Sejak pendirian nya pada tahun 1997, Kawasan Taman Wisata Alam Mangrove ditujukan sebagai sarana pariwisata alam sekaligus pelestarian fungsi hutan bakau sebagai sistem penyangga kehidupan. Namun hingga saat ini usaha konservasi kawasan bakau ini terkendalan berbagai tantangan termasuk sampah plastik dan abrasi air laut.
Oleh Jekson Simanjuntak
Sejak pagi, Gilang telah bersiap. Bocah berusia 10 tahun itu begitu bersemangat saat diajak mengunjungi Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Angke Kapuk, yang jaraknya 16 Km dari rumahnya.
Taman Wisata Alam Mangrove di Kamal Muara, tepatnya di Jalan Garden House RT.8/RW.1, Penjaringan, Jakarta Utara, buka mulai pukul 07.00 WIB hingga 18.00 WIB dan memungut tiket masuk, Rp25.000, bagi pengunjung lokal dan Rp250.000 untuk turis asing.
“Ma, hutan mangrove itu kayak apa sih? Betul-betul hutan?” tanya Gilang yang seperti sudah tidak sabar lagi untuk sampai ke tujuan.
TWA ini sengaja dipilih, karena tidak terlalu jauh dan mampu memberikan pengalaman yang berbeda dari wisata alam biasa. Belum lagi, dalam beberapa tahun terakhir, TWA Mangrove Angke Kapuk ramai diperbincangkan di sosial media, karena menghadirkan tempat berfoto yang menarik.
Seperti aturan umum yang berlaku di kawasan konservasi di seluruh Indonesia, pengunjung TWA Mangrove Angke yang ingin memotret dengan kamera saku, Gopro atau Polaroid dikenakan biaya Rp150.000/ kamera, sementara bagi pengguna DSLR akan ditagih Rp300.000 / Kamera. Memotret dengan kamera HP, tablet atau Drone, tidak dikenai biaya.
“Itu aturannya resmi dari pemerintah. Kami tidak mengada-ada. Toh, nanti uangnya masuk ke negara juga,” ujar Resijati Wasito, pemandu senior di TWA Mangrove Angke Kapuk.

Berada di kawasan ini, membuat Gilang takjub akan hijaunya hutan mangrove yang asri. Udaranyapun segar, dan suasananya jauh dari rutinitas ibu kota Jakarta yang membosankan.
Menurut Gilang, hutan bakau baginya mirip hutan di pinggir pantai dengan pohon-pohon yang tergenang air.
“Hutan mangrove juga sering disebut hutan bakau merupakan hutan yang tumbuh di air payau, dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut,” Resijati menerangkan kepadanya dengan menambahkan bahwa lebatnya perakaran bakau menahan lumpur dan menjadi tempat terakumulasinya bahan organik.
“Pantes, disini banyak lumpurnya,” ujar Gilang.
Hutan mangrove merupakan ekosistem unik yang berada di zona intertidal dan dijumpai di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis. Ia menjadi habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), berbagai jenis burung, ikan dan reptil seperti; buaya muara (Crocodylus porosus), kura-kura ambon (Cuora aboinensis), biawak (Varanus salvator), ular welang (Bungaru fasciatus), ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan lain-lain.
Mengingat dampak positifnya terhadap lingkungan, menahan abrasi oleh air laut, menghasilkan udara bersih, menangkap karbon serta dampak ekonomisnya bagi masyarakat setempat, dengan menyediakan berbagai produk kayu maupun non kayu serta penyelenggaraan wisata konservasi, pelestariannya kini marak digalakkan.
Sarana konservasi sekaligus wisata
Resijati, yang lebih dikenal sebagai Pak Jati dan yang juga petugas bagian konservasi dan edukasi, bercerita kepada Ekuatorial bahwa dirinya ikut berperan dalam membangun TWA Angke Kapuk.
“Saya dulu kan, mantan polisi kehutanan, kalo sekarang udah pensiun. Saya dikasih mandat oleh pak menteri waktu itu, Pak Prakosa, untuk bantu-bantu disini,” ujar pak Jati yang ketika itu masih menjabat Kepala Resort Polisi Kehutanan di Jakarta Utara.
TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk seluas 99,82 hektar yang dahulu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 1 Juni 1939.
Pada tahun 1997, PT. Murindra Karya Lestari yang pemiliknya Bambang haryo, seorang pensiunan kehutanan, diberikan ijin pengelolaan dengan tujuan mengembangkan kawasan tersebut sebagai sarana pariwisata alam sekaligus mempertahankan kelestarian fungsi hutan bakau sebagai sistem penyangga kehidupan.
Namun yang lebih berperan dalam konservasi hutan bakau adalah istri Bambang ini, Ibu Murni.
“Jadi yang paling konsen itu, Ibu Murni. Ibu murni yang menginginkan pengelolaan kawasan ditujukan untuk pembelajaran soal bakau,” ujar Resijati.

Arief Putra Swasana, yang baru sekitar setahun menjadi General Manager TWA Angke Kapuk, juga mengiyakan. Menurutnya, Ibu Murni yang kini telah almarhum, tidak ingin kawasan ini difokuskan hanya untuk bisnis semata, tapi juga untuk konservasi.
“Dulu almarhumah tidak ada pikiran bisnis. Ini murni untuk konservasi. Tidak melihat untung-ruginya. Semua fasilitas dibangun hanya untuk penghijauan,” tutur Arief. “Meskipun bu Murni telah wafat, visi misi itu tetap kami jaga, berjalan bareng untuk meningkatkan kawasan ini sebagai lokasi rekreasi, juga konservasi mangrove.”
Ia berujar bahwa bila saja ia berorientasi bisnis, maka sebenarnya beberapa lokasi bisa ia alih fungsikan menjadi penginapan & wahan bermain anak.
Sifat konservasi di taman wisata alam ini juga cukup kuat. Bahkan, untuk menebang satu pohon, Arief harus mendapat persetujuan komisaris. Setiap pohon harus dipertanggunjawabkan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Daun-daunnya pun dibiarkan membusuk menjadi humus.
“Ini bedanya kami dengan lokasi rekreasi lain yang kurang memikirkan konservasi. Apalagi, kawasan rekreasi disini tak lebih dari lima persen dari total kawasan,” ujarnya.
Dengan areal seluas 99, 82 Ha hanya 2 Ha saja yang diperuntukkan sebagai wahana bermain, penginapan, pembibitan. Sisa dibiarkan menjadi hutan alam.
Sistim zonasi juga digunakan, dengan menempatkan zona pemanfaatan di bagian terdepan, mulai dari pintu masuk hingga kawasan penginapan. Zona inti untuk konservasi, termasuk daerah penanaman dan pengamatan burung berada dibelakang sementara. Zona penyangga diperuntukkan bagi kegiatan lain, seperti pembibitan, dan pembuatan bronjong dan jalur sepeda.
Perjalanan panjang
Dulunya kawasan yang kini menjadi TWA Mangrove Angke Kapuk itu ramai dirambah petambak ilegal. Mereka membangun kolam-kolam ikan dan udang, merubah bentang alam dan merusak hutan bakau yang ada disana.
“Kondisinya dulu tak karu-karuan. Awalnya, karena ada istilahnya lahan tidur. Lahan tidur itu, kalau menurut masyarakat harus dimanfaatkan. Jangan dibiarkan terbengkalai. Lalu mereka beramai-ramai menggarapnya,” ujar Resijati sembari berjalan menyusuri kawasan TWA.
Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan kemudian mencoba membersihkan kawasan tersebut melalui operasi gabungan yang melibatkan sejumlah unsur, mulai dari polisi hutan hingga kepolisian.
“Saat itu, saya cuma sendiri, sementara yang ditangani sangat banyak. Nyawa saya ngeri-ngeri sedap, karena perambah mengancam, dimana mereka mengenal saya sebagai orang kepercayaan pengelola,” katanya.
Pengelola kemudian merubah strategi dan mencoba menjadi lebih persuasif, menjelaskan bahwa lahan yang mereka tempati adalah milik negara dan menawarkan uang kerohiman.
“Anehnya, saat dikasih duit kerohiman, mereka berebut, tapi tetap saja gak mau pergi. Mereka bertahan dengan menanam ikan di situ sampai 2006.”
Resijati kemudian meminta tambahan personel untuk membantunya berjaga-jaga dan iapun kemudian mendapatkan dua tenaga baru. “Sayangnya, teman-teman saya nggak ada yang betah, karena sepinya minta ampun. Waktu diberi 2 tenaga baru, yakni pak Dirman dan satu lagi yang ternyata penakut. Orangnya kabur mulu, begitu melihat ada yang datang membawa golok,” keluhnya.
Selain itu, akses menuju lokasi sangat buruk. Jalanan berlubang dan digenangi air laut. “Sekarang mah enak. Dulu aja, dari depan sampai ke sini, saya habis 2 motor. Rusak dimakan air asin. Korosi,” ujarnya.
Mereka kemudian mencoba dengan menjelaskan kepada 38 petambak liar yang ada disana mengenai ancaman pidana yang dapat mereka hadapai karena melanggar UU no. 5 tahun 1990 tentang Lingkungan Hidup.
“Ini ada ancaman 5 tahun penjara dan denda 100 juta. Saat itu, bahkan UU-nya saya fotocopy sendiri. Modal sendiri. Tiap Pagi saya jalan ke tambak mereka,” paparnya.
Tetapi, para petambak yang ternyata kemudian diketahui dibiayai orang lain yang memiliki pengaruh dan jejaring yang cukup kuat, tidak bergeming.
Akhirnya pada tahun 2007 dilancarkanlah operasi gabungan besar-besaran yang melibatkan sejumlah instansi, seperti; Polhut, Polri, TNI juga Pol PP setelah para penggarap liar itu diberi surat peringatan.
“Operasi yang cukup keras itu membuat satu persatu perambah pergi,” tutur Resijati. Enam dari mantan perambah tersebut kini bekerja sebagai pekerja harian lepas di TWA Angke Kapuk.
“Kebanyakan mantan petambak yang umumnya sudah berusia lanjut. Mereka kita rekrut sebagai pekerja di TWA,” ujar Arief dengan menambahkan bahwa mereka juga dibayar secara layak dan kesejahteraan mereka diperhatikan.
Setelah petambak pergi, selama dua bulan, tambak-tambak yang ada dihancurkan hingga air bisa mengalir lancar kembali. Setelahnya dilakukan pemagaran menggunakan materi ramah lingkungan, seperti kayu dan bambu. Kemudian dilanjutkan dengan pembibitan, termasuk mencari bibit-bibit bakau terbaik.
Namun kemudian persoalan muncul ketika ingin menanam bakau di tempat berlumpur dengan kedalam satu meter. Bibitnya tidak dapat tetap berdiri kokoh.
“Akhirnya kami menggunakan keranjang bekas arang. Keranjang diisi lumpur, baru ditanami pohon mangrove. Dan ternyata bisa hidup,” papar Resijati. Jarak tanam yang paling cocok bagi bakau, satu kali satu meter, juga diperoleh setelah melalui berbagai percobaan. Bibit bakau yang mati, segera diganti

Hanya dalam setahun saja pertumbuhannya langsung terlihat. Pohon bakau sudah bisa mencapai satu meter tingginya, dan akarnya langsung memanjang.
“Saat itu, kami kaget, ternyata metode ini membuahkan hasil. Cara itulah yang kami kerjakan sampai sekarang,” ujar Resijati.
Setelah gencar promosi wisata berbasis konservasi di tahun 2009, pengunjung TWA Angke mulai ramai. Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan sempat menanam bibit bakau disana.
“Di tahun 2010, bulan Januari, SBY kesini menanam mangrove, karena melihat ada foto kopassus menanam mangrove di kawasan ini,”ujar Resijati.
Benteng alam terakhir
TWA Mangrove Angke Kapuk ini merupakan benteng terakhir DKI Jakarta dalam melawan abrasi air laut dan naiknya gelombang pasang. Selain itu, intrusi air laut yang masuk ke ibu kota juga berkurang dengan adanya ekosistem hutan bakau.
“Ini kan, semacam bentengnya kota Jakarta. Meskipun saat ini sarana antisipasi banjir telah dilakukan, kawasan ini tetap diperlukan,” ujar Arief.
Sebelum TWA beroperasi, banjir besar yang melanda ibu kota menyisakan genangan dalam waktu lama, namun sejak adanya TWA banjir mulai berkurang.
“Saat banjir di Jakarta, disini mangrovenya belum banyak. Tahunnya sekitar 2000-an. Setelah mangrove tumbuh, abrasi tidak terjadi, karena ketahan oleh hutan mangrove,” papar Arief.
Namun, dari luasan TWA yang 99.82 hektar ini ternyata baru 30 persen yang berhasil dikembalikan menjadi kawasan hutan bakau. Karena itu, pengelola berharap dukungan semua pihak, baik perorangan maupun organisasi, termasuk pemerintah, untuk ikut berpartisipasi menghijaukan kawasan ini.
“Terus terang, kita perlu lebih banyak lagi hutan mangrove untuk mengurangi polusi, mencegah abrasi, dan menahan gelombang laut (tsunami),” katanya.
Berkat hutan bakau ini intrusi (masuknya air laut kedalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah) kini sudah jauh berkurang. Namun, jika dibandingkan antara luasan TWA dengan luas Kota Jakarta, “mungkin hanya berapa persen yang bisa kita serap dari intrusi air laut,” katanya.
Tak hanya itu, polusi udara juga tidak terjadi di TWA Angke Kapuk, karena hutan bakau menyerap CO2, sehingga dikenal sebagai penyerap emisi terbaik.
“Jadi kalo pagi, polusi disini tidak ada, karena semua diserap mangrove. Jadi cukup sehat disini”, kata Arief.
Hutan bakau yang airnya terlindungi ini juga mengundang banyak kehidupan biota laut, seperti ikan-ikan, udang dan kepiting. Ikan biasanya menggunakan kawasan bakau untuk bertelur. Mangrove juga terbukti mampu menahan sampah, atau zat-zat yang berbahaya bagi lingkungan.
“Bakau bisa menetralisir racun dari limbah. Karena itulah, saya menyebut mangrove sebagai banteng alami yang paling tepat untuk melindungi kota Jakarta,” ujar Arief.
TWA Angke Kapuk memiliki beberapa jenis tanaman, seperti Api-api (Avicennia marina), Bakau (Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa), Bidara (Sonneratia caseolaris), Buta-buta (Exocecaris agallocha), Cantinggi (Ceriops sp.) hingga Warakas (Acrosticum areum), hingga juga berfungsi sebagai green belt kota Jakarta.
Tetapi pohon Nipah (Nypa fruticans), yang dahulunya banyak terdapat di kawasan ini, tepatnya di bagian terluar yang berbatasan langsung dengan laut, kini sudah jarang ditemukan.
“Pohon nipah itu, seperti pohon kelapa. Buahnya seperti buah siwalan,” lanjut resijati dengan menambahkan bahwa pohon nipah ini mulai hilang ketika kawasan ini dijadikan tambak illegal dulu.

Namun saat berkeliling TWA, Ekuatorial beruntung bisa menemukan 1 pohon Nipah walaupun tingginya baru mencapai satu meter dan diperkirakan umurnya tak sampais satu tahun. Pohon itu terselip diantara bakau.
“Wah, kita beruntung, rupanya masih ada Nipah yang tumbuh disini. Semoga bisa sampai besar,” ujar Resijati.
Hutan bakau juga berperan sebagai penyerap emisi gas rumah kaca, dan mampu menyimpan sedikitnya tiga kali rata-rata karbon per hektar hutan tropis daratan.
“Mangrove kan seperti ozon. Jika kita bisa menambah pohon-pohon, maka secara tidak langsung, akan membuat atmosfir lebih dingin,” ujar Arief.
Sebanyak 78 persen karbon disimpan di dalam tanah, 20 persen disimpan di pohon hidup, akar atau biomassa, dan 2 persen lainnya tersimpan di pohon mati atau tumbang.
“Artinya, ketika sadar akan Bumi yang semakin panas, maka kita juga sadar akan pentingnya penghijauan. Fungsi mangrove untuk konservasi, seperti mencegah intruisi air laut, mengikat sendimen serta melindungi garis pantai dari abrasi dan tsunami, sebagai penyerap polutan memang terbukti,” katanya.
TWA Angke Kapuk juga menerapkan aturan dilarang memancing yang sangat ketat, dengan denda bagi pengunjung yang kedapatan membawa alat pancing. Resijati mengatakan bila ikannya habis dipancing, burung-burung pantai akan pergi.
Membuahkan hasil
TWA Mangrove Angke Kapuk mulai terlihat hidup di tahun 2010. “Lokasi ini kemudian menjadi habitat burung, ikan juga mulai banyak. Reptil seperti biawak, dan monyet juga mulai berdatangan,” ujar Arief usai melepas kunjungan siswa sekolah dasar.
Ketika musim dingin di Australia, burung-burung seperti Angsa Teritip (Branta leucopsis) hingga elang banyak melakukan migrasi kedaerah yang lebih panas, termasuk ke TWA Angke.
Kini, TWA Mangrove menjadi rumah bagi ratusan atau bahkan ribuan burung beraneka jenis yang umumnya burung merandai. Kebanyakan merupakan satwa yang dilindungi.
Beberapa diantaranya seperti: Belekok (Ardeola speciosa), Belibis (Dendrocygna arcuate), Cangak Abu (Ardea cinerea), Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris), Itik Benjut (Anas Gibberifrons), Kokokan Laut (Butorides striatus), Kowak Malam Abu (Nycticorax nycticorax), Gagang Bayam Timur (Himantopus leucocephalus).
Sementara untuk jenis elang, ada Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) dan Elang Tiram (Pandion haliaetus).
Juga tak ketinggalan burung Kuntul Kerbau (Bulbucus ibis), Kuntul Putih (Egretta sp.), Pecuk Ular Asia (Anhinga melanogaster), Raja Udang Biru (Alcedo coerulescens) dan Tangkar Centrong alias Murai Irian (Crypsirina temia).
“Burung dari P. Rambut juga datang kesini. Nyari makan lalu balik lagi kesana,” ujar Resijati mengacu kepada sebuah pulau di Kepulauan Seribu.
Ia mengatakan dahulu ia bahkan sempat menyaksikan beberapa satwa endemik, seperti Lutung Jawa dan kucing bakau, namun satwa ini kini sudah tidak dapat ditemukan lagi disana.
Pengelola TWA Ange Kapuk tidak keberatan jika konsep pelestarian ekosistem hutan bakaunya di replikasi di tempat lain, tentu saja dengan disesuaikan dengan karekteristik lokalnya.
“Konsep TWA direplikasi di kawasan lain di Jakarta sangat baik. Seharusnya mereka bukan meniru, tetapi menyesuaikan. Mereka boleh belajar dari kita, atau sebaliknya,” ujar Arief. “Intinya kita harus terus mengkampanyekan pentingnya pelestarian mangrove bagi kehidupan.”.
Bahaya plastik
Salah satu permasalahan besar yang masih dihadapi TWA Angke Kapuk ini adalah sampah plastik. Sampah yang terbawa aliran kali Angke maupun yang berasal dari laut, kerap berakhir tersangkut di akar- akar bakau.
“Musuh kita disini cuma satu, yaitu plastik. Karena jika plastik menutupi akar nafas pohon Api-Api, maka pohon itu akan mati”, ujar Resijati.
Untuk mengurangi sumber sampah plastic TWA sendiri tidak memperbolehkan pengunjung membawa makanan dari luar. Makan hanya bisa didapatkan dan disantap di kantin. Dengan demikian, sampah akan terpusat di satu lokasi saja.
“Pengunjung yang kebanyakan generasi muda perlu disadarkan akan bahaya plastik. Biar mereka tahu bahayanya sampah plastik, khususnya yang sekali pakai,” ujar Arief.
TWA juga hanya menjual plastik biodegradable untuk kemasan makanan minuman yang dijual disana. “Kita jualnya Rp500. Kemudian jika mereka butuh sedotan, kita berikan sedotan kertas. Dan kalo gelas, gelasnya terbuat dari kertas, bukan steroform,” papar Arief.
Meski aturannya cukup ketat dan banyak terpampang poster dan baliho ukuran besar dengah himbauan menjaga kebersihan lingkungan, kesadaran pengunjung nampaknya masih minim. Masih saja, sampah mudah ditemukan.
“Ya tetap saja, mereka membuang sampah sembarangan, Tapi itu tugas kami untuk membersihkannya”, kata Arief.

Program MERA
Data memperlihatkan bahwa hutan bakau di Indonesia telah jauh berkurang. Dari 3,5 juta hektar hutan bakau yang tersisa, 40 persen diantaranya mengalami kerusakan parah. Padahal sebelumnya, 21 persen dari total 15,2 juta hektar hutan mangrove dunia, ada di Indonesia.
Hal itu, seakan menegaskan diperlukannya pengelolaan hutan bakau secara terpadu untuk menjaga kelestariannya di masa mendatang.
Tahun lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta, bermitra dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk merestorasi ekosistem hutan bakau melalui program MERA (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance).
Program ini mengedepankan strategi adaptasi berbasis ekosistem, termasuk konservasi dan restorasi hutan bakau, yang mendapatkan prioritas alam meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pelestarian keanekaragaman hayati.
TWA Angke Kapuk, yang merupakan bagian dari Jakarta, pintu gerbang Indonesia, menjadi titik awal berjalannya program MERA. Tim telah melakukan kajian ilmiah dan merancang master plan untuk tahapan restorasi dan pengembangan hutan bakau Angke Kapuk.
Direktur Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (MERA), Imran Amin, memastikan program MERA tidak akan hanya di Jakarta, namun juga siap dikembangkan di daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Riau, dengan target luasan restorasi mencapai 500.000 Ha di seluruh Indonesia.
Bagi pengelola TWA Angke Kapuk, pogram MERA disikapi sebagai upaya menyatukan kembali titik titik hutan bakau di sepanjang teluk Jakarta. Nantinya kawasan itu akan terintegrasi sebagai lokasi wisata berbasis konservasi.
“Sepertinya ingin menjadikan mangrove di sekitar teluk Jakarta tersambung menjadi satu-kesatuan. Mulai dari mangrove suaka alam, hingga arboretum akan tersambung,” ujar Arief.
Bagi Imran, merestorasi kawasan hutan bakau tidak sekedar menjaga atau memelihara bakau yang ada, atau menanam bibit baru, tetapi lebih jauh tentang bagaimana mengembalikan fungsi ekosistem hutan bakau yang ideal. Pengelolaan kawasan hutan bakau melalui restorasi juga perlu dilakukan secara holistik dan terpadu, berbasis kawasan.
“Artinya tidak hanya terkait konservasi dan penanaman, tetapi soal pengelolaan kawasan terpadu yang tidak hanya berbasis ekosistem tetapi juga berbasis sosial,” ujar Imran.
Karena MERA merupakan program kolaboratif multi-pihak, pelaksananya tidak bisa bergerak sendiri atau secara parsial saja.
“Program MERA mengajak private sector, pengelola kawasan baik pemerintah (Pusat dan Daerah) maupun masyarakat untuk mendukung pelaksanaan restorasi mangrove secara terpadu dan holistik. Selain itu dilibatkan juga peran filantrofi dan individu maupun CSO. Bahkan dalam pelaksanaan kajian dan desain implementasi banyak melibatkan ahli dan universitas,” papar Imran.
Program MERA juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak termasuk berbagi informasi dengan para pemangku kepentingan yang terlibat.

Melalui program ini, masyarakat perlu disadarkan bahwa hutan bakau perlu dilestarikan karena ekosistem yang sebelumnya dianggap kurang bermanfaat oleh masyarakat bahkan pemerintah, ternyata memiliki banyak fungsi.
“Fungsi mangrove sangat penting sebagai penyangga keberlanjutan sistem hidup generasi manusia,” katanya.
Dalam program yang melibatkan banyak pihak ini, semua harus bergerak bersama. “Jadi harus terintegrasi. Semua harus ikut bergerak. Kita harus sadar, bahwa kita perlu berterima kasih kepada alam,” ujar Arief.
Sebagai contoh, TWA Angke Kapuk telah menjalin kerjasama dengan distributor motor PT Wahana Makmur Sejati (WMS), menargetkan penanaman 10,000 pohon bakau di TWA.
“Mereka ada program menanam 10 ribu batang. Jika membeli motor akan mendapat 1 pohon mangrove. Mereka mempercayakan kepada kami untuk mengelola penanamannya. Ini contoh yang sederhana,” pungkas Arief.
Hutan bakau kini disadari telah menjadi aset sektor pariwisata. Pemanfaatan kawasan bakau di Pantai Indah Kapuk juga mampu menyumbangkan penerimaan negara sebesar Rp1 miliar per tahun yang berasal dari pengunjung.
Dan ketika pengunjung telah mendatangi, melihat, dan merasakan langsung kondisi TWA Angke Kapuk, maka mereka diharapkan akan dapat memahami mengapa hutan bakau harus dilindungi, dan apa manfaatnya bagi kehidupan.
Hutan bakau, benteng pertahanan terakhir yang melindungi wilayah kota dari ancaman banjir rob, erosi, dan tsunami, sebagai penyaring air bersih, area pembiakan ikan, persinggahan burung, serta sumber pangan maupun perekonomian masyarakat sekitarnya, juga perlu dilindungi.