Undang-Undang sapu jagat yang digawangkan pemerintah sebagai pemulus investasi demi menggenjot ekonomi Indonesia ini tidak hanya melemahkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan namun juga akses masyarakat terhadap informasi dan partisipasi.

Oleh Ed Restian

JAKARTA. Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law oleh DPR pada 5 Oktober lalu terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan termasuk pegiat lingkungan. Undang-Undang yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi pada Rabu lalu dianggap memiliki banyak masalah dan berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring mengatakan UU Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan yang ada saat ini, khususnya terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Dulu kita masih punya namanya izin lingkungan. Sekarang izin lingkungan sudah dihapus. Dulu, izin lingkungan itu diberikan satu basis, artinya izin lingkungan itu dapat dibatalkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Itulah basis hak masyarakat untuk menggugat,” kata Raynaldo pada temu editor secara virtual yang diselenggarakan The Society of Environmental Journalists (SIEJ) pada Sabtu (17/10).

Lebih lanjut Raynaldo mengatakan bahwa UU Cipta Kerja melemahkan akses informasi dan akses partisipasi. UU tersebut menghapus Komisi Penilai Amdal (KPA) dan menggantinya dengan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat. Lingkup masyarakat dalam penyusunan AMDAL terbatas serta akses informasi hanya melalui media elektronik.

Berdasarkan kajian ICEL, hilangnya KPA akan berpotensi menjauhkan akses informasi baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah  terutama yang sulit terjangkau atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi dalam menyusun AMDAL.

Temuan ICEL lainnya yaitu berkaitan dengan UU No.  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur luas kawasan hutan  yang harus dipertahankan untuk setiap daerah aliran sungai atau pulau, yaitau miniaml 30% dari luas daerah tersebut. Ketentuan ini hilang dalam UU Cipta Kerja dan diubah menjadi “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harys dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.

Penelusuran ICEL juga menemukan kewajiban menetapkan setidaknya 30% kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai ini ada pada Pasal 17 ayat (5) UU26/2007 tentang Penataan Ruang, yaitu dalam rangka pelestarian lingkungan dalam konteks peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya, dalam tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai. Ketentuan ini pun di hapus dalam UU Cipta Kerja.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Teguh Surya mengatakan bahwa terdapat 3,5 juta hektar tutupan hutan alam di dalam izin sawit.

“Ini persoalan serius dengan perubahan pasal-pasal terkait undang-Undang Perkebunan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, sebenarnya tidak ada penekanan untuk tidak membuka hutan alam. Intinya, Undang-Undang Cipta Kerja juga tidak mampu mendorong, tidak mampu menjamin tercapainya komitmen iklim di Indonesia,” kata Teguh.

Teguh menambahkan dengan peraturan Undang-Undang Cipta Kerja maka dapat dipastikan akan ada percepatan dan penggundulan hutan-hutan alam yang ada di izin sawit.

Dengan adanya potensi ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel sebesar 17,4 juta kiloliter pada 2024, maka target maksimal deforestasi pada tahun 2025 dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sektor kehutanan sebesar 3,25 juta hektar terancam tidak tercapai.

“2025 sudah dipastikan akan gagal mencapai komitmen iklim karena sedikitnya ada 3,5 juta hektar yang dibabat. Sementara kuota deforestasi kita hanya 3.250.000 hektar di tahun 2030,”ujar Teguh.

Teguh menambahkan produktifitas sawit perkebunan rakyat masih jauh tertinggal dibandingkan swasta, Omnibus Law akan berpihak pada ekspansi dibandingkan intensifikasi.

“Produktivitas sawit kita masih rendah karena banyak yang illegal, tidak jelas proses pengakuan legalitas lahannya. Bahkan kalau kita lihat, jika kita percaya investasi bisa membangkitkan ekonomi, sawit adalah contoh buruk. Bagaimana kebun sawit luas itu, masyarakat tidak sejahtera,” kata Teguh.

Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Sumatera Barat merupakan empat provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam dengan luasan terbesar di luar peta indikatif penundaan pemberian izin baru.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero mengatakan dengan tegas bahwa Kalimantan Barat tidak akan memberikan izin baru demi mengawal moratorium sawit.

“Untuk yang sedang berlangsung sekarang, kebijakan pemerintah provinsi Kalimantan Barat terutama untuk mengawal moratorium, kami sangat tegas dan tidak ada keluar izin-izin baru,” kata Heronimus.

Hingga saat ini, berbagai kalangan termasuk buruh, mahasiswa dan pegiat lingkungan masih terus mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja.

Meski, Presiden dalam pernyataannya beberapa waktu lalu mempersilakan mereka yang menolak Undang-Undang ini untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Lebih dari 4,000 pengunjuk rasa ditangkap saat melakukan aksi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang berlangsung selama 3 hari berturut-turut pada 6-8 Oktober di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.