Masyarakat Rejang Lebong membuat papan peringatan sendiri hingga menetapkan denda adat bagi mereka yang membuang sampah sembarang. Hal ini dilakukan akibat lambannya sosialisasi dan penerapan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan sampah yang sudah disahkan selama setahun.

Oleh: Muhamad Antoni

Masyarakat Rejang Lebong membuat papan peringatan sendiri hingga menetapkan denda adat bagi mereka yang membuang sampah sembarang. Hal ini dilakukan akibat lambannya sosialisasi dan penerapan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan sampah yang sudah disahkan selama setahun.

Rejang Lebong, BENGKULU. Saat pemerintah daerah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu tidak kunjung mensosialisasikan peraturan daerah tentang membuang sampah sembarangan, masyarakat setempat mendirikan papan-papan peringatan sendiri untuk mengurangi tempat pembuangan sampah liar.

Salah satunya terpasang di Desa Air Meles Bawah, kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Buyung, warga Dusun I, Desa Air Meles Bawah mengakui papan larangan yang terpasang tepat di samping rumahnya merupakan bentuk kekesalan terhadap warga yang sering membuang sampah sembarangan.

”Sudah satu tahun papan tersebut saya pasang. Saya kesal karena warga membuang sampah di sana. Karena itu, saya pasang saja papan himbauan larangan membuang sampah tentu dengan bahasa agar orang enggan membuang sampah di sana,” tutur Buyung, kepada Ekuatorial, Rabu (31/10).

Buyung mengatakan dirinya tidak pernah mengetahui siapa yang membuang sampah tepat di samping rumahnya, tetapi setelah memasang papan peringatan tidak pernah ada lagi orang yang membuang sampah.

“Sejak papan itu saya pasang memang tidak ada lagi yang membuang samping di lokasi tersebut,” katanya.

Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah, yang mengatur tata cara pembuangan sampah dan pengenaan sanksi denda mulai dari satu hingga sepuluh juta rupiah.

Namun, Wahono, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Rejang Lebong, yang membidangi Kehutanan, Tambang dan Lingkungan, mengatakan bahwa pemerintah daerah belum optimal menjalankan peraturan daerah yang telah disahkan pada Agustus 2017 tersebut.

”Sejak perda tersebut disahkan belum ada sosialisasi. Alasannya, karena belum ada anggaran. Namun, pada APBD perubahan tahun 2018 sudah diajukan oleh Organisasi Perangkat Daerah yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rejang Lebong dan sudah disahkan untuk anggaran sosialisasi perda, tapi hanya untuk wilayah kota terlebih dahulu,” kata Wahono, akhir September lalu.

Amran, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Rejang Lebong, mengakui belum ada sosialisasi sejak perda disahkan karena keterbatasan anggaran.

“Memang sejak disahkan belum ada kita sosialisasikan, karena tidak ada anggarannya. Meski demikian, sosialisasinya langsung dilakukan oleh petugas di lapangan kepada masyarakat terutama yang berada di dekat TPS [red : tempat pembuangan sementara],” ujar Amran kepada Ekuatorial, Senin (29/10).

Sosialisasi yang dilakukan petugas, kata Amran, mengenai tata cara dan waktu pembuangan sampah rumah tangga ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), untuk memudahkan pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Number: Muhamad Antoni

Lebih lanjut, Amran mengatakan bahwa ia memahami aksi warga yang memasang sendiri papan peringatan larangan membuang sampah sembarang sebagai bentuk kekesalan mereka.

“Kalau yang dilakukan oleh masyarakat bentuknya peringatan secara moral, sah-sah saja apa yang dilakukan masyarakat karena perda tidak melarang. Apa yang dilakukan masyarakat kita setuju apalagi langsung menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan,” ujarnya.

Nurkholis Sastro, Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia WARSI Bengkulu, mengatakan bahwa aksi memasang papan peringatan merupakan salah satu bentuk protes warga terhadap permasalahan sampah.

“Persoalan sampah ini akhirnya menjadi konflik horizontal di tingkat masyarakat, bentuknya ya seperti itu adanya aksi warga yang memasang papan peringatan dengan menggunakan kata-kata kasar, dan hal tersebut langsung menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan,” ujar Nurkholis.

Ia menambahkan bahwa lambatnya sosialisasi peraturan daerah pengelolaan sampah, bukan disebabkan oleh tidak anggaran, melainkan tidak ada kreativitas petugas.

“Jangan hanya menunggu ada anggaran baru mau sosialisasi, tetapi yang harus diubah adalah metode pendekatan yang bisa langsung diimplementasikan,” kata Nurkholis, Kamis (25/10).

Lebih lanjut, ia menjelaskan metode pendekatan yang dimaksud antara lain, melalui pihak pemerintahan desa, kelurahan dan kecamatan. Misalnya, melalui praktek memilah sampah organik dan nonorganic yang diajarkan kepada para ibu rumah tangga.

“Ibu rumah tangga orang yang bersentuhan langsung dengan urusan sampah, diajarkan cara memilah sampah organik dan nonorganik, lalu diberikan pemahaman bagaimana menjadikan sampah organik menjadi kompos dan nonorganik bisa diolah menjadi barang yang bermanfaat,” ujarnya.

Menurut Nurkholis, pemahaman mengenai pengelolaan sampah sudah harus dilakukan karena meningkatnya jumlah sampah tiap tahun akan mempengaruhi daya tampung TPA Kabupaten Rejang Lebong, yang berada di Desa Bandung Marga, Kecamatan Bermani Ulu Raya.

“Kalau tidak dilakukan saat ini, maka imbasnya adalah kekuatan daya tampung TPA. Karena setahu saya, TPA tidak pernah dikelola dengan baik, yang ada tumpukan sampah hanya diratakan saja,” tambahnya.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Rejang Lebong, sebanyak 40.040 meter kubik sampah dibuang ke TPA pada tahun 2016 dan meningkat hingga 45.454 meter kubik pada tahun 2017. Rata-rata pengangkutan sampah ke TPA mencapai 123 meter kubik per hari.

 

Upaya mengurangi sampah Rejang Lebong

Untuk mengurangi timbulan sampah, Dinas Lingkungan Hidup Rejang Lebong telah melakukan berbagai upaya, salah satunya mendirikan rumah kompos pada tahun 2017 silam.

Rumah kompos tersebut dikelola oleh lima orang dari Dinas Lingkungan Hidup Rejang Lebong, yang bekerja sama dengan petugas pengangkut sampah di Pasar Tradisional Kabupaten Rejang Lebong yang bernama Pasar Atas Curup terletak di kecamatan Curup Tengah.

“Sampah yang di angkut dan dijadikan kompos adalah sampah sayuran yang terbuang di TPS kawasan Pasar Atas, Kecamatan Curup Tengah,” kata Amran, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Rejang Lebong.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Rejang Lebong, sampah sayuran yang diangkut ke Rumah Kompos sebanyak tiga meter kubik per hari. Dari total tersebut, bisa menghasilkan setidaknya satu meter kubik kompos.

Lebih lanjut, Amran mengatakan kompos yang berhasil diproduksi selama tahun 2017 hingga 2018 digunakan untuk memupuk tanaman bunga di sepanjang jalan protokol Kabupaten Rejang Lebong.

“Komposnya digunakan oleh petugas pertamanan untuk memupuk tanaman bunga yang ada di sepanjang jalan kota dan juga di beberapa titik taman kota,” ujar Amran.

Hasil pengelolaan sampah sayuran menjadi pupuk kompos milik Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rejang Lebong. Sumber: Muhamad Antoni.

 

Selain rumah kompos, tahun ini, dinas lingkungan hidup juga mempersiapkan bank sampah di Desa Tasik Malaya, Kecamatan Curup Utara, yang akan diserahkan kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai pengelola.

“Nanti kita bentuk KSM-nya, mereka yang mengelola bank sampah, tentunya nanti petugas kita beri pelatihan terlebih dahulu soal teknis pengelolaan bank sampah, akan kita dampingi,” tambahnya.

Tedi Riski, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korwil Rejang Lebong, mengatakan pendirian rumah kompos cukup efektif untuk mengurangi timbulan sampah di kawasan Pasar Atas Curup.

Namun, ia mengatakan bahwa jangkauan pengambilan sampah harus diperluas karena banyak sayuran berserakan terutama saat harga sedang turun.

“Cukup efektif jika sampah sayuran yang terbuang menjadi kompos untuk mengurangi tumpukan sampah, hanya saja jangkuannya diperluas lagi khususnya di Kecamatan Selupu Rejang yang merupakan sentra penghasil sayuran, karena yang kami temukan beberapa sampah sayuran ketika harga anjlok sering di buang ke sungai,” jelas Tedi, Kamis, (1/11).

 

Pemberlakuan hukum adat bagi pelanggar

Perhatian terhadap isu sampah juga diberikan oleh Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Rejang Lebong.

Badan ini berfungsi menjalankan aturan-aturan hukum adat istiadat di Kabupaten Rejang Lebong sesuai dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang Pemberlakuan Hukum Adat dan Istiadat yang mengacu kepada ketentuan adat istiadat suku Rejang.

Badan Musyarawrah Adat terbentuk di setiap kelurahan hingga kecamatan untuk menjalankan aturan-aturan hukum adat di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Pemberlakuan hukum adat untuk sanksi membuang sampah sembarang mulai dilakukan di Kelurahan Batu Galing, Kecamatan Curup Tengah.

Akhir Ramdan, salah satu anggota BMA Kelurahan Batu Galing, mengatakan bahwa mereka sudah memberlakukan denda adat tersebut sejak Januari 2018 dengan acuan Keputusan Bupati Rejang Lebong No. 180.37.X Tahun 2012 tentang Pemberlakuan Hukum Adat.

Akhir mengatakan bahwa hukum adat diberlakukan akibat tumpukan sampah menutupi aliran drainase yang akhirnya menyebabkan banjir saat musim hujan.

“Dalam Hukum Adat Rejang istilahnya adalah Cepalo Tangan, yang artinya orang yang melakukan kejahilan tangan atau kelancangan tangan, membuang sampah termasuk dalam ketentuannya,” kata Akhir.

Papan pengumuman larangan membuang sampah yang dikenakan denda dan sanksi adat di Batu Galing, Kecamatan Curup Tengah. Sumber: Muhamad Antoni.

Berdasarkan Hukum Adat Rejang Lebong, apabila ada yang melanggar, atau cepalo tangan, akan dikenakan denda sebanyak satu hingga enam ria [Red : satu ria setara dengan dua kaleng beras atau 30 kilogram beras].

Apabila tidak sanggup membayar dengan beras, maka pelanggar bisa membayar dengan denda uang sebesar harga beras tersebut.

Lebih lanjut, Akhir menyatakan bahwa tidak pernah terlihat lagi tumpukan sampah sejak berlakunya hukum adat di beberapa lokasi yang dipasangi papan peringatan.

“Sejak kita berlakukan tidak ada lagi tumpukan sampah di beberapa titik yang kita pasang spanduk pemberlakuan hukum adat. Ketika hujan turun wilayah kami tidak terkena banjir lagi,” ujarnya menambahkan bahwa belum ada warga yang terkena denda adat tersebut.

Sementara itu, Ahmad Junaidi, warga kelurahan Batu Galing, mengatakan dirinya tidak keberatan dengan aturan pemberlakukan hukum adat.

“Dampak dari aturan tersebut saya rasakan, ketika hujan tidak ada genangan air karena drainase tersumbat sampah, tumpukan sampah di pinggir jalan pun tidak ada lagi. Saya setuju dengan pemberlakukan aturan adat tersebut, karena kami sendiri sering tidak mengetahui siapa yang kerap membuang sampah di wilayah ini,” demikian kata Ahmad. EKUATORIAL.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.