Perempuan terkena dampak khusus dari pandemi Covid-19. Tetapi, kebijakan penanganan Covid-19 yang diambil pemerintah belum menyoroti hal ini secara detail.
Oleh May Rahmadi
Fajar belum menyingsing di Cileungsi, Bogor, tatkala Widya Astuti (36) berangkat dari rumah ke tempat kerjanya, Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Widya adalah seorang perawat pasien.
“Bangun setengah empat. Bangun lalu salat, lalu menyiapkan makanan pagi di rumah. Habis subuh, jam lima atau setengah enam aku jalan (ke kantor) naik kendaraan umum. Kalau pas barengan suami, ya aku bareng,” Widya bercerita kepada Ekuatorial, Rabu (1/4).
Bisa dikatakan, setengah hari dia gunakan untuk bekerja, seperempatnya untuk keluarga, dan seperempatnya lagi untuk istirahat. Di rumah, Widya masih harus mengurus anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Sampai rumah lagi itu jam 6 atau setengah 7 malam. Lalu sampai rumah aku balik lagi beberes, seperti nyuci piring, atau beresin apa yang dikerjakan anak, atau lainnya. Nanti aku tidur lebih awal karena memang sudah capek banget,” kata dia.
Di RSPI Sulianti Saroso, Widya bertugas di ruang isolasi bersama 28 perawat lainnya. Masa-masa pandemi Covid-19 ini membuatnya sibuk memantau dan merawat pasien secara intens. Widya mesti teus mencatat tanda-tanda vital pasien seperti tekanan darah, denyut nadi, dan suhu tubuh.
Widya juga wajib memastikan kebutuhan pasien terpenuhi. Dia kadang harua menyuapi pasien atau memapah mereka ke kamar mandi. “Satu perawat memegang dua pasien,” kata dia.
Ruang isolasi tempatnya bekerja itu hanya seluas sekitar 4×3 meter persegi. Satu kamar untuk satu pasien. Dilengkapi dengan ranjang, televisi, dan juga kamar mandi di dalam.
Di antara kamar, terdapat ruang penghubung bernama anteroom atau ruang antara, yang fungsinya sebagai kamar bagi perawat untuk bersalin Alat Pelindung Diri (APD).
Ruang isolasi berbeda dengan ruang perawatan biasa. Karena pasien di ruangan ini punya tingkat infeksi tinggi, perawat mesti memakai APD lengkap. Setelah memasuki satu kamar, baju yang dikenakan pun harus diganti yang baru. Itu sebab ada ruang antara atau anteroom.
Widya berada di ruang isolasi selama dua hingga tiga jam setiap harinya. Berkutat penuh dengan pasien. Setelah itu, dia masih harus mencermati catatan riwayat medis pasien di ruang perawat.
Menurut Widya, sebenarnya tak ada perbedaan penanganan pasien Covid-19 dengan pasien penyakit infeksi lain – seperti Flu Burung atau MERS. Tetapi, kondisi psikis pasien Covid-19 perlu penanganan khusus.
“Kondisi isolasi, itu kadang kan pasien nangis, ketakutan, karena keluarga tidak bisa datang, cuma bisa videocall atau telepon. Cuma kan orang sakit yang tidak bisa didatangi keluarga kan rasanya beda kan psikisnya,” ungkap Widya.
Kalau sudah begitu, yang biasa dia lakukan adalah mengajak pasien mengobrol. Sebagai bentuk hiburan untuk pasien, sesekali dia juga bernyanyi.
“Kami pernah merawat pasien WNA dan dia sudah lansia, dan sendirian di Indonesia. Itu kami bisa ngajakin nyanyi,” kata Widya. “Setiap kami masuk, dia nangis. Tapi habis itu, dia bilang ‘senang saya kalian bisa masuk ke sini. Saya nggak sendiri’.”
Momen seperti itulah yang bisa membayar keletihan Widya. Dia merasa bermanfaat karena pasiennya nyaman. Widya mengatakan, momen itu membuat lelah terasa hilang.
Tetapi, sebagai perawat, Widya sendiri tak mendapatkan pelayanan atau terapi kesehatan mental. “Kami kadang karena punya grup Whatsapp, paling saling menyemangati saja. Mungkin karena RSPI itu rumah sakit rujukan, dan kami sudah terbiasa seperti ini, yang HIV, TB resisten obat, itu kan isolasi juga. Sudah terbiasa ketemu dengan kasus-kasus infeksi jadi aku pikir teman-teman di sini juga psikisnya sudah terbiasa lah,” kata Widya.
Widya juga mengaku tak khawatir sekalipun tertular penyakit dari pasien yang dia rawat. Kata Widya, prosedur rumah sakit sudah cukup rumit dan aman. Salah satunya, wajib mandi setiap kali dari ruang isolasi. Dalam kondisi seperti ini, Widya bisa mandi lebih dari tiga kali dalam sehari.
“Setiap masuk ke kamar pasien itu kami mandi. Tiba-tiba pasien manggil lagi, kami masuk lagi, kami pakai baju hazmatnya, keluar, mandi lagi. Begitu. Setiap keluar ruang isolasi kami harus mandi. Sebelum pulang, kami harus mandi lagi untuk memakai baju kami yang untuk pulang ke rumah itu kan. Jadi insyaallah kami aman pulang, karena prosedurnya sudah cukup rumit, mandi berkali-kali juga kan. Lalu sampai rumah juga aku mandi lagi, karena kan di perjalanan juga,” katanya.
Journal of American Medical Association melakukan survei kesehatan mental para petugas medis yang merawat pasien Covid-19 yang memperlihatkan sekitar 50 persen dari 1.257 petugas kesehatan di 34 rumah sakit di China yang disurvei melaporkan gejala depresi, 45 persen menderika kecemasan, insomnia 34 persen dan tekanan psikologis 71,5 persen.
Studi yang hasilnya dirilis pada 23 Maret 2020 ini tersebut menunjukkan perawat perempuan mengalami gejala masalah kesehatan mental sangat parah. Mereka harus menyembunyikan perasaannya karena merawat pasien Covid-19 yang terus menerus berdatangan.
Para perawat perempuan berpotensi mengalami stres jangka panjang. Itu sebabnya, dalam kesimpulan penelitian tersebut, perlindungan terhadap petugas kesehatan – yang di dalamnya termasuk perlindungan kesehatan mental – merupakan elemen penting dalam penanganan pandemic Covid-19.
Kebijakan setengah hati
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memasukkan perawat dalam kelompok perempuan yang rentan terpapar Covid-19. Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin melalui pernyataan persnya mengatakan, peningkatan jumlah pasien Covid-19 tak sebanding dengan jumlah perawat. Di sisi lain, APD sangat terbatas.
“Mereka harus bekerja keras melampaui jam kerja, di tengah keterbatasan jaminan sosial, bahkan berhadapan dengan kemungkinan kesulitan tempat tinggal karena stigma lingkungan,” katanya.
Data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 2017 mencatat total ada 359.339 perawat. Sekitar 71 persen atau lebih dari 250.000 di antaranya adalah perempuan.
Selain perawat, Komnas Perempuan menilai, kelompok lain yang mudah terpapar adalah perempuan pekerja yang berada di lapis pelayanan langsung seperti kasir, resepsionis, layanan pelanggan (Customer Service), dan pemasaran (Marketing) atau penjual di pasar. Tidak semua dari mereka bisa menjaga jarak minimum dengan klien atau pembeli.
Tiga pekan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020, Komnas Perempuan menyerukan pentingnya pendekatan yang mengintegrasikan HAM dengan perlindungan khusus terhadap perempuan. Sebab, kebijakan penanganan Covid-19 berupa pembatasan jarak fisik dan sosial melahirkan dampak yang khas bagi perempuan.
Utamanya, terkait posisi perempuan dalam keluarga dan sebagai perempuan pekerja. “Kebijakan pembatasan sosial dapat menambah beban kerja berlapis terhadap perempuan, terutama sebagai ibu,” kata Mariana.
Pemerintah, sebelumnya, mengambil kebijakan jaga jarak fisik dan sosial yang diterjemahkan dengan kerja dari rumah atau pengurangan jam operasional disertai dengan pembayaran sebagian atau bahkan tanpa upah.
Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih memandang, kebijakan pembatasan jarak sosial dan fisik ini memberatkan bagi dirinya sebagai pekerja perempuan.
Sebab, dia harus membagi peran sebagai seorang ibu, pengurus di gerakan buruh sekaligus sebagai seorang mahasiswa. Sekalipun kerja domestik telah dibagi dengan pasangan, tetap saja dia merasa masih kewalahan.
“Agak kesulitan membagi waktu, karena pas kebetulan bersamaan dengan saya kuliah online, anak saya kan juga harus mengerjakan tugas online. Maka saya kuliahnya agak kurang konsentrasi karena harus membantu mengerjakan tugas anak saya dari sekolah. Dan di sela jam istirahat, tentu saja saya membangun komunikasi dengan anggota organisasi,” kata Jumisih.
Kendati demikian, dia tetap sepakat dengan kebijakan pembatasan jarak fisik dan sosial demi mengerem laju penyebaran Covid-19. Hanya saja yang dia sesalkan, pemerintah terkesan setengah hati menjalankan kebijakan tersebut. Ini terlihat dari pelbagai kebijakan yang tak disertai dengan perlindungan upah ataupun jaminan sosial.
“Di satu sisi menyampaikan social distancing, tapi perlindungannya atas keberlanjutan upah, kerja, dan keberlanjutan supaya bertahan hidup itu yang belum tampak jelas di pemerintah. Dan ini yang sebetulnya kami minta dari pemerintah,” kata Jumisih.
Jumisih berharap, pemerintah sungguh-sungguh memikirkan, bukan saja upaya penanganan Covid-19, melainkan juga perlindungan menyeluruh bagi para buruh. Dia menginginkan, kebijakan penanganan pandemi merata dan bisa dirasakan seluruh kalangan.
“Jadi pemerintah jangan setengah hati. Kalau memang mau work from home itu ya tidak diskriminatif, maksudnya, hanya orang-orang tertentu yang bisa. Seperti basis saya, yang mayoritas bekerja di garmen, itu ya tidak bisa,” kata Jumisih. “Harus diperhitungkan, bagaimana dampak terhadap PHK massal. Juga soal THR yang diterima buruh, karena situasinya juga akan sampai pada hari raya idul fitri.”
Setelah kebijakan jaga jarak fisik dan sosial berlaku, Jumisih mengaku, banyak buruh membuat aduan ke organisasinya. Mereka mengeluhkan perusahaan-perusahaan yang memutus hubungan kerja buruh kontrak.
“Jadi tidak diperpanjang oleh pengusaha karena ekspor impor tidak jalan. Minggu lalu, itu ada 30an anggota kami yang ter-PHK di Jakarta Utara,” kata Jumisih.
Dalam situasi pandemi Covid-19 ini – bertolok pada wabah sebelumnya – selain soal problem beban kerja berlapis dan kesejahteraan, perempuan juga menghadapi risiko paling tinggi terpapar karena perannya sebagai pengasuh dan petugas kesehatan. Ini diungkapkan Badan PBB untuk Kependudukan (UNFPA) melalui laman resminya ketika Ebola mewabah pada 2014-2016 di Afrika Barat.
Sementara kini, pandemi Covid-19 juga berpotensi menimbulkan dampak bagi perempuan. Penutupan sekolah akan meningkatkan beban perawatan rumah dan keluarga—yang masih dibebankan pada perempuan. Ketika perempuan kelelahan mengurus keluarga, rumah tangga dan aktivitas lain maka daya tahan tubuh cenderung melemah. Akibatnya, risiko terpapar virus pun akan kian rentan.
Pembatasan operasional yang memengaruhi industri jasa dan tenaga kerja informal juga banyak berdampak pada perempuan yang notabene mendominasi sektor-sektor ini. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 61 persen dari angkata kerja di Indonesia merupakan pekerja informal perempuan. Sementara sektor yang paling banyak menyerap pekerja perempuan, yaitu 53,86 persen adalah sektor ekonomi kreatif.
Komnas Perempuan mengeluarkan sejumlah rekomendasi agar pelbagai pihak melindungi para perempuan yang rentan terdampak Covid-19. Dua pihak yang terutama mendapat rekomendasi itu adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Kepada Gugus Tugas, Komnas Perempuan meminta disiapkannya pendekatan afirmasi dalam hal pencegahan Covid-19 terhadap kerentanan perempuan, mengembangkan layanan kesehatan mental, dan memastikan akses informasi ramah perempuan terkait penanggulangan Covid-19.
Kemudian untuk KPPPA, Komnas Perempuan menilai pemerintah perlu memastikan akses layanan berkualitas dan berprespektif inklusif dalam pendampingan. KPPPA juga perlu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi guna mengembangkan serta menyebarkan informasi berperspektif kesetaraan gender untuk mendorong praktik kesetaraan gender di ranah domestik.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga pun menyadari kerentanan perempuan semasa Covid-19. Dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI pada 10 April lalu, Bintang menyebut adanya peningkatan resiko terpaparnya Covid-19 pada perempuan. Tidak hanya itu, Bintang bahkan menyebut resiko kekerasan berbasis gender berpotensi meningkat.
“Dalam situasi pandemi COVID-19 ini risiko kekerasan berbasis gender (KGB) meningkat dipicu oleh tingkat stres akibat kondisi ekonomi dan beban ganda. Risiko keterpaparan juga tinggi pada pekerja perempuan di sektor pelayanan langsung, tenaga medis, perempuan miskin, lansia, dan disabilitas, serta pekerja migran Indonesia,” kata Bintang.
Kepada DPR, Bintang punya menyampaikan bakal menjadikan isu tersebut sebagai prioritas. Dia berjanji bakal mengubah fokus kegiatan dan merelokasi anggaran untuk kegiatan Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) demi melindungi para perempuan yang rentan.
“Refocusing kegiatan dan realokasi anggaran sebesar Rp3,6 Milyar akan diarahkan pada penyediaan materi KIE tentang pencegahan dan penanganan COVID-19 serta pemenuhan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak terdampak. Pendampingan dan perlindungan khusus anak korban COVID-19 serta bekerjasama dengan stakeholder terkait perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi perempuan,” jelas Bintang.
Ekuatorial.com mencoba menghubungi Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan di KPPPA Vennetia Ryckerens Danes untuk menanyakan progress perubahan kegiatan dan relokasi anggaran tersebut melalui telepon dan pesan singkat. Namun sampai saat ini belum ada respons dari pihaknya. Ekuatorial.