Bagi masyarakat Pedamaran Kabupaten OKI, lahan gambut merupakan jantung kehidupan. Baik kebergantungan ekonomi maupun kehidupan sosial. Namun dibukanya keran investasi lewat perluasan perkebunan sawit mengancam tidak hanya sumber pendapatan mereka, tapi juga kawasan rawa gambut yang mencapai luar 150 ribu hektar di kabupaten ini.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Suara.com pada tanggal 10 Desember 2019.

Oleh Ibrahim Arsyad

Meluasnya perkebunan kelapa sawit di daerah berawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, serta bencana kebakaran hutan dan lahan di musim kering, tidak saja menimbulkan kerusakan lingkungan tetapi juga mengancam kelangsungan tradisi dan mata pencaharian tambahan yang telah lama menunjang perekonomian masyarakat setempat.

Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir, khususnya kaum perempuan di Kecamatan Pedamaran dan Pampangan, sangat bergantung pada keberadaan kawasan rawa gambut. Warga dari suku Pandesak, misalnya, memiliki kerajinan warisan nenek moyang mereka yaitu menganyam tikar (berembak) berbahan baku purun (Eleocharis dulcis), tanaman yang tumbuh subur di kawasan rawa gambut.

“Perempuan Pedamaran, dipastikan bisa memurun. Jika tidak bisa memurun, dia biasanya orang luar atau besar di luar Pedamaran. Karena berembak merupakan tradisi yang sudah turun temurun,” kata Rusmi (50) yang ditemui saat menyelesaikan anyaman tikar di teras rumahnya yang berada di Desa Menang Raya pada Kamis (09/05/2019).

Rusmi, 50, warga Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menganyam tikar purun di sela waktu luang. Menganyam purun menjadi tradisi warga Pedamaran secara turun temurun, sekaligus menjadi penopang ekonomi warga setempat. Sumber: Ibrahim Arsyad.

 

Kepala Desa Menang Raya Suparedi mengatakan menganyam tikar purun merupakan tradisi yang masih kuat di kalangan perempuan daerah tersebut. Bahkan, kerajinan tikar purun menjadi penunjang ekonomi setempat yang penting. Namun menurutnya, pemerintah nampaknya belum serius melestarikan pasokan bahan bakunya.

“Purun ini menjadi salah satu penunjang ekonomi masyarakat Menang Raya, yang digeluti oleh ibu-ibu. Kerajinan ini sudah ada sejak lama yang terus turun temurun hingga sekarang,” katanya.

Namun saat ini, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit sangat memengaruhi pertumbuhan purun. Kondisi rawa sekarang sudah berubah dan memburuk, karena kerap kekurangan air karena adanya kanalisasi yang dilakukan pihak perusahaan. Dari perkiraan luas lahan yang ada di kawasan Lebak Purun (Arang Tetambun) yang sekitar 1.000 hektare, saat ini hanya kurang lebih 200 hektare saja yang masih bisa diakses warga.

“Sejak masuknya perkebunan kelapa sawit, warga tidak bisa mengambil purun yang berlokasi di dekat perkebunan karena mendapat pelarangan dari pihak perusahaan,” ujarnya.

Menurut data Jaringan Masyarakat Gambut (JMG) Sumsel, Kecamatan Pedamaran saat ini mulai dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Di antaranya milik PT Rambang Agro Jaya, PT Gading Cempaka, dan PT Sampoerna Agro. Derasnya keran investasi yang dibuka pemerintah daerah ternyata berdampak pada luasan kawasan gambut yang menjadi habitat purun. Jika sebelumnya kawasan gambut yang menjadi habitat purun seluas kurang lebih 3.000 hektare, kini tersisa 1.200 hektare.

“Namun, 1.000 hektare sebagian besar sudah masuk ke konsesi perusahaan dan yang tersisa bisa dimanfaatkan oleh masyarakat hanya 200 hektare,” kata Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Sumatra Selatan (JMGS) Sudarto Marelo, beberapa waktu lalu.

 

Bergantung pada rawa gambut

Bagi petani perempuan di Kecamatan Pedamaran, menganyam atau berambak tikar purun merupakan keterampilan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Dari luas area rawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir yang mencapai 150 ribu hektare, 120 ribu hektar di antaranya berada di kawasan Pedamaran.

Sebagaimana penduduk agraris pada umumnya, Masyarakat Pedamaran, dalam rantai perekonomian bertani tanaman padi tadah hujan hanya bisa menikmati panen setahun sekali. Namun, karena alamnya yang berawa gambut dan menjadi habitat tanaman purun, maka para petani menunjang kebutuhan ekonominya dengan kerajinan anyam tikar purun.

“Sehari-hari kami (ibu rumah tangga) ya menganyam tikar (purun). Ini (keterampilan mengayam) kami dapat dari gede (nenek) kami dulu,” ujar Depi (34) sambil memperlihatkan kelincahan jemarinya merajut helai-helai purun.

“Merata, perempuan di sini, bisa menganyam,” sambung ibu empat anak ini.

Pengerjaan tikar purun tergantung pada aktivitas domestik perempuan. Dalam sehari, rerata perempuan di Menang Raya bisa menyelesaikan tiga hingga empat helai tikar. Tidak banyak yang dapat diperoleh dari anyaman tikar ini.

Meski tingkat kerumitan terbilang tinggi, sehelai tikar berukuran 2×1 meter hanya dihargai pengepul Rp 10.000. Dari hasil penjualan tersebut, keuntungan dari jerih payah mereka hanya mencapai Rp 3.000 setiap helainya. Sementara, Rp 7.000 untuk menebus bahan baku tikar (purun).

Penyuluh Industri Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Kabupaten OKI Didi Iswardi mengakui pemerintah daerah tidak memiliki catatan produksi tikar purun atau turunan lainnya.

“Hingga saat ini, kami tidak memiliki catatan terkait produksi purun dan juga sebaran penjualannya,” kata Didi pada Jumat (10/05/2019) silam.

Namun, ia mengatakan pemerintah daerah terus memantau dan berupaya memaksimalkan potensi kerajinan purun sebagai sektor penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Salah satunya melalui pendampingan, sehingga kerajinan yang dihasilkan bukan hanya tikar, tetapi juga tas, dompet, topi, sandal dan bentuk lainnya.

Depi, 32, warga Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menganyam tikar purun di sela waktu luang. Sumber: Ibrahim Arsyad.

 

Sementara di Pampangan, petani perempuan dan ibu rumah tangga juga menunjang perekonomian keluarga mereka dengan mengolah susu (puan) kerbau ras Pampangan (Bubalus bubalis) yang hidup dan digembalakan di rawa-rawa, terutama di Desa Kuro dan Desa Bangsal.

Dari susu kerbau warga mengolahnya menjadi gula puan, sagon puan, juadah puan, srikaya puan dan minyak yang dikenal mereka sebagai minyak sapi.

“Olahan (susu kerbau rawa) ini sudah ada dari nenek-nenek kami. Dulu makanan ini dibuat ketika ada acara adat saja,” tutur seorang perajin susu kerbau rawa di Desa Kuro Sukenah (54) pada Sabtu (11/05/2019).

Setiap satu kilogram gula puan dijual dengan kisaran harga Rp 80.000, sementara sagon puan Rp 150.000 per kilogramnya. Sepuluh liter susu kerbau dapat menghasilkan empat kilogram gula atau sagon puan.

Kepala seksi Pembibitan dan Produksi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten OKI Zulkarnain memaparkan, populasi kerbau rawa ras Pampangan terus menurun.

“Dari hasil pemantauan, populasi kerbau rawa yang ada di daerah (OKI) ini, terus mengalami penurunan. Dalam setahun itu bisa mencapai ratusan penurunan populasinya,” katanya.

Populasi kerbau rawa ras Pampangan, menurutnya, saat ini kurang lebih 3.400 ekor.

“Sebanyak 1.500 ekor lainnya berada di Pangkalan Lampam, Kecamatan Jawi dan Kecamatan Pedamaran”, katanya.

 

Restorasi melalui kearifan lokal

Jauh sebelum hadirnya perkebunan kelapa sawit di wilayah Pedamaran (Pedamaran dan Pedamaran Timur), masyarakat menggunakan lahan secara arif. Bahkan, wilayah tersebut jauh dari peristiwa kebakaran.

Pemanfaatan secara arif dilakukan warga dengan menjadikan lahan gambut dangkal yang berbatasan dengan sungai untuk lahan persawahan dan menjadi habitat bagi tanaman purun.

Sedangkan kawasan lahan gambut dalam oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mencari ikan atau budidaya ikan air tawar. Namun, sejak keran investasi dibuka lebar untuk industri perkebunan kelapa sawit dan HPH, kawasan gambut di daerah ini hampir setiap tahun mengalami kebakaran, termasuk di tahun 2015 yang lalu.

Aktivitas industri perkebunan pun terus menggerus lahan produksi warga, termasuk lahan vegetasi tanaman purun dan juga memperburuk mutu lahan gambut.

“Ini akibat kanalisasi yang dilakukan, termasuk juga karakter sawit yang memang rakus air sehingga pada musim kemarau, lahan gambut cepat kering dan mudah terbakar,” ujar Pegiat JMG Sumsel, Sudarto.

Ia menyebutkan, berdasarkan data di Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Kehutanan, tercatat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Pedamaran antara lain, PT Tania Selatan (PIR Trans) dengan luas 4.205,68 hektare; PT Sampoerna Agro tbk luas 3.243,46 hektare); PT Telaga Hikmah I luas lahan 1.000 hektare; PT Telaga Himah II luas lahan 5.500 hektare, PT Gading Cempaka Graha 10.000 hektare; dan PT Cahandra Agro Teluk Gelam dan Pedamaran 7.500 hektare.

Untuk mempertahankan ekosistem rawa gambut yang menjadi sumber purun, JMG Sumatra Selatan mendesak pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan melestarikan bentang alam rawa gambut dengan tidak lagi mengeluarkan izin konsesi bagi perusahaan perkebunan.

“Pemerintah juga harus menetapkan area gambut purun sebagai kawasan pemanfaatan tradisional masyarakat Pedamaran, sehingga tidak bisa diganggu oleh pihak manapun,” harap putra asli setempat tersebut.

Suparedi menambahkan, dampak meningkatnya alih fungsi lahan di kecamatannya, sudah sangat dirasakan warganya yang mayoritas pengayam tikar purun. Menurutnya, kekinian, kawasan tempat mengambil purun sebagian besar sudah dikuasai perusahaan dan tidak bisa lagi bisa diakses warga.

Masih kata Suparedi, warganya bersama warga desa lainnya di Kecamatan Pedamaran sudah berulang kali menggelar aksi damai untuk mendesak bupati dan wakilnya di legislatif menerbitkan regulasi tentang perlindungan ekosistem gambut purun sehingga tidak dialihfungsikan.

“Mereka (kelompok tani perempuan Pedamaran) sekarang ini selalu berharap agar lahan budi daya purun (lebak purun) tidak dialihfungsikan, menjadi perkebunan kelapa sawit,” katanya.

Sementara itu, Kepala Desa Bangsal M Hasan mengungkapkan, kawasan rawa yang menjadi lokasi penggembalaan kerbau ras pampangan, juga terus berkurang akibat alih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Dia mencontohkan Desa Mangris, Kecamatan Pampangan, yang semula kawasan untuk gembala kerbau rawa, kini telah beralih menjadi perkebunan kelapa sawit milik PT Waringin Agro Jaya (WAJ).

“Tentu hal ini menjadi ancaman terhadap kerbau yang menjadi andalan warga sebagai penopang ekonomi. Mengingat, lahan (pengembalaan) terus berkurang.”

“Kami pernah menggagas untuk ternak di lahan kering untuk mengatasi kekurangan pakan. Tapi ternyata tidak sesuai harapan. Karena memang karakter kerbau ras Pampangan ini, lebih suka mencari makan di dalam rawa,” katanya.

Kerbau pampangan sedang makan di lebak rawa gambut. Kerbau ras pampangan ini sangat bergantung pada ekosistem rawa gambut, di mana susunya dimanfaatkan warga setempat sebagai bahan baku panganan pada acara pernikahan dan lainnya. Sumber: Ibrahim Arsyad.

 

Peneliti populasi kerbau rawa ras Pampangan dari Universitas Sriwijaya Arfan Abrar mengatakan, pada tahun 2010 populasi kerbau rawa yang sebarannya berada di Kabupaten OKI dan Banyuasin mencapai 15 ribu ekor.

Namun pada tahun 2019, populasinya tinggal sekitar 10 ribu ekor. Menurutnya, faktor penurunan populasi kerbau rawa ini karena kebutuhan industri dan masyarakat tidak memberikan perhatian serius.

“Seandainya masyarakat memanfaatkan kerbau rawa tersebut, mereka tidak lagi akan berpikir untuk membakar lahan rawa gambut. Kerbau jenis ini, sangat bergantung padarawa dan ini bisa menggerakkan ekonomi kerakyatan,” katanya.

“Ini juga momen adanya bufallo center untuk meningkatkan genetikanya. Kita tidak lagi berbicara UMKM, tapi masuk dalam industri,” imbuhnya.

Dinamisator Badan Restorasi Gambut (BRG) wilayah Sumatera Selatan, DD Sineba menyampaikan, dalam mengatasi permasalahan yang berkembang di areal lahan gambut untuk fungsi restorasi. Salah satu yang dilakukan adalah program Desa Peduli Gambut (DPG).

Program tersebut melibatkan mitra dan pemerintah daerah dalam mendorong masyarakat lokal mengelola lahan gambut berkelanjutan agar ekosistem gambut tidak terganggu. Gambut dari permukaan luar hingga lapisan terdalam, dapat menyerap gas karbon yang menjaga kestabilan iklim khususnya mencegah pemanasan global.

“Kalau kami melihat, kearifan lokal masyarakat lebih bisa diandalkan dalam menjaga ekosistem gambut. Katakanlah, kerajinan purun serta budi daya kerbau rawa di Kabupaten OKI. Dengan pengetahuan yang terbatas, mereka begitu peduli dengan alam sekitarnya,” katanya.

Pada Tahun 2015, bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di lahan gambut terjadi di area kurang lebih 650 ribu hektare dari luas bentang alam gambut di Sumsel, yang totalnya mencapai 1,2 juta hektare. Dengan rincian wilayah yang terbakar, 534.162 hektare berada di kawasan konsesi dan 120 ribu lebih di areal non-konsesi, baik itu kawasan konservasi maupun yang dikuasai masyarakat setempat.

“Dari kejadian itu juga, maka ada beberapa langkah-langkah yang harus kita lakukan. Selain merestorasi dan merehabilitasi lahan gambut, yang tidak kalah penting, bagaimana masyarakat sekitar mendapat nilai tambah, meningkatkan nilai ekonomi mereka di sekitar lahan gambut,” ujar Kabid Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumsel Regina Ariyanti yang ditemui di ruang kerjanya pada Rabu (22/05/2019).

Regina mengatakan, Pemprov Sumatra Selatan telah mengambil langkah konkret terkait perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut dengan menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Ekosistem Gambut dan turunannya berupa Pergub, serta juga Perda Pembakaran Lahan.

“Izin konsesi di kawasan gambut, juga masih dipetakan dengan detail lagi. Apakah perkebunan itu masuk kawasan konservasi atau apa? Ini perlu pendetailan sehingga tidak saling bertabrakan, semangat restorasi dengan investasi,” ujarnya.

M Fikri, warga Desa Kuro, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, memerah susu kerbau rawa ras pampangan miliknya. Sumber: Ibrahim Arsyad.

Implementasikan moratorium perizinan industri

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel M Chairul Sobri mengatakan karhutla yang terjadi di tahun 2015, harus menjadi pembelajaran pemerintah, khususnya pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Mereka harusnya menerapkan kebijakan moratorium perizinan terutama untuk industri rakus ruang, dengan melakukan audit dan meninjau kembali perizinan perkebunan, khususnya di lahan gambut.

“Kerusakan lahan gambut terbesar akibat kebakaran terjadi di kawasan konsesi (perkebunan hutan kayu dan kelapa sawit), yakni lebih dari 500 ribu hektare luasannya,” katanya.

Ia mengatakan, aktivitas perkebunan di Sumsel bukan saja berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga menjadi penyebab meningkatnya konflik agraria.

Sepanjang tahun 2018, tercatat 20 konflik agraria terjadi di Sumatera Selatan, antara masyarakat dengan perusahaan.

“Sejauh ini, langkah pemerintah dalam menjaga bentang alam gambut, tidak menyentuh pada akar rumput permasalahan. Belum lagi lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan perusak lingkungan,” katanya.

Berdasarkan analisis spasial Walhi Sumsel tahun 2016, penguasaan atas lahan gambut berdasarkan IUP mencapai setidaknya 62,03 persen dari luasan lahan gambut di Sumsel yaitu 1.202.495 hektare.

 

Summer data: WALHI Sumatera Selatan 2016. Visualisasi: Iqbal Asaputro/Suara.com

 

Analysis Spasial WALHI Sumatera Selatan 2016. Visualisasi: Iqbal Asaputro/Suara.com

 

Bagi Ketua Dewan Kehormatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Sumarjono, perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar dalam menyejahterakan masyarakat di propinsi tersebut.

Industri kelapa sawit Sumsel menyumbangkan 10 persen produksi CPO nasional yang mencapai 47 juta ton dan juga banyak membuka lapangan pekerjaan. Ia merujuk kepada data pada tahun 2015 yang memperlihatkan kurang lebih 335 ribu tenaga kerja berkarya di industri sawit.

“Kehadiran perkebunan kelapa sawit berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumsel,” ujarnya.

Ia mengatakan, perusahaan perkebunan kelapa sawit juga memiliki perhatian besar pada kawasan gambut. Perusahaan, ujarnya, tidak lepas tangan atas permasalahan yang timbul kawasan konsesi mereka.

“Tapi kalau berbicara soal gambut, ini luas. Banyak yang tidak diusahakan alias tidak bertuan dan ini menjadi tanggung jawab bersama. Terhadap kawasan konsesi (perkebunan kelapa sawit), pengusaha tentu akan bertanggung jawab di konsesinya.”

Sementara itu, Gubernur Sumsel Herman Deru mengakui, perkebunan kelapa sawit belum memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi petani di daerahnya. Selama masa kepemimpinannya, Herman akan mendorong pemprov melakukan terobosan dan lompatan kebijakan.

“Secara ekonomi sepertinya belum menjadi kebijakan prioritas. Kita belum melihat kebijakan radikal untuk lompatan. Pemerintah harus membuka diri juga secara bersama-sama pengusaha, merumuskan ekonomi apa sehingga perekonomian tumbuh dan ekonomi masyarakat juga bergerak,” ungkapnya.

Terobosan yang perlu dilakukan, menurut Herman, dengan menyerap produksi petani sawit untuk diolah menjadi alternatif pengganti solar atau premium. Menurutnya, jika ini digarap dengan serius akan sangat membantu masyarakat.

“Suplai sawit kita lebih dari cukup. Salah satu formula untuk mengimbangi tingginya produksi sawit di daerah kita, dibutuhkan peran pengusaha (investor),” katanya.

Meski begitu, ada harapan besar masyarakat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan gambut di Sumsel, seperti yang diinginkan Warga Desa Menang Raya Hasbi (50). Dia berharap, pemerintah tidak membuka izin di lahan budidaya purun yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat sekitar.

“Dengan lahan yang tersisa, kami berharap tidak ada lagi alihfungsi lahan yang tentunya ini dapat mengancam tradisi dari nenek moyang kami, dan sumber ekonomi bagi warga,” harapnya.

 

Liputan ini didukung oleh program Story Grants 2019 oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.