Undang-Undang (UU) Minerba lama telah meninggalkan banyak lubang tambang terbengkalai. Dibawah UU Minerba yang baru-baru ini direvisi, kondisi tersebut diprediksi akan menjadi lebih buruk.
Oleh May Rahmadi
JAKARTA. Revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR pada 12 Mei 2020 memberikan kelonggaran bagi perusahaan tambang batu bara hingga berpotensi membuat lebih banyak lubang tambang tak direklamasi.
“Kalau dulu harus ditutup keseluruhan,” kata peneliti Publish What You Pay Indonesia (PWYPI), sebuah koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan dan sumber daya alam, Aryanto, dalam konferensi pers yang diusung Koalisi Masyarakat #bersihkanindonesia Rabu (13/5/2020). Aryanto merujuk pada Pasal 99 yang direvisi dalam UU Minerba yang baru.
Menurutnya, hasil revisi terhadap pasal tersebut jelas memberikan kelonggaran kepada perusahaan. Pasal 99 Ayat (2) UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang lama menyatakan, pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.
Kemudian pada Ayat (3), peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan pemegang hak atas tanah.
Dalam Revisi Undang-undang tersebut, Ayat (3) menjadi “Dalam pelaksanaan Reklamasi yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan, pemegang IUP atau IUPK wajib: (a) memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi; dan (b) melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Aryanto menjelaskan, bunyi pasal 99 yang sudah direvisi itu membuat perusahaan tidak wajib menutup seluruh lubang pascatambang. Perusahaan wajib menutup lubang seluas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini peraturan pemerintah (PP).
“Bahasanya pasal 99-100 itu (dalam UU Minerba yang telah direvisi), lubang tambang itu ditutupnya berdasar presentase menurut peraturan perundang-undangan. Kalau dulu harus ditutup keseluruhan,” kata Aryanto.
Tapi sampai saat ini, belum ada PP turunan dari UU Minerba yang telah direvisi itu. PP turunan itu sendiri berpotensi memuat ketentuan bahwa lubang tambang tidak harus ditutup seluruhnya, karena Pasal 99 UU Minerba yang telah direvisi tidak menyatakan dengan tegas seluruh lubang tambang mesti direklamasi. Hanya ada frasa, ‘melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Bahaya lubang tambang
Kertas Kebijakan Reklamasi Lubang Tambang di Indonesia yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat sedikitnya terdapat 3.092 lubang tambang bekas batubara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi atau pemulihan pada tahun 2018.
Paling banyak berada di Kalimantan Timur, yakni 1.735 lubang. Wilayah lain yang juga tak kalah banyak memiliki lubang bekas tambang adalah Kalimantan Selatan dengan 814 lubang, Sumatera Selatan 163, Kalimantan Tengah 163,Jambi 59 serta Bengkulu 54. Kemudian diikuti wilayah Kalimantan Utara dengan 44 lubang tambang, Sumatera Barat 22, Riau 19, Lampung 9, Aceh 6, Banten 2 dan Sulawesi Selatan dengan 2 lubang tambang.
Jika merujuk pada UU No. 32 tahun 2009, para pengusaha bisa diberikan hukuman pidana akibat membiarkan lubang tambang tersebut menganga dan tidak melakukan reklamasi. Namun, pemberian sanksi pidana belum pernah dilakukan.
JATAM menilai perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak akan menerima sanksi pidana di kemudian hari karena UU Minerba yang baru yang telah disahkan oleh DPR tidak menjadikan pembiaran tersebut sebagai tindakan pidana lagi.
Kajian JATAM menjelaskan, lubang tambang yang tak direklamasi sangat berbahaya bagi masyarakat setempat. Lubang-lubang tersebut mengandung logam berat dan bahan beracun berbahaya. Sepanjang 2011-2019, berdasarkan catatan JATAM, ada 143 orang meninggal dunia akibat lubang tambang yang menganga.
Semuanya tewas akibat tenggelam di lubang tambang yang tidak ditutup kembali. Bahkan, 140 di antaranya adalah anak-anak.
JATAM juga menyebut ribuan lubang tambang itu bagaikan bom waktu yang kapan saja bisa membuat orang kehilangan nyawanya.
Auriga Nusantara mencatat berkat kelonggaran yang diperoleh perusahaan tambang batu bara dengan adanya revisi UU Minerba itu, maka luasan lubang bekas tambang batu bara yang terancam tak direklamasi akibat revisi UU Minerba mencapai 87.307 hektar.
Tidak konsisten dan tidak tegas
Koordinator JATAM Merah Johansyah mengatakan, sebenarnya dalam UU Minerba sebelum direvisi ada ketentuan yang tegas bahwa perusahaan wajib melakukan reklamasi atas lubang tambang. Akan tetapi masih begitu banyak lubang yang tak direklamasi sebagaimana mestinya.
“Dari dulu [tingkat keberhasilan] reklamasi dan pasca tambang harus 100 persen,” kata Merah saat dihubungi Ekuatorial.
Ada sejumlah faktor mengapa selama ini banyak lubang bekas tambang batu bara tidak direklamasi oleh perusahaan. Salah satunya terkait dengan sikap pemerintah yang tidak konsisten dan tidak tegas. Merah menjelaskan bahwa target reklamasi lubang tambang yang ditetapkan Kementerian ESDM setiap tahun tidak pernah tercapai.
Merah merujuk pada dokumen Capaian Kinerja 2019 dan Program 2020 oleh Kementrian ESDM. Dokumen tersebut menyatakan target terakhir yang ditetapkan untuk tahun 2019, target mencapai 6.950 hektare. Namun hanya terealisasi 6.748 hektare, seperti yang tertera pafa grafis dibawan ini.
Namun dalam laporan Kinerja Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM tahun 2019, target lahan bekas tambang yang harus direklamasi seluas 7.000 hektare. Dalam laporan dinyatakan bahwa reklamasi telah dilakukan terhadap 7.626 hektare atau melebihi target. Akan tetapi, tidak dijabarkan secara rinci lahan bekas tambang di daerah mana saja yang telah direklamasi.
Merah melanjutkan, jumlah lubang tambang yang direklamasi juga tidak sebanding dengan batas produksi yang kerap dilanggar.
Merah memberi contoh pada tahun 2018, batas produksi mestinya 413 juta ton batu bara. Namun produksi riil mencapai 477 juta ton. Begitu pula dengan tahun 2019. Batas produksi 489,7 juta ton, sementara produksi mencapai 502,6 juta ton.
Merah juga mengkritisi kewenangan Kementerian ESDM yang memberi izin tambang, tetapi juga mengawasi pelaksanaan reklamasi. Menurutnya, itu salah satu faktor mengapa selama ini perusahaan berani mengabaikan amanat undang-undang untuk melakukan reklamasi.
Menurut Merah, kewenangan Kementerian ESDM mengawasi pelaksanaan reklamasi atas lubang tambang mesti dicabut. Adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dinilainya punya peluang untuk menerima wewenang tersebut karena Kementerian ESDM sudah jelas terbukti tidak tegas dalam menjalankan amanat UU Minerba.
“ESDM juga yang kasih izin tambang, ESDM juga yang mengawasi reklamasi. Pasti akan kalah semangat pengawasan dan pemulihan dengan semangat mengeluarkan izin eksploitasi. Kecuali jika kewenangan ini ditarik dari ESDM,” kata Merah.
“KLHK harusnya lebih punya peluang, tapi belum ada riset memadai KLHK meskipun dia memiliki instrumen itu. Tapi sudah patut dipikirkan peran ESDM yang jelas gagal,” kata Merah.
Merah memprediksi bakal lebih banyak lubang bekas tambang batu bara yang tidak direklamasi oleh perusahaan terkait setelah Revisi UU Minerba disahkan. Sejumlah pasal memungkinkan korporasi untuk mengabaikan reklamasi tetapi tetap akan dapat memperoleh perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP).
Mengenai hal itu, DPR mengklaim Revisi UU Minerba sudah memuat pasal yang bisa menjawab kekhawatiran aktivis lingkungan hidup ihwal lubang tambang. DPR menyinggung Pasal 123A yang merupakan pasal baru dengan tiga ayat dalam Revisi UU Minerba.
Ayat (1) dan (2) mengatur kewajiban perusahaan melakukan reklamasi pasca-tambang dengan tingkat keberhasilan 100 persen.
“Pemegang IUP operasi produksi atau IUPK operasi produksi sebelumnya, sebelum menciutkan atau mengembalikan IUP atau IUPK-nya wajib melaksanakan reklamasi pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100 persen,” ucap Ketua Panitia Kerja DPR Bambang Wuryanto usai mengesahkan Revisi UU Minerba menjadi UU di DPR pada 11 Mei lalu.
“Jadi rekan-rekan yang bergerak di lingkungan hidup, saya sampaikan reklamasi menjadi tanggung jawab badan usaha yang mengusahakan tersebut di bawah pengawasan pemerintah tentunya. Clear, ya,” tambahnya.
Pasal 123A Ayat (1) berbunyi, Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebelum mengembalikan WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) atau WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus)-nya wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100%.
Kemudian Pasal 123A Ayat (2) dijelaskan bahwa, Eks pemegang IUP atau IUPK yang IUP atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% (seratus persen) serta menempatkan dana jaminan Pascatambang.
Merah tidak sepakat dengan ucapan Bambang. Bahkan menurutnya, DPR hanya melakukan prank kepada publik lewat Pasal 123A tersebut.
“Itu semua prank saja,” kata Merah.
Merah mengatakan Pasal 123A tidak akan berarti lantaran ada Pasal 99. Dia menjelaskan bahwa Pasal 99, terutama Ayat (3) butir a dan b jelas memberikan kelonggaran untuk perusahaan untuk tidak melakukan reklamasi pascatambang. ”Jadi memang Pasal 123 A itu adalah prank karena dianulir atau bertentangan oleh dan dengan pasal 99 di atasnya sendiri,” kata Merah.
Ketidaktegasan dan inkonsistensi pemerintah juga terlihat pada Pasal 169A dalam UU Minerba yang baru disahkan DPR. Pasal itu menjelaskan bahwa perusahaan pemilik Kontrak Karya (KK) dan Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi secara otomatis 2×10 tahun.
Merah menjelaskan bahwa pasal itu membuat perusahaan yang selama ini abai mereklamasi lubang tambang tetap dapat perpanjangan izin. Walhasil, akibat terburuk yang berpotensi terjadi adalah akan lebih banyak lubang tambang yang tak direklamasi atau dipulihkan karena perusahaan batu bara tak merasa memiliki kewajiban lagi setelah mendapat perpanjangan izin.
Padahal, seharusnya pemerintah lebih tegas dalam menindak perusahaan yang tidak melakukan reklamasi. Misalnya dengan dengan tidak memperpanjang izin. Namun, Pasal 169A itu justru malah menjamin perusahaan pemilik KK dan PKP2B mendapat perpanjangan izin.
“Tanpa melalukan moratorium izin tambang maka tidak akan pernah terjadi keseimbangan antara luas lahan yang sudah direklamasi dengan lahan yang akan dibuka,” kata Merah.
Ekuatorial sudah mengubungi Pelaksana Tugas Dirjen Minerba Kementerian ESDM Rida Mulyana untuk menanyakan nasib lubang tambang di tengah berlakunya UU Minerba yang baru. Namun, dia belum merespons sampai berita ini diterbitkan. Ekuatorial.