Sumber daya alam Indonesia mengalami kerusakan tidak hanya karena perubahan iklim dan aktifitas manusia, namun tindak pidana korupsi pun berperan besar.
Oleh May Rahmadi
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar, nampak terburu-buru. Dalam diskusi daring bertajuk ‘SDA Hancur, Korupsi Subur’ pada Selasa (14/7) lalu, Lili tak bisa mengikuti diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut. Ia mengaku ada rapat.
Tetapi eks Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban itu sempat menyampaikan beberapa hal mengenai isu korupsi Sumber Daya Alam (SDA). Ia mengatakan, data KPK menunjukkan ada ketimpangan parah. Dalam hal penguasaan kebun sawit, misalnya, 10 perusahaan menguasai lebih dari 2,5 juta hektar. Sedangkan, 2,1 juta pekebun sawit memiliki 4,7 juga hektar sisanya.
Ketimpangan juga terlihat dalam penguasaan hutan. Lebih dari 40 juta hektar hutan dimiliki perusahaan. “Sementara 1,7 juta yang dimiliki masyarakat,” kata Lili.
Sektor SDA ini merupakan hal penting. Ini berkaitan dengan isu agraria, lingkungan hidup, penataan ruang, kehutanan, pertambangan, pertanian, dan perkebunan, pertambangan dan energi, serta kelautan dan perikanan.
Lili menjelaskan, sektor tersebut adalah pendukung ekonomi nasional. Sektor SDA memberikan kontribusi sekitar 10,89 persen (Rp 1.408 triliun) dari total Product Domestic Bruto Indonesia 2017 (Rp 13,589 triliun). Selain itu, sektor ini menyerap tenaga kerja lebih dari 37 juta orang dan juga menyumbangkan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak senilai Rp 99,91 triliun.
Namun sektor SDA juga masih terus menjadi sasaran dan santapan para koruptor. Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha, ada empat titik rawan korupsi dalam sektor ini yaitu, perizinan, perencanaan tata ruang, manipulasi atau pengabaian kewajiban perusahaan seperti manipulasi pajak, royalty, transfer pricing, dan pada aspek pengawasan.
Riset ICW menunjukkan, sepanjang 2019, ada 271 kasus korupsi yang melibatkan 580 tersangka dan merugikan negara Rp 8,4 triliun. Dalam riset tersebut juga tercatat, ada nilai suap yang mencapai Rp 200 miliar.
Para pelaku korupsi itu adalah 26 pejabat Badan Usaha Milik Negara (Direktur Utama dan Staf), 45 Kepala Desa, 213 Aparatur Sipil Negara, dan 149 orang swasta.
Beberapa kasus di antaranya merupakan state capture corruption, yaitu korupsi politis yang sistemis melalui peran negara. Egi menjelaskan, korupsi jenis ini adalah perselingkuhan antara aktor bisnis dan pemerintah untuk memengaruhi kebijakan publik. Contohnya, kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1 yang melibatkan pejabat Perusahaan Listrik Negara (PLN), anggota DPR, dan pengusaha.
Ringkasnya, kasus tersebut merupakan kasus suap yang dilakukan pengusaha terhadap beberapa anggota DPR dengan tujuan mendapatkan proyek PLTU Riau 1. Dalam prosesnya, KPK menduga pejabat PLN juga turut berpartisipasi dalam kasus tersebut karena membantu anggota DPR menerima suap dari pengusaha.
Korupsi jenis ini kemungkinan akan terus terjadi. Sebab, banyak pengusaha batu bara yang juga menduduki jabatan publik. “Banyak elit kaya dalam industri batu bara yang terkoneksi atau menduduki jabatan publik, membuka celah konflik kepentingan dan terjadinya jenis korupsi state capture,” kata Egi.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengklaim, KPK telah memberikan perhatian khusus pada isu SDA ini. KPK memiliki program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA). Lili mengatakan, GNP-SDA terus melakukan compliance monitoring pelaku usaha, dengan audit kepatuhan yang meliputi aspek spasial, sosial, dan lingkungan, perbaikan sistem dan regulasi, koordinasi dan supervisi permasalahan lintas Kementerian/Lembaga.
GNP-SDA juga mendeteksi kasus khusus, melakukan terobosan kebijakan, dan debottlenecking (membuka penyumbatan) permasalahan. “Kita telah mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada K/L (kementerian/lembaga) untuk memperlakukan perbaikan apalagi sehubungan dengan strategi nasional untuk pencegahan tindak pidana korupsi terkait tiga hal, regulasi pengurusan izin tata niaga, penegakan hukum dan reformasi birokrasi, dan pengelolaan keuangan negara,” katanya.
Sektor SDA adalah sektor yang rawan dikorupsi dan salah satu penyumbang besar pada kerugian negara. Data ICW tahun 2019 menunjukkan, dari empat kasus korupsi pertambangan sepanjang tahun itu, negara mengalami kerugian mencapai Rp5,9 triliun. Sementara, sampai Mei 2020, KPK tengah menangani 27 kasus korupsi di sektor SDA.
Dikuasai oligark
Saat ini, tambang batu bara hanya dikuasai segelintir orang. Egi menyebut empat perusahaan besar menguasai sektor tambang batu bara yaitu Bumi Group, Indika Group, Adaro Group, dan Toba Group. Kesemua perusahaan itu memiliki hubungan erat dengan orang-orang di pemerintahan.
Ini yang kemudian menjadi gambaran bagaimana oligarki tambang bekerja. Egi menjelaskan, oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh orang yang memiliki kekayaan material.
Sedangkan oligark adalah individu yang menguasai konsentrasi besar sumber daya material. Sumber daya material, kemudian digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial yang eksklusif.
“Oligarki biasanya dimengerti sebagai pemerintahan yang dijalankan sedikit orang,” katanya. “Sedikit orang di sini itu mereka orang-orang kaya. The few tapi the wealthy. Oligarki tambang itu sedikit orang kaya yang menguasai tambang. Begitu juga oligarki lainnya.”
Oligark itu, Egi melanjutkan, mampu mengendalikan media, pemerintahan, partai politik, bahkan hukum, yang akhirnya mengakibatkan korupsi yang massif.
“Ada istilah crony capitalism, yang artinya, kedekatan antara pengusaha dengan penguasa. Industri cenderung rente, pengusaha mendapatkan keuntungan bila dekat dengan penguasa,” katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyah berpendapat, oligarki tambang akan terus langgeng karena ditopang dengan sistem politik di Indonesia. Ia menjelaskan berdasarkan riset KPK, untuk menjadi bupati atau Walikota di Indonesia membutuhkan biaya Rp 20 sampai Rp 30 milyar. Sedangkan, untuk menjadi Gubernur, butuh 100 milyar.
“Untuk menjadi presiden, bisa lebih banyak lagi. Sementara laporan harta kekaaan penyelenggara negara, mereka hanya melaporkan Rp 5 sampai Rp 6 milyar,” katanya. “Jadi ada gap. Gap itu diisi dari sponsor ijon politik. Pengusaha menemui kepala daerah, memberikan duit untuk sponsor, ditebus dengan izin-izin pertambangan,” katanya.
Dampaknya, ia melanjutkan, kualitas kampanye menjadi seragam. Kontestan pemilihan di seluruh daerah membicarakan isu yang sama.
“Visi misinya kurang lebih sama. Tidak ada yang bicara soal krisis SDA. Tidak ada satu pun yang bicara soal penghisapan SDA dan lingkungan hidup,” kata Merah.
Penguasa kolektif
Peneliti Sajogyo Institute Eko Cahyono menjelaskan, ada empat jenis oligarki menurut ilmuwan politik yang memiliki spesialisasi dalam studi oligarki, Jeffrey A. Winters. Yaitu, oligarki panglima, oligarki penguasa kolektif, oligarki sultanistik, dan oligarki sipil. Eko memandang, Indonesia cenderung memiliki oligarki penguasa kolektif.
“Realitas di Indonesia ciri-ciri umumnya mengarah pada jenis oligarki penguasa kolektif,” katanya.
Sebab, Eko melanjutkan, ada relasi kuasa yang kuat antara kuasa negara (eksekutif), legislatif, yudikatif, secara politik. Para elitnya diisi oleh mayoritas politisi cum pengusaha/pebisnis.
“Sekaligus dengan gurita kekayaan di banyak bidang dan lintas sektor. Punya media, sawit, tambang, rokok, dan lain-lain,” lanjutnya.
Kekayaan segelintir orang ini ada di tengah ketimpangan. Eko memaparkan, data Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan, 25 taipan sawit menguasai 5,1 juta hektar. “1 perusahaan sawit bisa menguasai 1,2 juta hektar,” katanya.
Sementara data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan, satu persen penduduk bisa menguasai 50 persen kekayaan alam Indonesia.
“Jadi masalahnya ketimpangan,” kata Eko.
Ketimpangan tersebut akan menjadi lebih parah jika Omnibus Law disahkan. Para oligark bisa mempertahankan kekayaan dan kekuasaannya lebih lama lagi.
Eko menerangkan, di pasal 127 bagian 4 Omnibus Law, misalnya, Hak Guna Usaha (HGU) akan diperpanjang sampai 90 tahun. “Di era Belanda saja maksimum 75 tahun. Jadi akan lebih buruk itu. Kalau Omnibus Law ini lolos, kita mundurnya itu bukan pada awal-awal merdeka, tapi lebih buruk dari era kolonial. Itu baru satu pasal saja,” katanya.
“Kalau Omnibus Law ini lolos, itu gemah ripah kepada oligarki SDA. Gemah ripah artinya kesejahteraan dan kemakmuran,” lanjutnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyan menambahkan, saat ini saja, 44 persen daratan Indonesia sudah dikapling oleh operasi pertambangan. Mulai dari minyak bumi dan gas alam, mineral, logam, batu bara, panas bumi.
“Belum lagi digabung dengan konsesi sawit dan lain-lain,” lanjutnya.