Masyarakat Batin Sembilan dan areal restorasi ekosistem Hutan Harapan di Jambi, membutuhkan hutan untuk kebutuhan hidup mereka, dan sebaliknya hutan pun perlu dijaga oleh masyarakat dan pengelola kawasan, agar tidak kembali gersang seperti pada masa lalu, ketika pembalakan liar marak terjadi.

Oleh Jon Afrizal

Pagi masih sangat dingin dan tetes embun masih menjejak di daun-daun pohon-pohon endemis Pulau Sumatera, ketika Nurmala (35), yang akrab disapa sebagai Mala, sudah sibuk memanen cabai rawit di sebuah kawasan dalam Hutan Harapan yang terletak di Kabupaten Batanghari, Jambi.

Sudah ketiga kalinya ia memanen cabai, sebuah cara baru memperoleh penghasilan bagi sekelompok kecil masyarakat Batin Sembilan yang berada di areal restorasi ekosistem Hutan Harapan.

Warga Batin Sembilan merupakan komunitas suku Anak Dalam yang hidup dalam 11 kelompok kecil di kawasan Hutan Harapan ini, dengan jumlah jiwa yang mencapai 1.000.

Mereka selama ini terbiasa untuk hidup berdampingan dengan hutan dan alam, menghidupi diri mereka dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti madu dari pohon Sialang, getah damar dan resin jernang. HHBK ini mereka panen secara berkala. Madu pohon Sialang, misalnya, di panen dua kali dalam sesuai waktunya, dengan rentang waktu antara yang mencukupi,

Selain penghasilan dari HHBK, masyarakat Batin Sembilan juga terbiasa untuk memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan sebagai obat-obatan. Seperti jahe yang biasa mereka gunakan untuk obat influenza, dan kantong semar (nepenthes) untuk batuk, sakit perut dan luka bakar. Juga pasak bumi (eurycomalongifolia), untuk demam panas dan malaria.

Mala yang menderita penyakit sejenis polip, kerap mencari tumbuhan yang ada di hutan, seperti jahe, misalnya, untuk mengurangi rasa sakit yang seringkali menyerangnya ketika hari hujan.

“Kami tidak harus selalu berpikir tentang konflik lahan. Kami harus tetap hidup,” kata Mala, di penghujung bulan Mei lalu.

Ia merujuk kepada konflik dengan para perambah hutan yang banyak membuka kawasan hutan disana untuk ditanami dengan kelapa sawit.

“Di Sungai Kelumpang, kami selalu berhadapan dengan para perambah yang ingin menanam sawit,” katanya.

Mala adalah satu dari 25 Kepala Keluarga (KK) anggota kelompok Lamban Jernang, yang mendiami kawasan Sungai Kelumpang Desa Bungku Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.

Anak-anak masyarakat adat Batin Sembilan yang berada di areal restorasi ekosistem Hutan Harapan. Areal ini adalah kawasan hidup mereka sejak lahir. Sumber: Jon Afrizal

Mitra restorasi ekosistem

Kelompok ini adalah salah satu dari empat kelompok masyarakat Batin Sembilan yang telah menjalin kemitraan dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) selaku pengeloa Hutan Harapan. Kelompok Lamban Jernang berdiam sekitar 1 kilometer dari camp Hutan Harapan yang dikelola PT REKI.

Tujuan dari kemitraan ini adalah untuk menyelaraskan tujuan kelompok kecil Batin Sembilan ini dengan tujuan restorasi ekositem itu sendiri.

Sebagai anggota kelompok yang telah bermitra dengan PT REKI, Mala dan beberapa anggota kelompok lainnya diminta oleh pihak pengelola untuk bercocok tanam di kawasan yang di sebut Simpang Rohani.

Untuk mencegah timbulnya konflik antar warga dan para perambah, PT REKI pun menganjurkan Mala dan beberapa anggota kelompok lainnya untuk becocok tanam di kawasan yang disebut Simpang Rohani, di pedalaman hutan sekitar 3 kilometer dari tempat ia dan tiga orang anaknya berdiam sebelumnya.

Areal seluas 1,5 hektar di Simpang Rohani ini sebenarnya adalah areal yang telah dibuka oleh perambah, tetapi perambah itu telah diusir oleh staf-staf divisi Perlindungan Hutan PT REKI.

Kini, Mala dan suaminya Pendi (60) sudah hampir satu tahun bermukim di Simpang Rohani . Mereka mendirikan pondok berbentuk rumah panggung dan menanam cabai dan berbagai sayur-mayur disana.

“Kami berharap ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami,” katanya.

Kawasan yang telah terlanjur dirambah, yang kemudian ditempati Mala dan keluarganya. Di bagian belakang rumah panggung mereka masih terlihat hutan yang rapat pepohonannya. Sumber: Jon Afrizal

Dari lahan yang ditanami dengan cabainya, yang hanya seperempat dari luas kawasan yang digarapnya, ia mampu menghasilkan sekitar 16 kilogram hingga 20 kilogram cabai rawit dalam satu kali panen. Dalam setahun ia bisa mendapatkan dua kali panen. Hasil panen itu biasanya ia jual ke seorang penampung yang mendatanginya seharga Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per kilogram.

Selain bertani, sisa waktunya biasanya ia gunakan untuk “Mandah”, tradisi masyarakat adat Batin Sembilan, yaitu masuk jauh kedalam hutan yang lebat untuk mengumpulkan hasil hutan, yang umumnya bukan kayu, sebagai penghasilan tambahan.

Bi Teguh (35), seorang perempuan Batin Sembilan lainnya, mengatakan “mandah” misalnya, termasuk untuk mencari getah damar jauh memasuki jantung Hutan Harapan. Kadangkala mandah ini dapat berlangsung selama hampir satu minggu, mengumpulkan , getah damar yang kuning kecoklatan dari sekitar pohon-pohon jenis shorea yang tumbang .

Empat kali mandah biasanya mampu menghasilkan sekitar 25 kilogram gumpalan-gumpalan getah damar seukuran kepalan tangan manusia. Gumpalan getah damar yang keras tersebut dijual Kelada penampung dengan harga Rp 2.000 per kilogram.

“Apa yang ada di hutan dapat dimanfaatkan. Asal jangan menebang kayu,” kata Mang Maliki (50), seorang lelaki warga Batin Sembilan.

Menurutnya, setiap kelompok yang melakukan “mandah” selalu saling memahami daerah “mandah” mereka, dan tidak saling berebut dengan kelompok lainnya.

Tapi, terkadang persoalan muncul kemudian di lapangan, ketika warga suku Melayu dari luar kawasan areal restorasi juga ikut melakukan kegiatan serupa. Mereka adalah masyarakat yang juga telah lama mendiami darah di sekitar kawasan, tetapi bukan bagian dari masyarakat Batin Sembilan.

“Selagi mereka tidak menebang pohon dan kemudian membuka lahan untuk berkebun sawit, kami memakluminya,” saut Mang Rusman (40), warga Batin Sembilan lainnya.

Mang Rusman, seorang warga Batin Sembilan yang tengah mengumpulkan damar hasil “mandah”. Mandah adalah tradisi mengumpukan hasil hutan bukan kayu yang dilakukan masyarakat adat itu secara turun temurun. Sumber: Jon Afrizal

Antisipasi perubahan iklim dan karhutla dengan bertani

Salah satu produk HHBK yang kini sedang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah madu pohon Sialang yang hanya dapat dipanen dua kali dalam setahun.

Pihak pengelola bahkan telah menjadikannya sebagai produk andalan Hutan Harapan, dengan mengolahnya hingga kadar airnya tinggal mencapai 20 persen.

Adi Kusuma (43), seorang warga Suku Melayu, kerap mencari madu pohon Sialang. Dalam sekali panen, ia mampu mengumpulkan sekitar 500 kilogram madu dari pohon tempat lebah (lebah menurut bahasa Batin Sembilan disebut medu) bersarang itu.

Setiap kilogramnya ia jual ke divisi komoditas bisnis Hutan Harapan dengan harga Rp 90.000. Lalu, dilakukan proses pengurangan kadar air, untuk selanjutnya dijual dalam kemasan oleh divisi komoditas bisnis Hutan Harapan dengan harga Rp 150.000 per kemasan satu kilogramnya.

Guna mengantisipasi perubahan iklim, seperti kemarau yang disertai dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pengelola Hutan Harapan menganjurkan masyarakat Batin Sembilan untuk bertani. Ini adalah hal yang baru bagi mereka. Sebab selama ini, mereka sangat bergantung kepada meramu dan mengumpulkan HHBK.

“Kami tidak mungkin membiarkan mereka tetap tertinggal jauh dengan masyarakat lain. Bertani adalah satu cara agar mereka maju,” kata direktur operasional PT REKI, Adam Aziz.

Perubahan tentu saja dilakukan secara perlahan, dan tidak bisa tergesa-gesa. Mala adalah salah satu dari sekitar 10 orang warga yang dianjurkan untuk bertani.

Areal yang diperuntukan bagi masyarakat adat itu untuk bertani adalah lahan yang telah terlanjur dibuka oleh perambah.

Sebagai hal yang baru, acap kali pihak pengelola menyediakan bibit. Bibit itu terkadang dibeli dari luar kawasan.

“Mereka umumnya butuh contoh. Jika mereka melihat seseorang dari kelompok mereka berhasil bertani, yang lain tentu akan mengikuti,” kata Adam.

Warga Batin Sembilan yang hendak memanen sawit.  Pihak pengelola perlahan-lahan tengah menertibkan warga asli yang bertanam sawit dengan membuka hutan. Sumber: Jon Afrizal

Keterlanjuran rusaknya area ini akibat perambahan hutan besar besaran di era 1970-an hingga 1990-an. Tingkat kerusakan yang mendekati separuh dari luas area restorasi ekosistem Hutan Harapan saat ini, telah mendorong beberapa lembaga swadaya masyarakat interational, nasional maupun lokal di awal tahun 2000 untuk menggagas agar hutan dataran rendah ini menjadi areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia.

Beberapa lembaga tersebut termasuk Royal Society for the Protection of Birds (RSPB), BirdLife International dan Burung Indonesia. Selanjutnya LSM ini membentuk Yayasan Konservasi Ekosistem Hutan Indonesia (KEHI) dan melakukan perumusan tujuan dari restorasi ekosistem pertama di Indonesia ini.

Setelah hampir lima tahun sejak inisiasi awal, maka pemerintah kemudian menetapkan areal yang terbentang di Provinsi Jambi (52.170 hektar) dan Sumatera Selatan (46.385 hektar) sebagai areal restorasi ekosistem Hutan Harapan. Melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut–II/2005, yang diterbitkan Menteri Kehutanan ketika itu MS Ka’ban, ditetapkanlah areal seluas 101.355 hektar ini di sebagai areal Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi.

“Sesuai namanya, areal ini adalah harapan bagi banyak orang terhadap lingkungan yang lebih baik di kemudian hari,” kata Presiden Direktur PT REKI, Mangarah Silalahi.

Menurutnya, tidak perlu merusak hutan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih. Tetapi, cukup dengan menjaganya agar kembali pulih seperti sebelumnya.

“Skema green economy telah banyak digagas di luar sana. Dan itulah yang sedang kami coba di sini,” katanya.

Satu cara untuk menjaga hutan ini, adalah dengan mengikutsertakan peran masyarakat adat setempat, termasuk dengan melibatkan hampir 50 orang dari masyarakat Batin Sembilan dalam Community Patrol (CP).

Selain itu juga telah dilakukan pola kemitraan terhadap masyarakat Batin Sembilan. Sebanyak empat kelompok kecil telah mendapatkan pendampingan untuk mengelola HHBK dengan baik, sehingga tidak ikut-ikutan berkebun sawit.

“Kami tidak anti-sawit. Tetapi, kondisi di lapangan telah membuat konflik tenurial berkepanjangan,” sambung Mangarah.

Bi Teguh, telah membangun kesadaran itu di kalangan kelompok perempuan Batin Sembilan. Ia telah berupaya untuk tetap menjaga tradisi turun temurun mereka yang bergantung dengan HHBK. Tentunya, dengan menjaga hutan.

“Mungkin banyak dari anggota kami yang tergiur untuk bertanam sawit. Tetapi, jika itu dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon atau membakar lahan, tentu saja itu merusak lingkungan hutan,” katanya.

Satu hal yang membantu meningkatkan kesadaran akan pentingya menjaga hutan adalah fakta bahwa desa-desa di sekitarnya sudah harus menggali sumur bor dengan kedalaman mencapai 20 meter untuk mendapatkan air bersih, Sungai-sungai kecil yang dahulu banyak mengaliri daerah ini kini banyak mengering setelah kawasan hutan ditebas untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Hutan Harapan adalah areal penyimpanan air. Jika hutan ini telah rusak, maka kekeringan secara massal akan melanda desa-desa di sekitarnya,” kata Adam Aziz.

Bi Teguh, acap kali mendatangi camp Hutan Harapan untuk meminta berbagai bibit tanaman. Tanpa dipaksa, ia menanami areal yang telah terlanjur terbuka dengan berbagai bibit-bibit pohon endemis seperti sungkai, mersawa dan tembesu.

Perlahan tapi pasti, beberapa perempuan Batin Sembilan pun mengikuti jejaknya. Satu diantaranya adalah Mala.

“Kesadaran mungkin muncul terlambat. Tetapi, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apapun,” kata Mala. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.