Penanaman hutan bakau untuk sementara bisa menahan laju abrasi secara lokal, kendati masih kalah cepat dari penggundulannya. Namun dalam pengembangan nya, hutan bakau memerlukan penopang yang dapat menangkal tendangan ombak, agar dapat tumbuh dengan baik.
Liputan ini telah terlebih dahulu diterbitkan oleh Tirto.id pada tanggal 24 Januari 2020.
Oleh Ronna Nirmala
Pada 1990-an, Sururi menghadapi usaha tambak bandeng dan udangnya tak lagi menguntungkan. Pendapatannya menjadi buruh migran sebagai kuli bangunan ke Malaysia juga tak mengubah ekonomi rumah tangganya. Perasaannya tambah kecut melihat kampungnya terkikis air laut dari waktu ke waktu.
Sepuluh tahun sebelumnya, Mangunharjo, wilayah pesisir Kota Semarang di Kecamatan Tugu, merupakan daerah hijau dengan garis pantai yang menjorok jauh dari rumahnya. “Dulu, jarak pantai dari rumah saya sekitar 1,6 kilometer. Lama-lama mundur,” delas Sururi.
“Di pertengahan 1990-an menjadi sekitar 400 meteran saja,” ucap Sururi kepada kami. Nelangsa itu mengubah tekadnya. Ia menolak tanah kelahirannya hilang akibat abrasi. Ia pun mendatangi pemerintah daerah untuk membantu penanaman bakau.
Sedikit demi sedikit bantuan datang. “Pertama kali menerima bibit dari pemerintah itu 100 ribu bibit setahun. Bantuannya datang bertahap,” katanya. Sururi mulai menanam bakau sekitar tahun 1997, dengan bantuan bibit yang diberikan oleh pemerintah Jawa Tengah dan Kementerian Kehutanan. Jumlah itu belum tentu berhasil tumbuh semua.
Menurut perhitungan Sururi, hanya 35 persen yang berhasil bertahan hidup sebab gelombang laut masih kencang dan menyapu bibit yang ditanam. Usahanya pun terhenti ditengah jalan.
Di tahun 2007, Sururi bertemu dengan Sudharto Hadi yang pada saat itu merupakan dosen dan pakar lingkungan hidup di Universitas Diponegoro. “(Untuk mendapatkan bibit) saya dibantu Pak Sudharto,” lanjutnya. Kini Sudhaorto menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro.
Tekad nya semula dicibir oleh tetangga dan warga sekitar, menganggap usaha penanaman bakau adalah kegiatan sia-sia, tidak menguntungkan secara ekonomi.
Waktu berlalu dan usahanya berbuah hasil. “Menurut pengukuran dari mahasiswa teknik sipil Universitas Diponegoro, jarak kampung ke tepi pantai kini hampir 1,4 km,” katanya. Kini, upayanya menanam bakau yang awalnya hanya untuk menyelamatkan desanya berubah menjadi ladang pencahariannya.
Tak sedikit orang yang mencari bibit Bakau ke tempatnya. “Kalau cuma 75 ribu bibit saja, setahun habis, kok,” ucapnya. Bermodal bakau, ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke universitas negeri.
Di Muara Gembong, kawasan pesisir utara di Bekasi, Jawa Barat, problem sama dihadapi oleh warga setempat. Mereka sadar ancaman abrasi telah mengikis daratan perkampungan dan karena itu mereka menanam bakau.
Kami bertemu Sanusi, Ketua RT Desa Pantai Bahagia, yang tengah mengikat potongan batang-batang bambu. Ia menargetkan 1.000 batang bambu sepanjang 60 sentimeter bisa selesai dalam dua hari. Seribu batang bambu itu nantinya dilengkapi seribu bibit pohon bakau jenis mangrove.
“Sudah ada yang bayar,” kata Sanusi kepada kami di halaman rumahnya, akhir November 2019. Sanusi dan beberapa warga lain adalah penyuplai bibit bakau siap tanam. Satu paket batang dengan bibit dijual seharga Rp7.000. Pemesannya dari individu biasa, pelajar dan mahasiswa, hingga perusahaan.
“Kalau mahasiswa biasanya cuma pesan 100-200 batang. Kalau perusahaan bisa ribuan,” katanya. Sejak lima tahun terakhir, pesanan bibit bakau mulai ramai. Biasanya pesanan menumpuk jelang pergantian tahun dan paling banyak dari perusahaan swasta maupun pelat merah.
Bibit yang disiapkan warga Desa Pantai Bahagia itu sebenarnya bakal kembali lagi ke mereka. Para pemesan biasanya akan menanam bibit di sekitar pesisir Pantai Muara Gembong.
“Mereka pesan, lalu tanam di sekitar sini. Nanti pas penanaman kami juga yang bantu,” katanya. Satu dekade terakhir, kejadian abrasi di sekitar desanya memicu perhatian banyak pihak.
Tak jarang beragam program penanaman mabakau untuk pendidikan maupun program tanggung jawab perusahaan (CSR) dilakukan di sana. Upaya itu tak serta-merta berhasil mengatasi persoalan air laut yang semakin mengikis daratan. Sama seperti di Demak, sebagian besar program penanaman itu gagal.
Sanusi menduga program penanaman dilakukan pada musim yang salah: musim barat, periode November sampai Januari. Pada periode itu, angin sedang ganas-ganasnya dan menciptakan ombak maha dahsyat. Bibit mangrove yang baru ditanam itu pun hanyut terbawa ombak. “Orang sini sih tetep ngurus. Tapi, kalau sampai ribuan susah juga,” kata Sanusi.
Butuh penopang
Peneliti Oseanografi dan Perubahan Iklim Global dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adi Purwananda, berkata jenis akar pada pohon bakau memang efektif menangkal ombak asalkan tidak sendirian, apalagi di daerah dengan abrasi yang sudah parah.
“Mustahil menanam bakau, ekspektasi 6 bulan sudah besar, belum tumbuh datang ombak besar, habis,” kata Adi. Menurut Adi, hutan bakau perlu penopang dan, dalam hal ini, salah satu yang dinilainya paling pas adalah pembangunan tanggul penangkis ombak.
Tapi, membangun tembok tak bisa asal-asalan. Harus ada pemetaan serius dari lintas pemangku kebijakan mengenai situasi abrasi dan topografi wilayah pesisir. Pembangunan tanggul harus diarahkan untuk merehabilitasi wilayah pesisir yang sebelumnya berkarakter abrasi menjadi akresi.
Maka, penelitian geologi untuk penyusunan peta wilayah harus dikerjakan terlebih dahulu demi menentukan wilayah mana yang memiliki karakteristik abrasi dan akresi. “Jangan sampai tanggul itu membuat satu wilayah mengalami akresi tapi menimbulkan abrasi yang lebih parah di titik lain. Ini harus hati-hati,” kata Adi.
Luas kawasan mangrove di Indonesia mencapai 2,9 juta hektare atau sekitar 27 persen dari keseluruhan total di dunia. Dari luasan ini, hanya sekitar 783.400 hektare menjadi kawasan lindung.
Centre for International Forestry Research (CIFOR) mencatat hutan mangrove Indonesia mampu menyimpan lima kali lebih banyak karbon dibandingkan hutan daratan. Sayangnya, 55.000 hektare mangrove di Indonesia menghilang setiap tahun.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat penyebab utama hilangnya kawasan mangrove di Indonesia adalah konversi lahan untuk tambak udang (Jawa Timur, Sulawesi, dan Sumatra), penebangan hutan, dan konversi lahan ke pertanian atau tambak garam (Jawa dan Sulawesi).
Hutan-hutan bakau yang hilang itu berusaha dihidupkan kembali oleh warga dan kelompok masyarakat di pesisir utara Jawa, sebagaimana telah dijalankan oleh warga Desa Pantai Bahagia di Muara Gembong maupun Sururi dari Mangunharjo, Semarang.
Benteng hutan bakau yang ditanam Sururi, misalnya, kini berhasil mendorong kembali bibir pantai menjauhi perkampungan. Dari hanya di sekitar rumahnya, luasan mangrove di desanya kini mencapai 80 hektare, mampu menahan abrasi.
Kendati Sururi bilang masih “sakit hati” bila mengingatkan ejekan masyarakat saat ia mulai menanam bakau sebagai perbuatan sia-sia, tetapi bagaimanapun, “sekarang semua pihak tinggal menikmati hasilnya saja.”
Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan.