Gebang (Agave sisalana) sebelumnya dianggap tanaman pengganggu oleh masyarakat Dusun Bahel, Desa Dukuh, Kubu, Karangasem di Bali. Setelah 15 tahun, masyarakat mulai meyakini bahwa gebang mampu membantu perekonomian mereka, bahkan berkontribusi untuk mengurangi sedimentasi terumbu karang di Desa Tulamben, Kubu, Karangasem.
Oleh: Putri Handayani
Amlapura, BALI. Dalam sepasang bilah bambu yang yang diikat vertikal dan menyisakan celah kecil di tengahnya, bilah kecil gebang (Agave sisalana) disangkutkan di antara bilah bambu itu. Tangan kiri milik Ni Luh Sikiasih menggenggam erat ujung atas bilah bambu yang telah disatukan genggaman.
Dengan sekali tarikan bertenaga oleh tangan kanannya yang dibalut kain bekas, serat-serat putih – serupa rambut – dari bilah gebang tadi mulai terlihat. Wanita itu mengulangi gerakan tadi berkali-kali hingga serat-serat bagu (istilah serat gebang) tadi terkumpul semakin banyak.
“Kalau ada order baru dibuat, ada dah pemasukannya. Kalau gak ada order gak buat ini. Biasanya deket-deket Nyepi, Galungan, rame dah order-nya,” begitu tutur Sikiasih, ketika ditanya perihal aktivitas yang ia geluti.
Wanita asal Dusun Bahel, Desa Dukuh, Kubu, Karangasem ini adalah bagian dari Kelompok Tani Ternak Dharma Kerti, di dusun yang terletak di utara Gunung Agung tersebut. Jika tidak sedang mencari tuak dan membuat gula aren, ia akan menarik serat-serat gebang untuk dijual ke tengkulak.

Sikiasih melanjutkan pekerjaannya menarik bilah daun gebang yang sebelumnya telah dipotong tiga bagian vertikal. Sesekali ia menggaruk tangannya akibat terkena getah tumbuhan yang populasinya lumayan banyak tersebar di dataran kering dan berpasir tersebut.
Sikiasih menjelaskan, bagu yang telah dipisahkan dari kulit daunnya akan dijemur hingga kering. Selanjutnya, akan diproses kembali oleh para anggota kelompok tani ternak yang berjumlah 18 orang termasuk dirinya, menjadi gembrang (bagu yang diikat sedemikian rupa menyerupai barisan rambut) biasanya dipakai untuk rambut barong, ogoh-ogoh, dan hiasan penjor. Per meternya, gembrang dijual Rp 4.000.
Membuat gembrang cukup dapat menopang biaya dapur para anggota Kelompok Tani Ternak Dharma Kerti. Setiap harinya, mereka bisa menghasilkan 150 meter gembrang dengan total pendapatan Rp 600 ribu.
Jika per orangnya bisa menghasilkan 10 meter gembrang, artinya Rp 40.000 sudah di tangan. Memang, pekerjaan ini bukanlah mata pencaharian utama mereka. Mayoritas masyarakat Desa Dukuh bergantung pada produksi tuak dan gula aren, juga beternak. Jika musim kering tiba, masyarakat mencari kerja sampingan, salah satunya dengan membuat gembrang.
Menggali manfaat
Gebang merupakan nama lokal tumbuhan yang dikenal sebagai spesies A sisalana di Desa Dukuh dan beberapa desa di sekitarnya. Tidak jelas dari mana tumbuhan berdaun pipih memanjang ini berasal, namun menurut informasi yang dihimpun dari Wayan Adi Mahardika, yang merupakan Officer Reforestasi Bentang Alam Gunung Agung di Conservation International (CI) Indonesia, bahwa budidaya gebang populer di Amerika Latin dan dikembangkan secara luas di Afrika.
“Di Bali, populasi utamanya tersebar di daerah kering seperti, Buleleng bagian timur (Kecamatan Tejakula, Sawan, Kubutambahan, hingga Seririt) dan daerah Kubu di Karangasem,” ungkap Adi yang juga lulusan S2 Botani di The University of Edinburgh, Inggris, itu.
Sambungnya, ada beberapa nama lokal A sisalana yang dikenal di daerah bagian utara dan timur Bali. Misalnya, di Buleleng bagian timur dikenal dengan sebutan panggar buaya, sedangkan di daerah Karangasem seperti Tianyar dan Munti Gunung, akrab disebut pandan.
Sekitar 15 sampai 20 tahunan silam, gebang dianggap gulma – tumbuhan yang tidak diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi – oleh warga Desa Dukuh, maka keberadaannya makin menipis karena banyak dimusnahkan warga. Namun, entah siapa yang memulai, kini keberadaan gebang mulai diperhitungkan karena dianggap bermanfaat.

Seperti tumbuhan lainnya, gebang tumbuh musiman. Setelah dipanen, tumbuhan tersebut butuh satu hingga tiga tahun agar daun dapat dipanen maksimal. Selain pemanfaatan seratnya oleh kelompok Tani Ternak Dharma Kerti di Dusun Bahel, gebang tidak dibudidayakan di mana-mana.
Maka untuk pemenuhan produksi, kelompok tani masih dominan mencari di desa-desa tetangga, seperti Desa Tembok (Tejakula, Buleleng) dan Desa Tianyar (Karangasem). Hanya saja, sejak kedatangan CI Indonesia sekitar 2,5 tahun lalu, gebang mulai ditanam di lahan seluas 2 hektare milik salah satu warga Dusun Bahel. Dana hibah sebesar Rp 60 juta pun digelontorkan CI Indonesia untuk membeli 6.000 bibit gebang.
Hibah tersebut bukan tanpa alasan, CI Indonesia, sebagai organisasi lingkungan dunia yang konsen dengan kelangsungan keanekaragaman hayati, ternyata sedang menjalankan program Reforestasi Bentang Alam Gunung Agung (Nyegara Gunung). “Jadi, pendekatan konservasi kita adalah Ridge to Reef (Nyegara Gunung), di mana gebang ini kemudian jadi sangat penting di Desa Dukuh yang notabene berada langsung di atas laut Desa Tulamben. Jadi, kita di CI sangat konsen dengan ekosistem laut, salah satunya ekosistem terumbu karang di Tulamben,” sambung Adi.
Peran dalam konservasi
Aliran sedimentasi akibat curah hujan tinggi merupakan salah satu momok berbahaya bagi terumbu karang di Tulamben karena bisa menyebabkan coral bleaching atau pemutihan karang. Meski tumbuhan lain seperti intaran (Azadirachta indica A Juss) dan akasia (Accacia greggii) yang banyak tumbuh di Desa Dukuh juga mampu menahan laju aliran lumpur saat musim hujan menerjang, namun dibutuhkan pula keberadaan gebang yang mampu tumbuh cepat dengan jenis akar serabut yang dapat mencengkeram kuat di tanah berpasir, disamping manfaat ekonomi yang diberikan.
Kendati demikian, dari CI Indonesia belum memiliki riset mendalam tentang peran signifikan gebang untuk menahan laju sedimentasi. Data yang dapat dihimpun dari Adi Mahardika hanya berupa model korelasi penanaman gebang dengan penurunan laju sedimentasi melalui Geographic Information System (GIS) yang baru diperkirakan dapat menurunkan laju sedimentasi sebesar 15 persen.
Jika mau dilakukan riset pengukuran secara langsung, setidaknya butuh 10 tahun untuk membuktikan efek samping dari budidaya gebang. “Tapi itu cuma model, kita gak akan nanam gebang sebanyak itu, apalagi di hutan,” tandas Adi.
Data yang dihimpun dari Made Iwan Dewantama, selaku Manager CI Indonesia, menyebutkan bahwa bentang alam Gunung Agung sisi utara didominasi oleh lahan kritis yang terdapat kawasan hutan lindung sekitar 2.000 hektar. Sebanyak 680 hektar dari lahan tersebut ditetapkan menjadi hutan desa (salah 1 skema perhutanan sosial) atas persetujuan menteri lingkungan hidup dan kehutanan (LHK).
Dipaparkan lagi, tingkat tutupan pohon di hutan Desa Dukuh – yang seluas 680 hektar – masih cukup minim. Sekitar 30 persen yang didominasi oleh tanaman ampupu (Eucalyptus urophylla), sonokeling (Dalbergia latifolia), kaliandra (Calliandra haematocephala), dan rumput. Berangkat dari masalah itu, CI Indonesia menganggap perlu adanya pendekatan-pendekatan alami dari hulu ke hilir, salah satunya dalam wujud budidaya tumbuhan gebang.
Desa Dukuh memiliki 6 dusun, yaitu Dusun Candiga, Bahel, Dukuh, Buana Kusuma, Batu Giling, dan Pandan Sari. Dari 6 dusun tersebut, empat dusun berbatasan langsung dengan kawasan hutan, yakni Dusun Dukuh, Buana Kusuma, Batu Giling, dan Pandan Sari. CI Indonesia sebelumnya sudah bekerja sama dengan Dusun Pandan Sari untuk melakukan pembibitan cendana dan juga bekerja sama dengan Dusun Bahel untuk penanaman 6.000 tumbuhan gebang.
Gebang memang bukan satu-satunya tanaman yang bisa menekan sedimentasi daratan ke perairan laut. Namun setidaknya tanaman ini juga memberi kontribusi ekonomi bagi warga sekitar. Terlebih dari serat-serat alam A sisalana ini tercipta berbagai kerajinan tangan budaya Bali yang menyatu dengan masyarakatnya.
Liputan ini di danai program fellowship yang dilaksanakan atas kerjasama antara Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Conservation International Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.