Selama lebih dari dua dekade, Desa Belanti, Kabupate Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan merupakan salah satu pemasok beras terbesar, sebelum desa yang memiiliki ekosistem gambut dan lahan lebak ini terendam dan tak lagi bisa diolah sejak dibangun nya sistem kanalisasi oleh perusahaan sawit.

Oleh Ibrahim Arsyad

Jauh sebelum kokok ayam terdengar di pagi hari minggu (12/09/2020) Syarifudin (63), dibantu istri yang nikahinya 40 tahun silam itu, telah sibuk mengemasi kotak styrofoam untuk diisi balur (ikan asin sepat) hasil tangkapan pekan lalu. Anak dan cucunya, masih terlelap dibalik kelambu yang mulai pudar dimakan waktu untuk menahan serangan nyamuk dan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang di Desa Belanti, Sumatera Selatan.

Minggu pagi, adalah waktu yang paling ditunggu Syarif, begitu ia akrab disapa. Hari itu ia bersama istrinya berdagang ikan balur di pasar desa yang hanya berlangsung setengah hari di hari Minggu saja. Hasil penjualan hari itu, langsung dibelikan kebutuhan pokok seperti garam, bumbu penyedap, gula, kopi, minyak goreng, gas 3 kg, dan kebutuhan pokok lainnya.

Desa Belanti, di Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) secara administrasi melingkupi dua RT yakni RT07 dan RT08 yang terletak di daerah berawa. Lebih kurang ada 60 kepala keluarga (KK) di desa di mana perahu menjadi satu-satunya alat transportasi warga dalam keseharian mereka.

“Dulu, tempat kami tinggal ini (lebak/rawa) adalah daratan. Untuk  mengangkut hasil panenan dari rumah setelah di jemur ke pabrik penggilingan padi menggunakan mobil engkel. Tapi sejak lebih dari 10 tahun, daerah ini tenggelam, terlebih di musim penghujan,” kenang Syarif disela sela kesibukannya mempersiapkan mesin perahu berkapasitas tiga orang yang digunakannya mengangkut balur ke kalangan (pasar tradisional seminggu sekali).

Syarif, tidak pernah membayangkan bahwa Belanti, desa yang menjadi pilihannya bertempat tinggal setelah menikah pada 1983 akan menjadi danau rawa.

Kediaman Syarifudin (kiri) di Desa Belanti, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI, Sumsel, tahun 2019 terendam setinggi mata kaki. Foto: Dokumentasi WALHI Sumsel Credit: Courtesy of WALHI South Sumatera Credit: Courtesy of WALHI South Sumatera

Dulu, mereka hidup guyub sebagai petani tadah hujan dengan hasil yang melimpah. Lahan satu hektar di wilayah ini dapat menghasilkan panen hingga 10 ton gabah (basah). Namun, masuknya perusahaan kelapa sawit PT Waringin Agro Jaya (WAJ) di sebelah utara desa di tahun 2007 mengubah segalanya.

Kanalisasi perusahaan menembok aliran sungai alam di Ulak Pati, Kecamatan Pampangan yang mengakibatkan air tidak bisa mengalir dan tercurah semuanya ke daerah yang dulunya menjadi lumbung padi Desa Belanti.

“Saya bisa bilang begini, karena setelah saya menikah di tahun awal 80an, saya sudah menetap di sini, bercocok tanam dan mencari ikan di sini untuk kebutuhan hidup saya dan keluarga. Belum seperti sekarang, sudah tenggelam,” tuturnya dengan nada yang sedikit tinggi. “Di sini ada dua RT, yakni RT 7 dan RT 8 jumlah KK dulu bisa mencapai 100. Sekarang hanya 60 KK selebihnya pindah, karena memang lahan dan tempat tinggal kami ini sudah seperti danau. Tidak layak untuk ditinggali,” imbuhnya.

Apa yang disampaikan Syarif, dibenarkan oleh R. Dini (60) tokoh masyarakat Desa Belanti. Ia menyebutkan, Desa Belanti luasannya mencapai kurang lebih 3.000 hektar dan dari luasan tersebut, yang digarap warga hanya mencapai 20 persen, dengan memanfaatkan pematang (tanggul) untuk menabur benih dan menanam padi.

“Memang sejak masuknya perusahaan semua berubah. Sawah berubah menjadi danau. Ini dampak tertemboknya (sungai) di Ulak Pati, Pampangan sehingga aliran air tidak keluar,” tuturnya.

Padahal, sebelum adanya perusahaan kelapa sawit lanjut R. Dini, Desa Belanti adalah salah satu pemasok beras terbesar pada tahun 80 hingga awal tahun 2000-an. “Dulu, waktu saya masih berdagang beras ke Palembang, kalau petani di Belanti panen, harga beras langsung turun. Karena pasokan beras berlimpah,” kenangnya.

Menurutnya, semua itu kini tinggal kenangan. Saat ini lahan persawahan yang dimiliki warga rata-rata tidak sampai sembilan lining atau satu hektar.

Satu lining itu kira-kira sama dengan 20×20 meter.

Petani di Desa Belanti, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI, Sumsel, saat mengolah balur (ikan asin sepat) yang menjadi tumpuan ekonomi warga setempat selain padi. Foto: Dokumentasi WALHI Sumsel Credit: Courtesy of WALHI South Sumatera Credit: Courtesy of WALHI South Sumatera

Tak ada padi ditanam

September seharusnya menjadi bulan yang dinantikan Syarif dan keluarga untuk memanen padi. Namun dua kali ia menabur benih tahun ini dan padinya tidak tumbuh akibat tingginya air yang masih menggenangi lahan persawahannya. Bukan hanya dirinya, tetapi banyak petani lainnya mengalami nasib serupa.

“Tahun ini ada dua kali kami buat bibit padi. Tapi rusak tidak bisa ditanam,” katanya tegar.

Ia juga menjelaskan, kalaupun bisa ditanami itupun sudah terlambat. Menurutnya, di dataran sistem tanam pasang surut bulan sembilan ke atas, bukan lagi waktu yang tepat untuk menabur benih atau menanam padi karena hanya akan menjadi santapan hama.

“Kalau surut, bisa saja kalau mau ditanami, tapi begitu tumbuh dan mau berbuah habis di makan hama seperti hama tikus,” jelasnya.

Dalam situasi ini, ia hanya  mengandalkan simpanan hasil panenan tahun lalu, ketika ia mampu menghasilkan 10 ton padi. Melihat hasil panen tahun lalu itu, ia bersemangat untuk kembali menanam padi, tapi rupanya alam tidak mendukung.

“Ini bukan bencana alam. Tapi alam sengaja dibencanakan, di rusak,” tegas Syarif.

Kondisi ekonomi yang tidak menentu, membuat dua cucunya Kamanjaka (14) dan Karnila (17) hanya dapat menamatkan bangku Sekolah Dasar saja. Menurut Syarif, warga di sekitar Lebak Belanti, hampir rata-rata putus sekolah atau hanya menamatkan sekolah dasar saja.

“Kasihan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada biaya,” ujarnya.

Anak-anak di Desa Belanti, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI, Sumsel, asik bermain perahu di sekitar rumahnya. Nyaris sehari-hari mereka tidak pernah bermain di daratan. Foto: Ibrahim Arsyad Credit: Ibrahim Arsyad Credit: Ibrahim Arsyad

Rabani (53), petani dari Suka Menang, desa tetangga Lebak Belanti yang juga kerap menanam padi di daerah Lebak Belanti, juga mengalami gagal semai. Ia bahkan sempat menabur benih hingga tiga kali, di sawahnya yang hingga kini tetap tergenang air.

Ia pun  kemudian memutuskan menggarap lahan yang disewanya di Kecamatan Jejawi, kurang lebih satu jam ditempuh dengan kendaraan bermotor dari rumahnya. Di tanah kelahiran Hatta Rajasa, besan Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono itu,  ia memilih menanam padi hitam.

“Alhamdulillah, padi hitam kami sudah bisa dipanen. Tahun ini saya hanya menanam padi setengah hektar. Cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel)l M Khairul Sobri mengatakan, dari data yang dimilikinya, setidaknya 2.708 hektar lahan persawahan petani di Desa Belanti, tenggelam sejak 10 tahun silam akibat aktivitas perkebunan kelapa sawit PT WAJ.

Perusahaan perkebunan sawit yang mulai beroperasi pada 2007 atas izin Bupati Ogan Komering Ilir pada tahun 2008 ini, berlokasi di Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 26.000 hektrar di Kecamatan Sirah Pulau Padang, Pampangan, dan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

“Pada tahun 2008 keseluruhan lahan Lebak Belanti, sekitar 2.708 ha tenggelam. Tidak ada jalan keluar air di areal lebak tersebut seperti tertebat. Sampai saat ini area tersebut sudah 10 tahun lamanya tergenang air dan ditumbuhi setedok atau rumput malu setebal 1,5 meter,” ujar Khairul Sobri yang kerap disapa Eep.

WALHI Sumsel menyebutkan, kanalisasi yang dilakukan PT WAJ tersebut menyebabkan rusaknya bentang alam, termasuk pada lahan pertanian masyarakat. Dampak rusaknya lahan pertanian pada perekonomian masyarakat dirasakan di Desa Belanti, Ulak Jermun, Ulak Keman, Keman Baru, Jembawan, Teloko, Tanjung Menang dan Sepang.

Buka tutup air perkebunan

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten OKI, Sahrul Sodri tidak menampik adanya dampak operasi perusahaan itu terhadap petani. Disebutkan, dampak paling besar itu di terlihat di Kayuagung, SP Padang, Jejawi, dan Pampangan.

“Hal itu terjadi karena saat kita (petani) butuh air mereka tutup, saat banjir mereka buka. Dan antisipasi kita biar semua bisa jalan, pengaturan buka tutup pintu air harus ada kerjasama. Kita juga terus dorong perusahaan untuk memperhatikan jalur air untuk petani,” katanya.

Ironisnya, meski ia mengaku mengetahui kondisi yang menimpa lahan pertanian warga akibat aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit, Sahrul berdalih hingga kini ia belum mendapatkan laporan dari warga terutama yang terdampak.

“Dampak dari kanal itu pasti ada. Seperti di SP Padang, itu kan airnya tidak kering dampak kanal itu tadi. Tinggal lagi cari penyelesaian masalahnya, dan itu harus duduk bersama,” imbuhnya.

Meski adanya permasalahan tergenangnya persawahan ini, Sahrul mengatakan  target hasil pertanian pangan di Kabupaten OKI masih bisa dicapai. Sasaran pemerintah tahun ini mencapai 874.869 ton gabah kering giling, dan 557.729 ton beras. “Setiap tahun kita terus meningkat sekitar lima persen. Pencapaian tahun ini belum selesai, karena musim panen masih berlangsung. Tahun-tahun kemarin meningkat terus ,” ujarnya.

Ia menjelaskan, upaya pemerintah menjaga produksi pertanian di OKI, adalah dengan menyalurkan bantuan mulai dari sarana produksi, berupa benih, dan pupuk. Kemudian alat pertanian seperti alat membajak sawah, mesin pemanen padi, dan sumur bor.

Agar tercapainya target produksi pangan, terutama padi, Sahrul mengatakan petani juga harus berusaha sendiri mencari lokasi yang bisa ditanam. “Kemudian program cetak sawah juga ada. Ini biasanya usul dari kelompok tani dan bisa kita realisasikan,” paparnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten OKI, Alamsyah, mengatakan, dalam aktivitasnya perusahaan perkebunan kelapa sawit umumnya membangun dua jenis kanal. Ada kanal untuk kebun, dan ada kanal Karhutla atau sekat bakar terutama bila perkebunan berada di lahan gambut.

“Untuk Karhutla ini umumnya ada sekat, kalau kemarau ditutup supaya air tertahan sehingga kadar air di gambut itu stabil di angka 30 atau 40 cm kalau musim hujan dibuka. Rata-rata mereka sudah menerapkan karena semua punya kepentingan dan takut juga mereka lahan mereka terbakar,” ungkap Alamsyah.

Ia mengatakan, aktivitas perkebunan pasti ada dampak ke lingkungan karena adanya sesuatu yang  dirubah dari penggunaan atau fungsi awal daerah. “Sepele saja misal, sungai di dekat kantor ini dibandingkan dulu dengan sekarang. Sekarang lebih sering kering dari pada berair. Semua pasti berdampak, tapi kalau signifikan atau tidaknya itu butuh kajian. Perusahaan ada Amdal. Artinya, aktivitas mereka dianggap tidak merusak secara luas,” katanya.

Menurut Alamsyah, banyak hal yang menyebabkan siklus air berubah, bukan hanya akibat aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit, melainkan bisa juga dampak dari pembangunan infrastuktur misal jalan Kayuagung (sepucuk), dan jalan tol.

“Memang mereka buat jembatan, tapi akses yang mereka gunakan untuk membawa alat dulu tidak dibongkar. Termasuk Tol Kayuagung-Palembang. Dampak ini memang tidak mungkin bisa dihilangkan tapi kita bisa meminimalisir, agar bagaimana itu banjir tidak terlalu dalam. Kalau pengen disamakan dengan zona awal itu tidak mungkin,” katanya.

Alamsyah melanjutkan, semua perusahaan perkebunan sawit harus menerapkan sistem kanalisasi dan buka tutup air di area sekitar perkebunan. Hal ini akan diperiksa oleh Dinas Perkebunan maupun  kepolisian setempat.

“Itu ada aturan di Permentan, ada standarnya. Mereka juga harus bangun menara api, embung. Embung ini ada tergantung kebutuhan, dan biasanya kebun yang luas ada embung,” bebernya.

Terkait sanksi terhadap perusahaan, dikatakan bahwa rata-rata perusahaan di OKI, termasuk PT WAJ, pernah dikenai sanksi administratif. Semua sanksi yang dijatuhkan oleh DLH Provinsi dan Kementerian LHK, terkait dengan Karhutla.

“Pengawasan kita juga lakukan, ada per semester dan per tahun. Seperti yang saya katakan tadi, dampak pasti ada tapi berapa persen itu yang masih butuh kajian. Ini bukan hanya untuk yang berdampak ke sawah, tapi juga ke ekosistem,” tutupnya.

Kepala Seksi Penegakkan Hukum Wilayah III Sumatera KLHK, Harianto, saat menjelaskan teknologi untuk memantau Karhutla di Sumsel, Jumat (10/09/2020). Foto: Ibrahim arsyad Credit: Ibrahim arsyad Credit: Ibrahim arsyad

Sementara itu, Kepala Seksi Penegakkan Hukum Wilayah III Sumatera KLHK, M. Haryanto, mengatakan, pada saat ini setidaknya ada 14 perusahaan perkebunan yang diproses baik secara administrasi, perdata maupun pidana terkait Karhutla, termasuk di dalamnya PT Waringin Agro Jaya.

Namun menurutnya, sanksi terhadap perusahaan tersebut ditangani langsung oleh daerah setempat, dalam hal ini oleh DLH OKI. Sedangkan pihaknya sendiri, melakukan pemantauan sejauh mana sanksi diberikan atau pihak perusahaan menjalaninya.

“Kalau kami jelas, rekomendasi kepada daerah agar sanksi yang diberikan harus lebih berat,” singkatnya.

Sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, masyarakat meminta dengan segara untuk dilakukan evaluasi perizinan kepada PT. Waringin Agro Jaya (WAJ).

Masyarakat juga berharap Izin Usaha Perkebunan PT. WAJ dicabut karena selain menyebabkan perubahan bentang alam yang serius, mengakibatkan kerugian negara yang begitu besar. Sebelumnya pada tahun 2015, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa PT. WAJ telah terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesi di bawah pengelolaan mereka

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.