakukan KPPL dimulai dengan menginisiasi pembentukan komunitas serupa di beberapa kabupaten di Provinsi Bengkulu, yang sudah terbentuk yakni KPPL Bengkulu Utara dan Pokdarwis (Kelompok Darmawisata) Kaur.

Kemudian, edukasi ke sekolah-sekolah, mengenalkan Rafflesia, sejarahnya dan mengapa Bengkulu dijuluki Bumi Rafflesia. Ternyata dari kunjungan-kunjungan KPPL ke sekolah-sekolah di Bengkulu, Sofian tahu banyak yang belum pernah melihat Rafflesia. “Jangan mengaku anak Bengkulu kalau belum lihat Rafflesia,” kelakar Sofian.

Yang paling menjadi sorotan bagi KPPL terhadap habitat Rafflesia, adalah seringnya pengrusakan habitat Rafflesia dan bahkan Rafflesia yang sedang mekar pun pernah dirusak orang tak bertanggung jawab. Ini pula yang menurut Sofian membuat KPPL harus terus mengkampanyekan Rafflesia.

Belum lama ini, KPPL bersama masyarakat Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah dan Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, melakukan dialog untuk mempersatukan kelompok masyarakat. Sehingga di masa akan datang, tidak ada lagi aksi pengrusakan habitat, inang dan bongkol Rafflesia.  Hasil pertemuan tersebut adalah menginisiasi terbentuknya Forum Masyarakat Peduli Rafflesia (FMPR).

“Harapannya, dengan terbentuknya kelompok ini, mereka bisa saling menjaga untuk melestarikan Rafflesia,” kata Sofian.

Gambar 9 KPPL bersama dengan masyarakat Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu usai melakukan dialog pelestarian Rafflesia pada September 2017

Selain itu, Sofian berharap, pemberdayaan masyarakat juga dapat membuat ekosistem tetap asri, sehingga hutan Bengkulu yang menjadi rumah bagi 5 jenis Rafflesia dapat terjaga kelestariannya. “Berbicara ekosistem, Rafflesia tidak akan ada kalau liana tidak tumbuh kan. Kalau terus terjadi pengrusakan hutan, illegal loging dan pengrambahan, liana bisa habis. Liana ini kan tumbuhnya butuh pohon besar, dia jenis anggur-angguran yang merambat di pohon besar,” harapnya.

Selama kurun waktu 7 tahun, Sofian telah melihat banyak perbedaan  antara 7 tahun lalu dengan sekarang. “Dulu memang aksesnya kurang, baik informasi maupun akses ke habitatnya. Tapi habitatnya masih banyak dan bagus. Nah kalau sekarang, akses informasi sudah cepat dan lokasinya sudah mudah, tapi Rafflesianya yang berkurang,” kata Sofian. Sementara,kalaupun ada yang mekar kondisinya juga tidak sama lagi. “Rafflesia sekarang banyak ukurannya menjadi lebih kecil, karena hutannya tidak bagus lagi, liananya semakin kecil, ukuran Rafflesia mengikuti liana. Padahal dulu diameter Rafflesia bisa lebih 80 cm.”

Sudah seharusnya pelestarian Rafflesia dilakukan dengan serius, sebelum Rafflesia menjadi tinggal nama. Seperti yang dikatakan oleh Agus Susatya, pemerintah, masyarakat dan akademisi harus saling berkolaborasi. Mungkin saja, suatu saat, Rafflesia bisa dikembangbiakan seperti harapan Holidin, sehingga semua orang bisa menikmati keindahan Rafflesia sesuai dengan yang diperjuangkan Sofian. Tapi sejatinya kelestarian berawal dari diri masing-masing. (**)

RICKY JENIHANSEN B

Liputan ini merupakan bagian dari Fellowship Biodiveristy Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ). Didukung oleh Internews

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.